SAGOETV | BANDA ACEH – Film Bid’ah memicu perdebatan publik terkait isu kekerasan seksual di institusi keagamaan. Namun bagi Tgk. Haekal Afifa, mantan Ketua Majelis Akreditasi Dayah (MADA) Aceh, realita yang terjadi di Aceh jauh lebih memprihatinkan dari film tersebut. Ia menilai, predator seksual tak mengenal identitas, termasuk di lingkungan dayah.
Hal itu diungkapkan Tgk. Haekal yang juga Pendiri Institut Peradaban Aceh (IPA) dalam diskusi tentang film Bid’ah atau yang populer belakangan ini karena menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. “Namun, menurut saya pribadi, film ini justru menjadi cerminan dari realitas sosial yang terjadi di sekitar kita, khususnya di Aceh,” ujarnya dalam diskusi digelar Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) Selasa (15/4/2025), sebagaimana ditayang Podcast Sagoe TV pada Kamis (17/4).
Haekal menegaskan bahwa jika menyoal apakah praktik yang ditampilkan dalam film itu adalah bid’ah, saya sepakat—bahkan lebih dari sekadar bid’ah, karena hal itu merupakan bentuk nyata kemungkaran. Film ini mengangkat kisah fiksi, namun yang ia pantulkan adalah cermin atas problematika serius yang sedang kita hadapi di ruang-ruang tertutup, terutama di lingkungan berasrama seperti dayah atau pesantren.
Menurutnya, masyarakat sering terkejut karena merasa “isu seperti ini tidak ada di Aceh.” Padahal, persoalan predator seksual juga ada di sini. “Bahkan, dalam catatan kami saat saya menjabat di Majelis Akreditasi Dayah, terdapat 7 hingga 8 dayah yang tersandung kasus pelecehan seksual terhadap santri, baik oleh pimpinan maupun dewan guru,” ungkapnya dengan nada sedih penuh serius.
Yang menjadi sorotan, kata Pemerhati Dayah dan Aktivis Perlindungan Santri Aceh ini adalah bahwa praktik predator seksual ini tidak memiliki agama, warna, atau identitas tertentu. Ia bisa terjadi di dayah salafiyah, dayah khalafiyah, bahkan di institusi pendidikan umum seperti kampus atau lembaga asrama seperti polisi dan militer. Namun ketika terjadi di dayah, sorotan publik menjadi lebih tajam karena dayah diposisikan sebagai penjaga moral umat. “Sama seperti polisi; ketika melanggar hukum, efek sosialnya lebih besar karena ia adalah simbol hukum itu sendiri” papar dia memberi tamsilan.

Ia mengaku menyesal bahwa banyak kasus ditutup rapat-rapat. Bahkan, pernah terjadi satu kasus di Pidie Jaya, di mana pihak korban justru ditekan oleh aparat gampong, mukim, hingga camat, agar tidak menyebarkan informasi. Pelaku malah dilindungi, sementara korban harus dipindahkan. Ini adalah bentuk kemungkaran yang nyata.
Dari sisi regulasi, lanjut Alumni Dayah MUDI Mekkar Bekasi ini bahwa Qanun Dayah Aceh Nomor 9 Tahun 2018 memang sudah ada. Namun, dari 27 Peraturan Gubernur (Pergub) yang seharusnya diturunkan dari kanun tersebut, hanya 6 atau 7 yang terealisasi. Tidak ada Pergub tentang Renstra (rencana strategis), tidak ada tentang pengawasan, bahkan tidak ada kewenangan bagi pemerintah untuk mencabut izin operasional dayah bermasalah. Akhirnya, Majelis Akreditasi Dayah hanya bisa melakukan blocking terhadap usulan akreditasi dari dayah yang terbukti bermasalah.
Hal lainnya, kata dia, banyak alumni dayah yang membuka lembaga sendiri tanpa pengawasan dari dayah induk. Ini berbahaya. Apalagi jika secara moral, ilmu, dan spiritualitas belum selesai. Ada juga pola rekrutmen dewan guru di banyak dayah yang masih longgar. Siapa saja bisa masuk mengajar tanpa filter kuat. Ini membuka celah masuknya oknum yang tidak aman bagi anak-anak.
Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan jika korban-korban lebih memilih mencari perlindungan ke lembaga bantuan hukum seperti LBH. Karena di internal dayah belum tersedia sistem advokasi dan perlindungan korban yang bisa diandalkan.
Film yang dianggap “bid’ah” oleh sebagian pihak itu, menurut saya justru berhasil menyentil kita untuk berani bersuara tentang hal-hal yang lebih bid’ah dari film itu sendiri. Kita perlu membuka mata dan telinga, serta memperkuat langkah preventif—baik melalui pengawasan internal dayah, penguatan regulasi, maupun edukasi tentang perlindungan anak dalam sistem pendidikan berasrama. []