Oleh: Safuadi, ST., M.Sc., Ph.D
Pemerhati Pembangunan dan Ekonomi Aceh.
Selama bertahun-tahun, pembangunan ekonomi di banyak daerah termasuk Aceh cenderung bertumpu hanya pada satu mesin: APBD sebagai sumber belanja pembangunan. Logika yang digunakan sederhana: jika pemerintah membangun jalan, jembatan, kantor, atau fasilitas publik, maka ekonomi akan bergerak, pendapatan masyarakat meningkat, dan indeks pembangunan manusia membaik.
Namun dalam praktiknya, ketergantungan pada satu mesin fiskal saja membuat gerak ekonomi daerah kurang bertenaga. Belanja pemerintah terbatas, penyalurannya bertahap, dan struktur belanjanya sering kali tidak dominan pada sektor produktif. Akibatnya, perekonomian bergerak lambat, investasi swasta tidak berkembang, dan pasar tidak memiliki cukup tenaga untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Di sini kita perlu melihat sebuah fakta baru yang menarik, yang muncul dari kebijakan nasional dalam beberapa waktu terakhir.
Bank Indonesia hingga November ini mencatat bahwa jumlah uang beredar luas (M2) mencapai Rp 9.771 triliun, meningkat 8% dibanding tahun sebelumnya. Dan yang lebih penting, kenaikan likuiditas ini bukan terjadi secara alamiah, melainkan karena adanya injeksi terarah berupa penyaluran dana sekitar Rp 200 triliun ke sistem perbankan nasional.
Dalam waktu sekitar dua bulan saja, efek pengganda (money multiplier) bekerja: Rp 200 triliun dana awal menghasilkan pergerakan ekonomi sekitar Rp 781 triliun. Padahal proyeksi awal hanya memperkirakan efek tersebut akan tercapai dalam kurun dua tahun.
Selama ini Aceh sebenarnya tidak miskin uang, tetapi miskin keberanian menggerakkan uang. Dana Bank Aceh, Dana Abadi Pendidikan, Dana Baitul Mal, dana idle kas daerah, dan berbagai simpanan lembaga keuangan kita lebih banyak tidur di deposito, giro, obligasi, dan saham, sementara petani tidak punya modal, nelayan kekurangan cold storage, UMKM kehabisan nafas, dan anak muda memilih merantau karena di kampungnya uang tidak berputar. Kita telah menjadikan uang sebagai barang untuk disimpan, bukan alat untuk menciptakan kesejahteraan, padahal uang hanya punya satu fungsi sejati: berputar dan melahirkan nilai tambah. Selama uang kita dibiarkan diam, ekonomi akan tetap diam. Jika kita ingin Aceh bangkit, maka kita harus mengubah pola pikir ini sekarang—hidupkan likuiditas, gerakkan pembiayaan produktif, dan jadikan dana-dana yang selama ini mengendap sebagai bensin untuk menghidupkan mesin ekonomi rakyat. Tanpa itu, berapa pun anggaran dan dana Otsus yang kita terima, hasilnya hanya sirkulasi kemiskinan yang sama, hanya dengan bentuk yang lebih rapi.
Pesan pentingnya sederhana:
Ketika uang didorong untuk beredar, bukan sekadar disimpan, maka ekonomi hidup.
Inilah mesin ekonomi kedua yang selama ini jarang disentuh oleh pemerintah daerah:
Mesin Moneter: Likuiditas Pasar
Jika mesin fiskal adalah bagaimana pemerintah mengumpulkan, mengelola dan membelanjakan uang, maka mesin moneter adalah bagaimana uang berputar di masyarakat dan sektor usaha.
Kenaikan M2 yang terjadi di tingkat nasional menunjukkan bahwa:
• Ketika perbankan mendapat penguatan likuiditas, mereka dapat memperluas pembiayaan.
• Pembiayaan tersebut mendorong produksi, perdagangan, dan konsumsi.
• Aktivitas ini menciptakan lapangan kerja, pendapatan, dan kepercayaan pasar.
Dengan kata lain:
Likuiditas adalah oksigen ekonomi. Tanpa likuiditas, usaha tidak bergerak, dan pasar kehilangan nafas.
Pelajaran untuk Aceh
Aceh memiliki modal fiskal yang besar melalui Dana Otsus dan APBA, namun belum memiliki strategi moneter daerah untuk menggerakkan likuiditas.
Selama ini:
• Dana pemerintah banyak yang mengendap di kas daerah dan bank
• Kredit produktif UMKM masih rendah
• Sektor pertanian dan perikanan kurang memperoleh modal kerja
• Perdagangan lokal lemah karena daya beli berkurang
• Investasi swasta enggan masuk karena perputaran uang rendah
Dengan kata lain:
Aceh memiliki air dalam kendi, tetapi belum menuangkannya ke ladang ekonomi yang haus.
Maka untuk menghidupkan ekonomi Aceh, kita perlu menyalakan dua mesin sekaligus:
1. Mesin Fiskal (APBA, Dana Otsus, DAK, Hibah)
Namun dengan satu catatan penting “Belanja harus diarahkan ke sektor produktif”, bukan hanya rutin dan infrastruktur fisik dasar.
2. Mesin Moneter (Likuiditas Pasar & Pembiayaan Produktif)
Melalui: “Skema creative financing”, “Penjaminan kredit berbasis pemerintah daerah”, “Pemanfaatan instrumen syariah Bank Aceh”, “Peningkatan pembiayaan koperasi dan UMKM”, “Dana bergulir sektor pangan, maritim, dan agroindustry”.
Ketika fiskal menciptakan pondasi, dan likuiditas menggerakkan roda usaha, maka:
“Daya beli naik, “Produksi meningkat”, “Pasar hidup”, “PAD bertumbuh secara structural”, “Kemiskinan menurun bukan karena bantuan, tapi karena pekerjaan”.
Saatnya Aceh Beralih dari Konsumsi ke Produktivitas
Kita harus berani menata arah pembangunan ekonomi Aceh ke depan:
Pola Lama Pola Baru
Bergantung pada belanja pemerintah Menggerakkan ekonomi berbasis pembiayaan produktif
Infrastruktur fisik sebagai fokus Aktivitas usaha sebagai lokomotif
Belanja → habis Pembiayaan → berputar & tumbuh
Dana mengendap Dana berputar & menciptakan nilai
Karena yang membuat ekonomi maju bukan seberapa banyak uang dimiliki, tetapi seberapa cepat uang beredar dan menciptakan nilai tambah.
Penutup
Momentum nasional menunjukkan bahwa likuiditas yang dikelola dengan benar dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi secara dramatis. Aceh dapat meniru pendekatan ini, bukan dengan meng-copy program pusat, tetapi dengan mendesain model pembiayaan berbasis karakter ekonomi Aceh: pertanian, kelautan, perikanan, industri kecil, dan jasa pariwisata.
Aceh telah memiliki modal fiskal, jaringan perbankan syariah, dan sumber daya ekonomi riil. Yang kita butuhkan sekarang bukan menambah alokasi, tetapi menghidupkan perputaran.
Ekonomi Aceh akan tumbuh bukan karena besar anggarannya, tetapi karena hidup perputaran uangnya. Dua mesin harus menyala. “Fiskal membangun – Moneter menggerakkan”.[]




















