Sahlan Hanafiah
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar Raniry
Belakangan ini publik di dunia maya ramai menggunakan hashtag ”kabur aja dulu”. Setiap kali muncul masalah di Indonesia, seperti kasus mega korupsi di lembaga penegak hukum, di sektor minyak dan tambang, pagar laut, bentrok antara TNI dan polisi, para netizen menawarkan solusi kabur aja dulu.
Kabur aja dulu adalah reaksi dan ekspresi kekecewaan masyarakat, terutama kelas menengah, atas berbagai masalah yang terjadi secara beruntun di Indonesia, terutama sejak gerakan reformasi ’98 bergulir.
Masyarakat melihat, meski proses reformasi telah berlangsung puluhan tahun, pemerintah dipilih silih berganti, namun harapan dan kemajuan masih jauh dari terang. Karena itu, untuk menurunkan rasa frustasi yang memuncak, kabur aja dulu disodorkan sebagai solusi.
Bukan fenomena baru
Namun kabur aja dulu bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum adanya media sosial, masyarakat telah mempraktekkan aksi kabur aja dulu, menjauh dari masalah yang mereka hadapi, khususnya akibat ketidakpastian kebijakan pemerintah. Bahkan aksi kabur aja dulu pada masa sebelumnya dilakukan dengan cara yang sangat bervariasi. Tentu saja sesuai kapasitas mereka masing-masing.
Saya teringat pada sosok Abua Leman (panggilan hormat kami masa kecil untuk almarhum Ahmad Sulaiman) di awal tahun 1990-an. Saat itu, akhir periode rezim otoriter militeristik Orde Baru berkuasa, kondisi ekonomi dan politik tidak kalah morat marit seperti sekarang.
Abua Leman sehari-hari berprofesi sebagai petani. Ia memiliki tiga orang anak. Semua anaknya dikirim ke perguruan tinggi. Dengan hanya bertani, penghasilan Abua Leman sudah pasti tidak cukup.
Maka untuk menambah penghasilan, setelah pulang dari sawah, Abua Leman menjadi tukang jahit pakaian. Ia menyewa lapak seukuran mesin jahit di salah satu toko kain di pasar Ulee Gle.
Istrinya juga ikut membantu menambah penghasilan keluarga dengan memelihara bebek dan ayam kampung di sekitar rumahnya. Sebagian dari telur bebek dan ayam dijual ke pasar. Sebagian lagi dijadikan bahan untuk membuat kue bhoi. Kue bhoinya terkenal enak. Karena itu, anak-anak waktu itu memanggil istri Abua Leman dengan panggilan Miwa Bhoi.
Setiap waktu makan siang tiba, Abua Leman pulang ke rumahnya yang terletak kurang lebih 1 Km dari pasar dengan mengayuh sepeda Phoenix kesayangannya. Ia tidak makan siang di warung nasi karena ingin berhemat. Selesai makan, Abua Leman menuju ke meunasah (surau) kampung kami yang terletak 1.5 Km dari pasar untuk melaksanakan shalat Zuhur.
Kebiasaan Abua Leman shalat Zuhur di meunasah yang letaknya lebih jauh dari pasar mengundang rasa penasaran saya. Bukankah Abua Leman bisa shalat Zuhur di rumah atau shalat Zuhur di masjid yang tempatnya jauh lebih mulia dan letaknya lebih dekat dari tempat ia menjahit?
Belakangan baru saya tahu misteri dibalik kebiasaan Abua Leman shalat Zuhur di meunasah. Ternyata Abua Leman punya kebiasaan tidur siang di jamboe jaga yang letaknya diapit oleh sawah dan meunasah.
Selain tempatnya teduh, dihembus angin sawah, jamboe jaga juga selalu ramai. Di sana biasanya sudah ada beberapa orang seumuran Abua Leman. Mereka juga memiliki kebiasaan yang sama, singgah di jamboe jaga sambil ngobrol setelah selesai shalat Zuhur. Topik yang dibicarakan beragam, mulai dari hal yang remeh temeh hingga topik serius.
Namun yang menarik dari sosok Abua Leman adalah, ia tidak terlibat dalam diskusi. Biasanya setelah bersalaman, Abua Leman langsung mencari sudut kosong dan merebahkan badannya di atas lantai jamboe jaga yang terbuat dari pelepah pohon pinang.
Tidak lama setelah berbaring disana, suara mendengkur Abua Leman sayup-sayup mulai terdengar, pertanda Abua Leman telah terlelap dalam tidurnya di tengah suara bising teman-temannya.
Tidur siang di jamboe jaga ditengah suara bising teman-temannya membahas politik Orde Baru adalah cara Abua Leman untuk kabur aja dulu dari beban hidup yang ia pikul, khususnya membiayai anak-anaknya sekolah di perguruan tinggi.
Abua Leman seperti tidak ingin membuang waktu, larut dalam diskusi tak berujung. Namun pada saat yang sama, Abua Leman membutuhkan kebisingan jamboe jaga untuk mengantarkannya tidur, kabur dari segala masalah. Biasa jadi sejak kecil Abua Leman terbiasa didongengkan oleh orang tuanya sebelum tidur. Kebiasaan itu kemungkinan terbawa hingga ia dewasa.
Tapi kali ini, yang ia dengar adalah dongeng tentang negerinya yang hampa, banyak masalah, tanpa harapan. Dongeng tentang REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), kata yang selalu diulang-ulang oleh pemerintah Orde Baru dalam rapat kabinet terbatas. Abua Leman tahu bahwa itu hanyalah angan-angan. Karena itu, ia memilih kabur, mengejar mimpinya dalam tidur.
Tidur aja dulu adalah salah satu cara orang kecil seperti Abua Leman kabur dari peliknya hidup yang dihadapi di zaman Orde Baru. Bagi Abua Leman, kabur secara fisik dari ketidakpastian kebijakan pemerintah tidaklah mungkin dilakukan, mengingat ia memiliki tanggung jawab menghidupi keluarganya. Karena itu, ia memilih tidur, cara paling murah untuk kabur dari masalah.
James C. Scott (1985) dalam bukunya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance menulis, orang-orang lemah seperti petani selalu memiliki cara untuk melawan rezim pemerintah yang korup dan zalim. Karena sadar tidak berdaya, maka mereka memilih cara-cara perlawanan pasif, tidak langsung.
James C. Scott mengatakan, akumulasi bentuk perlawanan pasif pada suatu waktu akan memuncak dan bisa jadi meledak. Karena itu, jika pemerintah cuek terhadap perlawanan pasif maka itu merupakan kesalahan besar.
Merujuk dari argumen James C. Scott di atas maka tidur aja dulu adalah senjata terakhir yang dimiliki Abua Leman. Abua Leman tidak ingin menghabiskan energinya untuk berdebat pada perkara yang menurutnya berada diluar kapasitasnya. Baginya, menyimpan energi dengan cara tidur aja dulu jauh lebih penting daripada meraba-raba solusi yang belum pasti.
Tidur aja dulu adalah cara Abua Leman mengekspresikan kekecewaanya sekaligus melepaskan kepenatannya. Cara ini bagi Abua Leman terbukti efektif, di mana pada akhirnya Abua Leman berhasil mengantarkan anak-anaknya meraih gelar sarjana, menjadi guru dan budayawan. []