Oleh: Prof. Cut Zahri Harun.
Warga Aceh.
Sekelumit kisah perjalanan mengarungi banjir bandang antara Uleegle-Meuredu. Awalnya hari Selasa 25 November 2025 saya berangkat dari Banda Aceh menuju Samalanga Kabupaten Bireun pada pukul 08.04 Wib, via angkutan umum L300 yang berpangkalan di Lambaro Aceh Besar, dengan tujuan mengunjungi dua keluarga dekat yang salah satu anggota keluarga mereka meninggal dunia. Kami tiba di Samalanga pukul 12.00 WIB, dalam kondisi hujan yang sangat lebat.
Saya berencana pulang kembali ke Banda Aceh pada hari Rabu 26 November 2025 meskipun hujan turun sangat lebat. Saya menumpang mobil keponakan yang kebetulan berangkat ke Banda Aceh untuk menghadiri wisuda anaknya pada pukul 4.30 WIB. Awalnya, saya berniat untuk menginap beberapa hari lagi di kampung halaman. Namun, karena suasana tidak menentu, akhirnya, saya memilih ikut bersama mereka.
Apalagi, mulai hari Rabu 26 November 2025, saya kehilangan kontak dengan anak-anak, dan adik-adik di Banda Aceh karena signal internet hilang dan listrik padam. Saya yakin mereka mengkhawatirkan saya yang sudah sepuh ini, seperti halnya saya juga khwatir dengan keadaan mereka. Keadaan yang serba tidak menentu mengingatkan saya pada suasana tsunami pada tahun 2004.
Dalam jarak tempuh 19 KM, dari Samalanga Kabupaten Bireun-Mereudu Pidie Jaya, kami dikejutkan dengan antrian mobil yang berjejeran puluhan Kilometer. Kamipun menepi dalam remang-remang malam tanpa listrik. Tiba-tiba, kami memperoleh kabar bahwa jembatan jalan lintas nasional di Meureudu Pidie Jaya putus. Hasrat kami tetap ingin melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh tidak pupus, karena keesokan harinya adik sepupu saya harus menghadiri acara wisuda di Banda Aceh.
Karena antrian mobil yang sangat panjang, kami terpaksa bermalam dalam antrian tersebut. Namun, pada pukul 11.00 WIB, kami memutuskan untuk kembali ke Samalanga Kabupaten Bireun. Dalam perjalan balik dari Meureudu menuju Samalanga. Kami mampir di SPBU Ulim Kabupaten Pidie Jaya yang tutup dan toko-toko tidak buka. Akhirnya, kami singgah di Mesjid Ulim dan mendapat kenyataan bahwa jalan antara Ulim-Ulee Glee putus total. Air dari gunung menuju ke laut di atas jalan antara 1 hingga 1,5 meter, kondisi ada yang sangat deras dan ada yang pelan.
Dalam suasana semencekam itu, Saya melihat mobil Fortuner yang hanyut dibawa arus. Tentu kami tidak berani nekat mengarungi derasnya air bah. Dari Mesjid Ulim kami memantau situasi. Ternyata, makin lama keadaan makin runyam, tambah parah dan hujan lebat tidak kunjung reda sehingga Kami memutuskan untuk bermalam di Mesjid Ulim.
Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB pada Kamis, 27 November2025 kami mencoba menembus air yang sudah agak surut kira-kira setengah meter di atas badan jalan. Untuk keamanan, kami mencari cara untuk mengikuti di belakang mobil truck, air yang dilalui truck pecah, kami langsung tancap gas menerobos genangan air dengan jarak kira-kira 1 Meter dari truck tersebut. Akhirnya, hampir dua jam kami baru tiba di Ulee Glee pada pukul 16.00 WIB.
Di tengah perjalanan dari Ulim ke Ulee Glee, terpantau dengan jelas rumah kiri kanan sudah pada tenggelam. Hanya Polsek dan SMA yang sedikit aman. Alhamdulillah, Kami tiba kembali di Batee Iliek dengan selamat. Durasi waktu sejak berangkat menuju Banda Aceh Rabu 26 November 2025 pukul 16.30 WIB, tiba kembali di Batee Iliek Kamis 27 November 2025 pukul 16.00 WIB. Ini durasi tempuh yang benar-benar tidak masuk akal mengingat jarak Ulim-Bateiliek cuma 16 Km. Dalam keadaan normal, jarak tempuh Ulim – Batee Iliek dapat ditempuh dalam 20 menit.
Pada hari Jum’at 28-11-2025, Saya diajak oleh keponakan untuk mencari signal HP di Ulim (di jalan alternatif, Jangka Buya-Meuredu. Setiba di lokasi, signal langsung muncul. Otomatis masuk telpon dari anak pertama, kedua, dan dapat menghubungi adik saya Teuku Ridwan. Setelah kembali ke rumah, signal hilang kembali dan listrik masih padam. Tenyata, anak-anak Sabtu 29 November 2025 mau pulang ke Samalanga untuk mencari saya yang dianggap sudah tiada.
Saya juga rencana mau pulang ke Banda Aceh pada Sabtu 29 November 2025 jika ada angkutan umum L300 yang menerima penumpang. Setelah diskusi sedikit sengit, akhirnya saya mengalah dari mereka berdua, sehingga menunggu jemputan dari mereka. Sabtu pukul 14.00 berangkat dari Samalanga, Alhamdulillah pukul 18.00 Wib tiba di Darussalam Banda Aceh dengan selamat. Ini kisah nyata diusia senja yang tidak bisa dilupakan. Semoga warga Aceh tabah dan bangkit menghadapi musibah ini.[]



















