Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry.
Seperti biasa, selepas shalat Insya, kami mencuri waktu untuk minum kopi di warkop Panamaih.
Malam itu warkop Panamaih kena giliran pemadaman listrik. Suasana sedikit remang. Tapi pengunjung tetap ramai. Umumnya jamaah shalat Insya.
Ketika sampai di sana, Midi, Udin, Rian, dan Ihsan sudah lebih dulu menyeruput kopi panas. Mereka datang lebih awal. Rian dan Ihsan sibuk dengan telepon genggamnya. Sementara Midi berbincang serius dengan Udin. Topiknya apa lagi kalau bukan soal banjir besar yang melanda Aceh.
”Kalau begitu ceritanya maka Aceh harus merdeka.” simpul Midi dengan penuh percaya diri.
”Apa….?” sahut Rian setengah terperanjat. Ternyata dari tadi ia menguping diskusi Midi dan Udin meski matanya tak berkedip di layar HP.
”Gak merdeka aja kita seperti ini, gak siap menghadapi banjir. Malah pemimpin kita merengek minta bantuan Pusat. Kita bisa apa?”
”Maksudku….”, Midi mencoba meluruskan, tapi tiba-tiba Rian memotongnya.
”Maksudmu apa? Apakah dengan merdeka kita bisa menangani semua persoalan ini? Apakah kita lebih kuat?”
”Lihat, stok sembako aja mulai langka. Harga-harga mulai naik. Kenapa? Karena kita tak mampu memproduksi sendiri. Semua bergantung dari luar. Giliran Medan banjir dan jembatan putus, kita pun putus.”
”Tapi kan….” Midi mencoca membela diri, namun lagi-lagi dipotong oleh Rian.
”Tapi kan apa? Telor ayam aja belum sanggup kita produksi sendiri. Sayur dan minyak goreng dari Medan. Beras harus beli dari Thailand. Belum lagi listrik dan air bersih. Kita bisa apa?”
”Okelah konflik dan tsunami membuat kita lemah. Kita bisa pahami itu. Tapi itu telah berlalu 20 tahun silam. Selama 20 tahun ini ngapain aja, hah? Apa yang kita lakukan selama dua dekade dengan dana triliunan rupiah itu? Merawat bangunan yang dibangun saat masa rehab-rekon aja kita gak mampu.”
”Maksudku…,” Midi coba menyela lagi tapi gagal.
”Maksudmu apa, hah? Tak perlu jauh ku kasih contoh. Coba lihat museum tsunami, gedung cari selamat di Ulee Lheu, dan gedung-gedung peninggalan masa rehab-rekon tsunami dulu. Apakah kita pandai merawatnya, hah? Yang sudah ada aja kita tak pandai merawat, apalagi membangun yang baru.”
”Lihat hutan kita. Dulu sangat lebat dan rindang. Coba lihat sekarang. Dimana-mana hutan telah gundul, dijarah, dijadikan tambang, dijadikan kebun sawit.”
”Apa akibatnya, hah? Banjir woi, banjir. Ketika hujan turun lebih lebat, hutan tak kuasa menahan jumlah air yang begitu banyak. Artinya, daya tampung dengan yang ditampung tak seimbang. Tak perlu menggunakan logika rumit untuk menjelaskan perkara ini. Semua orang paham.”
”Coba hitung, antara keuntungan merambah hutan dan kerugian yang kita alami sekarang. Coba hitung Midi, lebih banyak mana, untung apa buntung, hah?”
Tak ingin kalimatnya dipotong, Rian melanjutkan. ”Hutan digunduli oleh segelintir orang yang punya kuasa, diambil kayunya, lalu dijual. Hutan dirusak untuk tambang. Hutan dibakar lalu dijadikan kebun sawit. Yang ambil untung hanya segelintir orang serakah. Pemerintah daerah bisa apa, bisa apa, hah?”
”Kita tahu hutan itu penyangga, tiang kehidupan, yang melindungi kita, rumah bagi segala jenis makhluk hidup, termasuk kita manusia di dalamnya. Kita tidak merawatnya, tapi justru merusaknya. Akibatnya apa? Seperti yang terjadi belakangan ini, tiang penyangga itu roboh dan menimpa kita semua.”
”Tapi Tuhan…,” Midi coba menjelaskan.
”Jangan salahkan Tuhan, Midi. Tuhan itu baik. Tuhan sedang tidak menghukum kita. Kita sendiri yang justru menghukum diri sendiri. Kita yang merusak, kita pula yang menanggung akibat. ”
”Makanya…,” Midi coba menyimpulkan namun langsung dipotong kembali oleh Rian.
”Makanya apa, Midi? Merdeka tak menjamin kondisi menjadi lebih baik. Lihat masa damai, berapa hektar hutan kita habis dijarah. Siapa yang melakukan itu kalau bukan yang punya kuasa. Jadi tak sanggup ku dengar jika merdeka itu sebagai solusimu Midi.”
”Bukan. Bukan merdeka itu yang aku maksud,” sela Midi setengah memaksa karena dari tadi penjelasannya dipotong terus.
”Jadi merdeka seperti apa yang kamu maksud?” tanya Rian sambil menahan emosi.
”Maksudku, jika Aceh tidak ingin lagi tergantung pada pihak luar, maka Aceh harus mandiri, supaya nanti bisa merdeka dari kelangkaan sembako, merdeka dari krisis air bersih, gas, dan listrik. Bukan merdeka secara teritori seperti yang kamu pahami”, jelas Midi dengan perasaan sedikit lega.
”Nah….kalau itu maksudmu, aku sepakat. Tapi apakah pemimpin daerah kita mampu melakukannya? Apakah mereka punya visi inovatif untuk mewujudkan itu? 20 tahun terakhir ngapain aja, hah?” tanya Rian ke Midi?
Midi yang biasanya selalu punya argumen cadangan, malam itu seperti kena skak, tak berkuasa menjawab pertanyaan Rian.
Rian pun tak lagi mengejar jawaban dari Midi. Rian tahu jika masalahnya ada pada para pemimpin daerah yang tak memiliki visi menjadikan Aceh sebagai rumah yang aman dan nyaman untuk dihuni. Buktinya mereka tidak siap menghadapai bencana. Padahal Aceh adalah daerah rawan bencana. Punya pengalaman menjadi korban. Namun aksi perusakan alam dibiarkan terjadi, malah kononnya menjadi bagian dari aktor yang merusak itu.
Karena itu ia tidak ingin menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi. Baginya, bisa berkumpul bersama kolega di warkop Panamaih yang legendaris itu sudah cukup menghibur dari bencana buatan manusia itu.
”Berapa bang? Tolong hitung bang?” Suara Udin yang serak memanggil pelayan warkop memecah kesunyian malam itu.
Setelah itu kami bubar tanpa harapan.[]




















