Oleh: Yogi Febriandi
Ketua Prodi Pemikiran Politik Islam, IAIN Langsa dan Penulis memiliki pengalaman dalam penanganan pengungsi Rohingya di Kota Langsa Tahun 2015-2017.
Sikap Masyarakat Aceh yang menolak kehadiran pengungsi Rohingya saat ini sangat berbeda dengan tahun 2015. Pada tahun 2023, kehadiran pengungsi Rohingya mendapatkan respon negatif, karena banyaknya informasi keliru terkait status pengungsi, seperti soal status pengungsi, ancaman yang mungkin terjadi, dan agenda global terkait kedatangan pengungsi di Aceh.
Dalam situasi penolakan pengungsi Rohingya yang saat ini terjadi di Aceh, tulisan Prof. Hikmahanto Juhana pada tanggal 8 desember yang terbit di Kompas berjudul “Menyikapi Gelombang Pengungsi Etnis Rohingya” mematik perdebatan publik. Dalam tulisan yang mendorong pemerintah Indonesia untuk menolak pengungsi Rohingya tersebut, Prof. Hikmahanto keliru dalam banyak hal, mulai dari kesalahan data hingga pendekatan terhadap isu pengungsi luar negeri.
Sayangnya pendapat beliau yang terbit di Kompas tersebut, menjadi konsumsi publik luas dan digunakan oleh Masyarakat untuk menolak pengungsi Rohingya. Tulisan ini mencoba untuk memberi kritik terhadap tulisan tersebut, dan memberi tawaran berbeda dari yang beliau tawarkan.
Kurang tepat dalam data
Kesan pertama yang saya tangkap dari tulisan Prof. Hikmahanto Juhana ialah banyaknya generalisasi permasalahan yang memberi kesan kurangnya pengetahuan penulis teradap situasi pengungsi di Aceh. Misalnya, mengatakan kalau kedatangan Rohingya ke Aceh sudah “dimulai” pada tahun 2015. Padahal menurut data JRS Indonesia, kedatanan Indonesia sudah sejak tahun 2009. Atau menyebut 182 orang Rohingya yang kabur pada tahun 2015 berbaur dengan Masyarakat. Padahal, 182 orang yang kabur dari kamp penungsi memang sedari awal menuju ke Medan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Tidak tepat mengatakan mereka “berbaur” dengan Masyarakat.
Ketidaktahuan penulis terkait situasi pengungsi Rohingya juga dapat dilihat dari melihat posisi UNHCR dalam penanganan kasus Rohingya. Menyandingkan istilah pendatang illegal dan tugas UNHCR serta menungkapkan bahwa UNHCR adalah faktor dari banyaknya pengungsi datang ke Indonesia. Selanjutnya meminta proses skrining berjalan dengan cepat untuk kemudian memutuskan status pengungsi tanpa melihat acuan kerja dan proses penentuan status yang Panjang dan penuh kehati-hatian.
Memang, penolakan yang terjadi di Aceh disebabkan karena adanya ketidaksukaan Masyarakat Aceh saat ini terhadap pengungsi Rohingya. Tapi, tidak semua cerita tentang kehadiran Rohingya di Aceh memberikan kerugian dan konflik di Masyarakat. Mengatakan kedatangan Rohingya mendatangkan konflik sosial hanya dari kasus-kasus yang bersifat negative untuk membahas seluruh keseluruhan yang terjadi di lapangan adalah cara berpikir yang sempit. Faktanya, pengelolaan pengungsi di Kota Langsa dan Aceh Timur pada tahun 2015 adalah contoh dimana pengungsi Rohingya dan Masyarakat dapat hidup berdampingan.
Terdapat banyak kisah-kisah persahabatan antara pengungsi dan Masyarakat Kota Langsa pada tahun 2015. Selain itu, ada efek-efek dari sisi ekonomi dan juga peningkatan sumber daya manusia Masyarakat setempat dengan kehadiran Rohingya. Dengan adanya Lembaga kemanusiaan internasional, banyak anak-anak muda di Kota Langsa yang mendapatkan pekerjaan di kamp pengungsian serta pelatihan professional yang dibuat oleh Lembaga internasional.
Pengabaian aspek kemanusiaan
Aspek lain yang perlu di kritik dalam tulisan tersebut ialah pernyataan untuk meminta pemerintah Indonesia untuk memulangkan etnis Rohingya tanpa pertimbangan situasi keamanan mereka di tempat asal. Prof. Hikmahanto sangat jelas mengenyampingkan aspek kemanusiaan dalam argumentasinya. Kondisi di Arakan, wilayah yang menjadi konflik di Myanmar dan mengharuskan Rohingya untuk keluar dari wilayah itu karena adanya diskriminasi dari pemerintah Myanmar merupakan sebuah fakta yang sangat jelas. Ada banyak laporan kemanusiaan dan tulisan yang mengabarkan situasi ini. Saya kira mempertanyakan ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal.
Kekeliruan berikutnya ialah mengatakan bahwa Nasib pengungsi Rohingya saat ini bukanlah urusan pemerintah Indonesia. Memang, pernyataan Prof. Hikmahanto tentang Indonesia yang tidak meratifikasi konvenan pengungsi adalah benar. Namun, hanya karena Indonesia tidak meratifikasi konvenen pengungsi bukan berarti penyelamatan pengungsi Rohingya bukan menjadi urusan pemerintah Indonesia. Untuk hal ini sebenarnya SUAKA telah merilis pernyataan kekecewaan pada pernyataan Prof. Hikmahanto Juwana pada tanggal 27 November 2023, namun sayang sekali rilis ini tidak terbekas pada tulisan yang terbit di Kompas. Dalam rilis tersebut, SUAKA sudah membantah argument ini dengan mengatakan bahwa:
“Indonesia juga memiliki kewajiban untuk melakukan penyelamatan bagi kapal dalam keadaan darurat pada Pasal 98 ayat (1) Konvensi Hukum Laut/United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selanjutnya, Pasal 98 ayat (2) UNCLOS juga memberikan kewajiban bagi negara-negara untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan di laut khususnya yang berkaitan dengan keamanan kapal. Sebagai catatan, Indonesia telah menjadi negara peratifikasi UNCLOS yang tertera dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Pelaksanaan kewajiban negara berdasarkan UNCLOS dapat menjadi bentuk komitmen nyata pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM dan implementasi kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya.”
Perlunya Kerjasama
Untuk itu, hal yang perlu dilakukan dalam menyikapi pengungsi Rohingya bukanlah dengan meminta kepada pemerintah untuk memulangkan pengungsi melainkan kerjasama antara berbagai elemen. Hal ini sebenarnya telah dilakukan di Kota Langsa pada tahun 2015. Pemerintah Kota Langsa saat itu merupakan daerah yang pertama sekali siap untuk menampung pengungsi Rohingya, meski belum ada SOP terkait kebijakan penampungan. Hal yang dilakukan oleh pemerintah kota langsa ialah membentuk Satgas (Satuan Penggagas) Pengungsi yang terdiri dari pejabat pemerintah daerah, Ngo dan masyarakat tempatan. Dalam kurun waktu 2015-2018 penanganan pengungsi Rohingya di Kota Langsa nyaris tanpa masalah karena pendekatan penanganan yang mempertimbangkan berbagai aspek.
Dengan visi penanganan yang mengedepankan kemanusiaan, tidak ditemukan persoalan konflik antara pengungsi dan Masyarakat karena intensnya Masyarakat tempatan terlibat dalam pengelolaan bantuan.
Meski adanya banyak kekeliruan, namun satu hal yang patut untuk dipertimbangkan secara serius dalam tulisan Prof. Hikmahanto Juwana ialah persoalan penyelundupan manusia yang sangat massif. Hal ini memang sudah menjadi persoalan sejak tahun 2015. Kita dapat menyalahkan lemahnya pemantauan dari UNHCR ataupun pengawasan dari apparat kepolisian, namun penyelundupan manusia menjadi persoalan yang rumit karena tidak ada kejelasan terkait Nasib pengungsi Rohingya di Indonesia. Mereka sadar tidak ada kesempatan yang berarti untuk mengubah Nasib mereka di Indonesia, makanya mereka tetap memilih Malaysia sebagai tujuan akhir perjalanan.
Bisnis penyelundupan ini tentunya tidak dibenarkan dalam hukum Indonesia, dan sangat merugikan Masyarakat Aceh mengingat rentannya Masyarakat Aceh dapat dituduh sebagai orang yang terlibat dalam bisnis ini. Dalam hal ini, memang perlu dicari jalan keluar terbaik untuk situasi ini.[]