Dalam beberapa bulan terakhir, hampir setiap hari kita mendengarkan berita kematian. Salah satu sebabnya adalah kematian yang diakibatkan oleh Covid-19.
Namun, dalam artikel pendek ini saya ingin memahami bagaimana kematian dimaknai oleh sebagian masyarakat. Dalam bahasa Aceh, mati diistilahkan dengan mate. Biasanya dimaknai sebagai kembali kepada Allah. Untuk mengabarkan kematian, biasanya diungkapkan dengan kalimat “si fulan ka geutinggai geutanyoe” atau “si fulan ka geuwoe bak Allah.” Makna disini lebih diartikan seseorang telah meninggalkan orang yang masih hidup atau seseorang sudah pulang menuju Allah Swt.
Karena itu, mate (mati) dalam budaya orang Aceh sesuatu yang menyedihkan tetapi tidak berlarut-larut hingga harus meratapi. Karena seseorang yang meninggal, rupanya dia yang berangkat terlebih dahulu. Di sini ruhnya yang berangkat menuju alam barzakh. Masyarakat di sekitar akan berdatangan untuk bertakziah atau sekedar untuk fardhu kifayah.
Demikiankalah potret fenomenan kematian di dalam masyarakat Aceh. Namun ada hal yang menarik ketika kematian selama Covid 19. Kematian ini seolah-olah bersahut-sahutan. Kendati belum dipastikan karena Covid-19, namun dalam dua bulan terakhir, meunasah atau masjid, kerap menyiarkan berita kematian.
Masyarakat kerap bertanya, soe lom yang meninggai (siapa lagi yang meninggal). Apakah meninggal karena Covid-19. Pernyataan ini menyiratkan tentang berita kematian menjadi informasi yang paling banyak juga dibagikan di media sosial. Berita yang saling bersahut-sahutan ini lantas memberikan sinyal bahwa kematian, jangan-jangan sudah seperti hal yang lumrah selama pandemic Covid-19. Berita kematian agak sedikit berbeda dengan masa konflik, dimana kematian selalu menakutkan dan menyedihkan. Terkadang mayat diletakkan di pinggir jalan. Tidak sedikit pula jenazah yang menjadi sasaran peluru. Kematian saat konflik di Aceh seolah-olah menjadi teror bagi masyarakat.
Sebaliknya, berita kematian di media sosial menjadi hal baru. Sebab, berita tersebut terkadang memberikan pesan kedukaan secara virtual. Dulu orang meninggal ditandai dengan tabuhan beduh. Setelah itu, berita kematian disampaikan di meunasah atau masjid. Hanya warga setempat yang tahu tentang berita kematian. Ada juga saat berita kematian harus dikirimkan melalui telegram atau via kendaraan. Terkadang, berita kematian sampai ke yang dituju setelah beberapa hari jenazah dikebumikan di kampung.
Sekarang, setiap ada berita kematian di media sosial, kita seperti wajib untuk meresponnya. Bahkan ada fenomena-fenomena, semakin besar pengaruh orang yang meninggal, semakin banyak yang mengucapkan ucapan belasungkawa. Sebaliknya, jika yang meninggal orang biasa atau tidak memiliki penagruh, maka ucapan belasungkawa tidak begitu banyak.
Ucapan belasungkawa pun tidak cukup dengan ucapan lisan, perlu ucapan tulisan dan tidak menutup kemungkinan perlu diberikan papan bunga. Terkadang, keluarga yang sedang berduka, sedikit terhibur dengan papan bunga yang datang dari pejabat, pengusaha, dan kelompok elit sosial lainnya. Jadi, terkadang kematian pun menjadi ajang untuk memperlihatkan status sosial seseorang.
Inilah kemudian yang mengindikasikan bahwa kematian tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak aspek dalam berita kematian dewasa ini. Terlebih lagi dalam masa pandemic Covid-19. Ada jenazah yang sudah diketahui positif terjangkiti penyakit ini. Ada pula mayit yang belum diketahui hasil pemeriksaan Covid-19, tetapi dimakamkan secara protokol kesehatan. Tidak sedikit pula yang dikebumikan secara protokol kesehatan, namun hasil pemeriksaannya adalah negatif. Intinya, kematian dan penyebabnya ternyata menjadi bagian konflik sosial saat ini. Kondisi kematian harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Di sini, persoalan kesehatan pun berhadapan dengan persoalan keagamaan, khususnya dalam persoalan fardhu kifayah.
Karena itu, etnografi kematian menjadi topik baru dalam penelitian sosial antropologi di Aceh. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan Acehnologi (Studi Keacehan).
Sebab, kajian kematian di Aceh memang belum banyak dilakukan oleh para peneliti. Bagaimana mate (mati) dimaknai oleh masyarakat Aceh. Apa yang menjadi dasar pemahaman orang Aceh tenta.ng kehidupan paska-kematian.
Data untuk etnografi kematian memang tidak begitu sulit, karena tinggal mengikuti setiap ada ritual kematian di dalam masyarakat. Ada yang ingin menyegerakan untuk mengkebumikan jenazah, tanpa menanti sanak famili yang ingin melihat wajah mayit untuk terakhir kali. Tidak sedikit pula, jenazah harus ditunda untuk ditandu, karena persoaan teknis; menukar uang untuk membayar jama’ah yang akan shalat jenazah, menunggu imam kampung yang belum hadir, dan menunggu salah satu anggota keluarga yang masih dalam perjalanan.
Masalah-masalah di atas tentu akan memperkaya pemahaman kita tentang berita kematian yang sedang melanda masyarakat kita, tidak hanya di Aceh, tetapi juga di seantero Nusantara. Pemahaman yang dimaksud adalah cara berpikir masyarakat ketika menghadapi berita kematian selalam pandemic Covid-19. Persoalan Covid-19 pun sudah melebar pada wilayah ekonomi, politik, agama, dan pertahanan keamanan bangsa Indonesia. Jadi, mau tidak mau, persoalan berita kematian pun tidak akan luput dari persoalan tersebut.
Bayangkan saja seorang yang bekerja di istana, harus mengomentari berita kematian di rumah sakit, jangan sampai dicovidkan. Demikian pula, seorang dokter tidak bosan-bosan menyampaikan pencerahan tentang Covid-19, hingga kita agak sudah memahami, apakah dia masih rasional atau emosional. Persoalan memandikan jenazah pun sudah menjadi isu nasional saat ini di Indonesia.
Demikianlah narasi singkat tentang bagaimana wajah kematian selama pandemic Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir di republik ini. Kematian menjadi berita lokal hingga internasional. Hanya saja, kita belum ada survei tentang keadaan rumah tangga yang anggota keluarga mereka meninggal dunia, akibat Covid-19.
Tentu saja persoalan paska-kematian lebih komplek, dibandingkan dengan saat berita kematian itu sendiri. Tidak sedikit anak-anak menjadi yatim atau piatu.
Demikian pula, angkat janda dan duda yang meningkat tajam. Persoalan ekonomi di dalam keluarga pun menjadi hal baru yang harus dihadapi oleh keluarga tersebut. Singkat kata, berita kematian selama pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan di sekitar kita. Mungkin ini yang disebut dengan new-normal.