Oleh: Risnawati Ridwan.
ASN Pada Dinas Sosial Kota Banda Aceh.
“Terdakwa adalah orang yang tidak normal dan dia tertekan”. Kata-kata yang dilontarkan oleh Kepala Lapas Bapak Hendro Sanusi adalah salah satu scene yang ditampilkan dalam film Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia.
Kata-kata tersebut terdengar dalam ruang sidang Dodo Rozak yang dibintangi oleh Vino G Bastian, menyandang disabilitas intelektual sehingga sulit untuk menerima pertanyaan dan instruksi dari perangkat pengadilan. Kata-kata tersebut merupakan pembelaan kepada Dodo Rozak sebagai pesakitan yang telah menampilkan perilaku yang menunjukkan bahwa sebagai penyandang disabilitas intelektual dengan menggerak-gerakan tangan dan kepala secara berlebihan tetapi hakim dan jaksa tetap memaksanya untuk menjawab seperti orang normal lainnya.
Film hasil remake dari film Korea ini bercerita tentang seorang penyandang disabilitas intelektual yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan serangan-serangan yang bersifat fisik dan verbal kepadanya sehingga memaksanya menerima keinginan dari orang-orang normal di sekitarnya. Scene-scene yang muncul saat reka ulang peristiwa di pinggir kolam renang semakin jelas menunjukkan perilaku orang normal dalam menghadapi orang ”kurang” bahkan “tidak” normal secara kasar jika tidak ingin dikatakan brutal. Secara normatif, memperlakukan manusia lainnya walaupun manusia tersebut telah berbuat salah adalah secara baik dan tidak kasar, apalagi menghadapi orang-orang tidak normal ini yang secara nyata telah menunjukkan kekurangannya baik itu secara fisik, mental dan intelektualnya.
Parafrasa penyandang disabilitas intelektual merupakan kondisi di mana seseorang mengalami gangguan pada fungsi pikir. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi intelektual atau IQ (Intelligence quotient) dan perilaku sehari-hari yang berkembang lebih lamban, hal ini ditandai dengan masalah kemampuan berbicara, kesulitan memahami informasi, sulit memahami perilaku dan konsekuensi berkaitan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, dan sulit mengendalikan diri (tantrum, mudah marah). Salah satu ciri-ciri ini muncul saat Dodo Rozak harus menghapal jawaban yang diperkirakan akan ditanyakan oleh hakim dalam persidangan bandingnya. Jika biasanya bagi orang normal hanya perlu menghapal dan memperkirakan jawaban dengan mengingatnya saja, namun bagi penyandang disabilitas ini sangat sulit dilakukan sehingga memerlukan latihan berulang dan panduan yang jelas dan konkrit.
Menghadapi penyandang disabilitas membutuhkan seni komunikasi tersendiri. Saya mengalaminya sendiri sejak kecil namun saya menyadari hal tersebut saat saya sudah dewasa dan sudah bertemu dengan banyak penyandang disabilitas lainnya. Almarhum adik kandung saya merupakan penyandang disabilitas intelektual sejak kecil. Tetapi seingat saya, komunikasi kami tidak ada bedanya seperti orang normal lainnya. Padahal setelah dirunut kembali masih terlalu banyak bentangan miskomunikasi yang terjadi antara saya dan adik saya tersebut. Saya menganggap adik saya adalah anak bodoh yang tidak pernah paham jika diberikan sebuah informasi dan tidak mampu dalam melakukan instruksi ringan yang diberikan.
Namun satu hal yang saya ingat, adik saya akan selalu mengingat orang-orang yang selalu berbicara lemah lembut kepadanya. Ada dua orang dalam keluarga besar kami, yang pertama om saya yang tinggal di luar kota. Beliau jika berbicara dengan adik saya selalu secara ramah dan lemah lembut dan menghargai apapun kalimat yang keluar dari mulut adik saya. Yang kedua adalah adik sepupu saya, juga berperilaku seperti om saya. Setiap keduanya bertemu dalam momen-momen keluarga besar, maka adik saya akan selalu menyebut nama keduanya secara berulang-ulang dan membuat saya jengkel, bahkan dalam waktu yang lama setelahnya. Dalam film ini juga ditunjukkan oleh Bapak Dodo, dengan sering menceritakan apa yang disampaikan oleh Ibu Uwi, sang istri, yang telah meninggal dunia. Rekaman memori ini tertanam dengan baik dalam pikiran hati Bapak Dodo.
Tapi hal tersebut tidak dilakukan oleh perangkat hukum dalam memperlakukan orang-orang seperti Bapak Dodo. Perlunya melakukan percakapan yang ramah dan nada yang rendah, berbicara secara langsung kepada mereka tanpa menggunakan perantara, dan perbanyak gestur yang bersahabat dan senyuman akan sangat memabntu mereka untuk memahami pesan yang ingin disampaikan.
Secara kasat mata kita melihat bagaimana perangkat hukum memperlakukan Bapak Dodo seperti memperlakukan penjahat yang telah melakukan kejahatannya secara berulang-ulang. Serangan-serangan yang diberikan kepada penyandang disabilitas ini telah menunjukkan bahwa sebenarnya kita merasa takut dengan reaksi yang akan kita terima saat kita berhadapan dengan mereka. Ditambah lagi dengan ketidaktahuan kita harus berperilaku seperti apa dengan mereka. Sehingga sering dari kita dalam memperlakukan orang-orang yang kita pikir berbeda dengan kita maka kita secara otomatis akan membuat benteng pertahanan sebelum melakukan penyerangan.
Padahal penyandang disabilitas intelektual juga sama halnya dengan manusia lain. Mereka memiliki hak yang harus dipenuhi. Hak tersebut telah diatur dalam Undang-undang No 8 tahun 2016.
Isi dari UU tersebut yaitu bahwa negara menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara dan mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, perhatian pemerintah dengan adanya kebijakan atau peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas merupakan sarana untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.
Pada akhirnya siapapun manusia yang harus kita hadapi, bahkan penyandang disabilitas apapun mereka, maka berbicara dengan ramah dan tertuju secara langsung, memperbanyak senyum dan menggunakan kata-kata sederhana dengan intonasi yang jelas adalah kunci dari komunikasi yang baik. Karena sejatinya tidak ada yang perlu ditakuti kepada mereka yang menyandang disabilitas. Karena Tuhan telah menciptakan kita sesuai dengan kebermanfaatan kita di muka bumi ini.[]