Catatan: Ahmad
Lamgugob, Banda Aceh.
Bencana banjir dan longsor di Aceh masih berlalu. Di saat Aceh luluh lantak, Sumatera Barat dan Sumatera Utara juga mengalami musibah serupa. Namun yang mengherankan, Pemerintah Pusat tidak menunjukkan rencana sedikitpun untuk menetapkan situasi ini sebagai bencana nasional.
Seolah-olah negara ini hanya menghabiskan anggarannya untuk MBG dan gaji birokrasinya, ASN dan militer. Dalam negeri semacam ini, yang hidup sejahtera hanyalah dua kelompok: pengusaha dan pejabat (ASN-militer). Padahal mereka adalah pelayan rakyat. Tapi rakyat tetap miskin turun temurun. Profesi lain tetap berada di bawah garis kemapanan. Pendidikan tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan; yang penting licik, jago lobi, dan dekat dengan orang dalam—kompetensi tidak lagi menjadi ukuran.
Kondisi seperti inilah yang terjadi di Aceh hari ini. Aceh telah melewati rangkaian bencana kemanusiaan: masa Daerah Operasi Militer (DOM), Tsunami 2004, dan kini banjir serta longsor besar.
Pada masa DOM, birokrasi Aceh masih bekerja dengan kompetensi dan integritas. Mereka adalah aparatur lulusan kampus ternama, memiliki jaringan, serta memiliki tekad untuk membantu rakyat—baik korban kekerasan militer maupun dampak konflik.
Saat Tsunami melanda, Plt Gubernur, Sekda, dan para kepala dinas bekerja tanpa kenal lelah. Politisi dan birokrat berkolaborasi, hingga dalam hitungan hari pemerintah pusat menetapkan Aceh sebagai bencana nasional. Keputusan ini membuka akses bantuan dunia internasional dari segala penjuru.
Kini, situasinya sangat berbeda. Banjir besar, longsor, jembatan putus, wilayah terisolasi, bahkan ada kampung yang hilang disapu arus. Listrik padam hingga lima hari, internet terputus total. Desa, kecamatan, bahkan kabupaten seperti mati. Tapi apa yang dilakukan dinas-dinas terkait di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf, Fadhlullah, dan Sekda Nasir? Tidak ada aksi nyata yang terlihat.
DPR Aceh pun sama saja. Ironisnya, anggaran BTT (Bantuan Tidak Terduga) sangat minim, lebih banyak alokasi anggaran untuk renovasi rumah dinas mereka. Ngeri nggak? Namun masyarakat tidak bisa sepenuhnya menyalahkan DPR Aceh, sebab para wakil itu dipilih sendiri oleh rakyat—kadang hanya dengan imbalan seratus ribu per suara/per kepala.
Hari ini birokrasi Pemerintah Aceh dipenuhi orang-orang yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk menjalankan pemerintahan. Minim narasi, minim intelektualitas, minim empati, dan minim jaringan. Inkompetensi seperti ini bukan sekadar kelemahan—ini adalah kejahatan kemanusiaan.
Jika ragu dengan asumsi saya, lihat saja kualitas para kepala dinas. Banyak yang menjabat bukan karena kapasitas, tapi karena kedekatan dengan Muzakir Manaf, Fadhlullah, dan Nasir. Akhirnya, masyarakatlah yang menanggung akibatnya saat bencana datang seperti ini. Apakah sepenuhnya salah mereka? Tidak, yang bersalah adalah masyarakat Aceh sendiri yang memberi kesempatan kepada para pemimpin yang enggan mau belajar meningkatkan kapasitas kepemimpinan. Tok karena ingin berkuasa. Berkuasa seperti cita-cita tak peduli apakah mampu atau tidak.
Uang berlimpah, rakyat tetap miskin. Orang ingin membantu Aceh, tetapi data korban saja tidak tersedia. Bagaimana bantuan bisa masuk? Inilah wajah Aceh hari ini.
Pada akhirnya, masyarakat kembali bekerja sendiri: membersihkan rumah, jalan, dan kampung tanpa dukungan berarti dari pemerintah Aceh. Sepuluh bulan dari sekarang, ketika bencana telah mereda, para pemilik modal akan kembali naik ke gunung-gunung, melanjutkan tambang, dan menanam sawit. Masyarakat setempat kelak tetap menjadi buruh di tanah mereka sendiri—dan itu disebut sebagai pemberdayaan masyarakat sekitar.
Selamat menyaksikan siklus ini terus berulang. Inkompetensi adalah kejahatan baru di Aceh. []



















