Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Pemilihan Presiden Amerika baru saja usai. Joe Biden dinyatakan menang.
Biden berhasil mengumpulkan suara electoral college lebih dari 270 sekaligus meraih suara pemilih individu terbanyak atau yang disebut popular vote dengan angka fantastis mencapai 75 juta lebih. Jumlah dukungan sebanyak itu baru pertama kali terjadi dalam sejarah pemilihan presiden Amerika.
Namun kemenangan Joe Biden yang mewakili Partai Demokrat bukan berarti kekalahan Trump. Trump tetap saja dianggap “menang”. Paling tidak ia menang dalam membangun identitas dan ideologi politiknya sekaligus berhasil menyakinkan 71 juta lebih warga Amerika.
Angka dukungan terhadap Trump jauh meningkat dibanding tahun 2016. Waktu itu, Trump hanya meraup 62 juta lebih suara, kalah dari perolehan suara Hillary Clinton yang mencapai 65 juta lebih. Namun suara electoral college Trump lebih tinggi (304 suara) dibanding Hillary Clinton (227 suara) sehingga ia dinyatakan menang.
Banyak pengamat politik menilai, andai wabah virus korona tidak ada, kemenangan Trump pada pemilu 2020 bakal berjalan mulus. Gerakan Black Lives Matter yang dipicu oleh kematian George Floyd di tangan polisi tidak menghalangi dan mengurangi suara Trump. Black Lives Matter hanya menambah antusiasme warga Amerika mendatangi kotak suara.
Pandemi korona lah yang membuat Trump kalah karena menyebabkan ekonomi Amerika terpuruk. Sementara gaya dan sikap politik Trump yang arogan, tungang, klo prip, dan cenderung memecah belah sama sekali tidak mengurangi suara Trump. Bahkan banyak warga Amerika memilih dan memujanya. Disinilah Trump dianggap menang.
Dalam politik Amerika, sosok Trump dianggap unprecedented. Tingkah laku politik seperti Trump belum pernah terjadi dalam sejarah demokrasi Amerika. Misalnya ia dengan mudah, tanpa beban, secara terbuka menyerang media, menyebut media sebagai penyebar berita bohong.
Trump juga gemar menggunakan twitter dalam menyampaikan pesan dan sikap politiknya. Ia lebih memilih mentwit dibanding berhadapan langsung dengan para wartawan. Baginya wartawan adalah musuh, bukan mitra.
Trump menyebut lawan tanding politik sebagai musuh. Istilah musuh padahal tidak dikenal dalam kamus demokrasi internal Amerika. Kata musuh lebih sering dipakai untuk pihak, organisasi atau negara asing yang mengancam Amerika.
Trump juga memperlakukan politisi Amerika berlatar belakang imigran seperti warga asing. Dalam kampanyenya di kota Moon Township, Pittsburgh, Trump secara terbuka menyebut nama politisi perempuan keturunan Somalia Ilhan Omar. Nama Omar berkali-kali diulang oleh Trump dihadapan pendukungnya untuk menunjukkan bahwa seakan-akan Amerika telah dikuasai oleh politisi asing.
Trump juga dengan santai di atas panggung debat presiden mengolok-olok Joe Biden yang dikenal rajin menggunakan masker pada saat tampil di depan umum. Debat presiden yang biasanya dijadikan ajang adu argumen kebijakan, oleh Trump diturunkan martabatnya menjadi debat kusir.
Terkait virus korona, Trump lebih memilih menggunakan teori konspirasi dengan menyebut virus Cina dibanding mencari solusi bagaimana mencegahnya berdasarkan nasehat ahli kesehatan. Menurutnya virus korona tidak lebih dari flu biasa yang tidak perlu ditakuti berlebihan. Ia juga enggan mengikuti protokol kesehatan misalnya menggunakan masker atau menjaga jarak saat berhadapan dengan pengikutnya.
Dalam hal politik luar negeri, Trump lebih senang berkawan dengan negara-negara yang dikenal suka melakukan pelanggaran HAM. Kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara seperti Myanmar, Cina, Rusia, Korea Utara dan beberapa negara Arab tidak menjadi perhatian utamanya.
Sikap politik Trump menolak hasil pemilu dan berjanji akan mempersengketakan proses penyelenggaraan pemilu ke pengadilan juga langkah politik yang belum pernah dilakukan oleh calon presiden Amerika sebelumnya.
Dalam konferensi pers, di hadapan wartawan Trump mengatakan seandainya surat suara ilegal tidak dihitung maka ia dengan mudah memenangkan kursi presiden. Namun Trump gagal membuktikan kecurangan yang mengutungkan Joe Biden.
Terakhir, Trump enggan menyampaikan ucapan selamat kepada Joe Biden sebagai presiden terpilih meski suara electoral college telah menunjukkan ia kalah. Padahal telah menjadi tradisi di Amerika, calon presiden yang kalah langsung mengucapkan selamat kepada pemenang.
Tentu saja perilaku politik Trump selama empat tahun menjabat presiden telah meracuni demokrasi Amerika. Tingkah lakunya sudah pasti akan ditiru oleh generasi Amerika. Artinya, meskipun Trump tidak lagi menjabat presiden, nilai, kepercayaan dan perilaku politiknya tetap menang.
Apalagi jika Joe Biden dan partai Demokrat melupakan janji politiknya; menyatukan kembali Amerika, membuka lapangan kerja, memberi perhatian ektra terhadap daerah pedalaman yang dikenal miskin dan mengembalikan nilai-nilai demokrasi, maka sudah pasti era Trump akan cepat kembali dalam panggung politik Amerika.[]