Oleh: Fahmi M. Nasir
Penulis buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia dan Anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Mualem – Dek Fadh. Email: fahmi78@gmail.com
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030 Mualem – Fadhlullah telah melakukan identifikasi isu-isu strategis pembangunan Aceh yang perlu diberikan fokus ke depan. Isu-isu strategis itu meliputi 7 (tujuh) sektor yaitu ekonomi, sosial dan budaya, agama, pemerintahan, hukum dan politik, infrastruktur, dan lingkungan hidup.
Ketua Tim Pemenangan Aceh Mualem – Dek Fadh, Ermiadi Abdulrahman mengatakan bahwa khusus untuk sektor agama sesuai dengan dokumen visi, misi dan program, ada empat isu yang akan dijadikan fokus dan diberikan solusi terhadap kondisi terkini bagi masing-masing isu tersebut.
Isu yang pertama adalah pemahaman dan pelaksanaan syariat Islam belum optimal. Kedua, belum optimalnya pengelolaan zakaf, infak, dan sedekah (ZIS). Ketiga, belum optimalnya pengelolaan wakaf. Keempat, masih ditemui adanya aliran sesat dalam kehidupan masyarakat.
Tulisan ini memberikan fokus pada isu yang ketiga terkait dengan belum optimalnya pengelolaan wakaf, meskipun dari segi aset, Aceh saat ini merupakan provinsi yang mempunyai tanah wakaf paling luas di Indonesia.
Data terakhir pada Sistem Informasi Wakaf (SIWAK), Kementerian Agama Republik Indonesia memperlihatkan bahwa jumlah tanah wakaf di Aceh adalah 18.520 persil dengan luasnya 9.508,25 hektar dengan perincian 8.833 persil atau 1.175,57 hektar sudah bersertifikat wakaf dan 9.687 persil atau 8.332,68 hektar belum bersertifikat wakaf.
Untuk wakaf produktif sendiri, walaupun ada beberapa usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak di Aceh termasuk program Stimulus Wakaf Produktif (SWP) yang dijalankan oleh Baitul Mal Aceh (BMA), namun secara keseluruhan bisa dikatakan pemberdayaan wakaf masih sangat terbatas.
Di sini, penulis akan memaparkan beberapa strategi yang dapat diimplementasikan untuk optimalisasi tata kelola wakaf di Aceh. Beberapa bagian dari tulisan ini telah pernah dipublikasikan dalam berbagai kesempatan terdahulu.
Langkah-langkah yang akan diambil itu adalah mengadakan Kongres Wakaf Aceh (KWA) dan merumuskan Peta Jalan Wakaf Aceh (PJWA) yang di dalamnya juga akan akan membahas hal-hal terkait dengan perubahan paradigma, penguatan regulasi, penguatan sumber daya manusia, inisiasi penubuhan Forum Wakaf Aceh (FWA) dan sumber-sumber pembiayaan wakaf.
Kongres Wakaf Aceh
Langkah yang pertama sekali akan dilakukan oleh Mualem – Fadlullah jika mereka terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2025-2030 adalah melaksanakan Kongres Wakaf Aceh (KWA).
Mengapa demikian? KWA akan menjadi tempat para pemangku kepentingan bertukar pikiran dan gagasan, mengidentifikasi segala tantangan dan potensi sektor wakaf, menawarkan solusi pengembangan wakaf secara komprehensif, mengidentifikasi mitra dan calon mitra untuk mengembangkan aset wakaf di Aceh, dan menghasilkan dokumen Peta Jalan Wakaf Aceh (PJWA) yang menjadi pedoman pengembangan wakaf di daerah kita. KWA ini kemudian akan menjadi landasan awal pengembangan wakaf secara komprehensif di daerah kita.
Agenda apa saja yang perlu ada di kongres tersebut? Setidaknya ada empat agenda utama yang akan berlangsung, yaitu: Pertama, sesi sharing (berbagi) oleh para praktisi wakaf dan sesi seminar wakaf. Kedua, Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Wakaf Aceh. Ketiga, sesi pemaparan potensi dan proposal pengembangan wakaf Aceh. Keempat, sesi business matching (pertemuan bisnis yang terjadwal).
Untuk agenda pertama, panitia akan memilih para praktisi dan pakar wakaf sebagai nara sumbernya. Praktisi yang diundang ini meliputi nazhir wakaf, mitra nazhir wakaf, dan otoritas yang telah berhasil mengembangkan wakaf. Sedangkan pakar wakaf, akan dipilih beberapa pakar wakaf yang relevan dan punya rekam jejak bagus di level nasional ataupun internasional.
Di antara praktisi wakaf yang diundang adalah Nazhir Wakaf Baitul Asyi sendiri dan mitra mereka baik mitra pembangunan hotel ataupun mitra yang sekarang ini menjadi pengelola hotel tersebut. Tentu sangat menarik mendengar secara langsung cara mereka mengembangkan Wakaf Baitul Asyi mulai dari skema pembiayaan, skema pengelolaan dan skema bagi hasil.
Panitia juga akan mengundang pihak yang terlibat dalam berbagai proyek wakaf ikonik seperti Menara Bank Islam Malaysia di Kuala Lumpur, Proyek Komersial Bencoolen di Singapura, ataupun Menara Zamzam di Mekkah. Pengalaman dan skema pengembangan yang mereka lakukan, tantangan yang mereka hadapi sewaktu merencanakan dan mengimplementasikan proyek tersebut, dan cara pengelolaannya sekarang ini akan memberikan kontribusi besar bagi pemangku kepentingan wakaf di Aceh dalam mengembangkan sektor wakaf ke depan.
Sesi FGD Pengembangan Wakaf pula akan membicarakan secara tuntas ekosistem wakaf yang terdiri dari konsepsi, regulasi, tata kelola, profesionalisme, dan pembiayaan. Semua pemangku kepentingan wakaf Aceh akan diundang untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kelima isu utama yang dibahas. Untuk meningkatkan kualitas pembahasan dan akurasi rekomendasi yang dilahirkan, beberapa praktisi dan pakar wakaf juga diundang menjadi nara sumbernya.
Untuk sesi ketiga, potensi dan proposal pengembangan proyek wakaf di Aceh akan dipaparkan oleh pemangku kepentingan yang dikomandoi oleh Baitul Mal Aceh (BMA) dan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh. Sebelum kongres, BMA bersama-sama dengan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) dan Bappeda perlu mempersiapkan Katalog Proyek Wakaf Produktif Aceh. Katalog ini bisa dipersiapkan melalui kerjasama dengan berbagai universitas yang ada di Aceh.
Katalog ini minimal memuat satu proyek wakaf yang berpotensi dikembangkan di setiap kabupaten/kota. Informasi yang perlu dimuat dalam katalog antara lain nama proyek, wakif, nazhir, pengelola (jika ada), lokasi proyek, proyeksi investasi, perkiraan nilai proyek, latar belakang proyek, dan perkembangan proyek terkini (jika ada).
Pada sesi pertemuan bisnis, panitia bisa memilih beberapa proyek wakaf yang potensial dikembangkan, bersumber dari Katalog Proyek Wakaf Produktif Aceh, untuk diperkenalkan kepada calon mitra dari dalam dan luar negara.
Peta Jalan Wakaf Aceh
Pada level nasional, Indonesia sekarang ini telah memiliki Peta Jalan Wakaf Nasional (PJWN) 2024-2029. Penulis melihat PJWN ini masih mempunyai beberapa kelemahan mendasar yang perlu disempurnakan lagi sebelum dapat diimplementasikan.
Bagaimana dengan kita di Aceh? Untuk optimalisasi tata kelola wakaf maka sudah waktunya juga kita memiliki satu panduan yang komprehensif supaya dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan wakaf di provinsi kita. Panduan ini, untuk menyesuaikan dengan istilah yang digunakan di tingkat nasional, kita beri nama Peta Jalan Wakaf Aceh (PJWA).
PJWA ini haruslah memasukkan dua elemen utama yang merupakan kunci berhasil atau tidaknya sektor wakaf dikembangkan secara masif. Kedua hal tersebut adalah esensi wakaf dan ekosistem wakaf.
Esensi wakaf ini harus dimasukkan pada bagian pendahuluan yang diikuti oleh masing-masing pemaparan tentang lanskap wakaf dunia, lanskap wakaf Indonesia dan lanskap wakaf Aceh. Lalu diikuti dengan visi pembangunan wakaf Aceh dan target capaian serta indikator utama. Selanjutnya pemaparan mengenai strategi utama yang di dalamnya meliputi ekosistem wakaf.
Esensi wakaf itu ada dua yaitu sebagai ‘problem solver’ dan sebagai ‘wealth creation’. Kesalahfahaman mengenai esensi wakaf ini bisa berakibat kepada terlambatnya realisasi usaha revitalisasi dan transformasi sektor wakaf.
Untuk lanskap pula, secara global, sektor wakaf kembali masuk ke arus utama pasca diluncurkannya Waqf Report(Laporan Wakaf) oleh World Bank, INCEIF dan ISRA pada 12 Juli 2019 di Kuala Lumpur.
Laporan yang diberi nama ‘Maximizing Social Impact Through Waqf Solutions’ ini memaparkan kondisi sektor wakaf secara komprehensif mulai dari rekam jejak gemilang sepanjang sejarah, peran dalam bidang pembangunan dan sektor sosio-ekonomi, potensi besar yang dimilikinya kini, faktor-faktor yang menghambat kemajuan wakaf, berbagai strategi untuk membangun dan mengoptimalkan kembali peran wakaf, dan beberapa model ikonik dan instrumen pembiayaan wakaf yang digunakan.
Pada tahun 2021, the United Nations in Saudi Arabia (UN) dan Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD), mengadakan kajian yang mengidentifikasikan wakaf sebagai sumber yang penting untuk pembiayaan berkelanjutan bagi terealisirnya Visi Arab Saudi 2030 dan Agenda PBB 2030.
Kajian berjudul “The Role of Awqaf in Achieving the SDGs and Vision 2030 in KSA” itu kemudian memberikan beberapa rekomendasi untuk membantu meningkatkan kontribusi wakaf dalam mencapai kedua visi 2030 tersebut di Arab Saudi.
Di Indonesia sendiri, diskursus wakaf kini sudah menjadi arus utama di mana beragam produk wakaf yang kontemporer seperti wakaf uang berbasis sukuk (CWLS), wakaf uang berbasis deposito (CWLD), wakaf asuransi dan lain sebagainya semakin mewarnai dunia wakaf. Salah satu produk wakaf itu, CWLS terpilih sebagai pemenang anugerah prestisius ‘Islamic Development Bank (IsDB) Prize for Impactful Achievement in Islamic Economics’ tahun 2023.
Untuk konteks Aceh, di daerah kita, aset wakaf bisa ditemui dengan mudah di sekitar kita. Ini merupakan indikasi bahwa wakaf di Aceh juga punya rekam jejak yang baik.
Ada beberapa terma lain yang akrab dengan wakaf yang ditemui di Aceh yaitu nanggroe wakeueh dan meuripee. ‘Nanggroe wakeueh’ atau sering juga disebut sebagai ‘tanoh bibeuh’ ini merupakan tanah yang diwakafkan oleh penguasa atau pembesar untuk diusahakan oleh rakyat yang tidak memiliki tanah, di mana hasil dari usaha itu diberikan kepada yang mengusahakannya.
‘Meuripee’ pula adalah urun dana yang dilakukan oleh banyak orang untuk mendanai atau membuat aset-aset wakaf baru untuk kepentingan umum. Dewasa ini istilah meuripee dikenali dengan crowdfunding.
Implikasi dari rekam jejak wakaf yang baik pada masa lalu, maka kita akan menemukan banyak sekali aset wakaf yang dimiliki oleh Aceh baik di Aceh atau di luar Aceh seperti di Makkah (yang paling terkenal tentunya Wakaf Habib Bugak Asyi atau Baitul Asyi), Pulau Pinang (Masjid Melayu Lebuh Aceh) dan beberapa aset baik sekolah atau meunasah di Kampung Acheh, Yan, Kedah, Malaysia.
Selanjutnya elemen PJWA yang paling krusial adalah strategi utama. Strategi utama ini meliputi pembahasan secara rinci mengenai ekosistem wakaf yang terdiri dari konsepsi, regulasi, tata kelola, profesionalisme, dan pembiayaan.
Strategi Utama
Berhasil atau tidaknya memajukan wakaf di Aceh sangat tergantung kepada PJWA yang perlu dijabarkan melalui strategi utama. Strategi utama ini merangkumi ekosistem wakaf secara menyeluruh.
Suruhanjaya Sekuriti Malaysia (2014) menyebutkan ekosistem wakaf itu meliputi konsepsi, regulasi, tata kelola, profesionalisme dan pembiayaan.
Terkait konsepsi, Murat Cizakca (1997) menerangkan bahwa wakaf dapat dioptimalkan untuk menalangi anggaran belanja pemerintah. Sepanjang sejarah, wakaf telah terbukti mampu membiayai berbagai macam pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengadaan infrastruktur dan lain-lain.
Regulasi pula berhubungan dengan segala turunan peraturan yang mengatur wakaf. Sektor wakaf di Aceh secara umum diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf beserta sejumlah peraturan pendukung lainnya dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal beserta peraturan pendukung lainnya.
Melihat regulasi yang sudah ada dan dinamisnya perkembangan wakaf belakangan ini, mau tidak mau pemangku kepentingan harus segera merevisi berbagai aturan yang ada baik untuk memperkuat regulasi itu sendiri ataupun untuk mengakomodir berbagai perkembangan terbaru di sektor wakaf.
Salah satu hal yang perlu diatur dalam regulasi adalah sensus aset wakaf. Syed Khalid Rashid (2011), pakar wakaf dari India, mengatakan bahwa amanah undang-undang merupakan syarat utama untuk terwujudnya sensus wakaf.
Pendataan wakaf sangat krusial dalam pemetaan aset, status dan masalah aset wakaf tersebut, jika ada. Sensus akan memberikan gambaran bentuk aset, nilai, pendapatan dari aset itu, potensi aset termasuk wakaf uang, dan kondisi finansial aset wakaf. Sensus juga akan melahirkan pangkalan data aset wakaf yang sangat bermanfaat untuk menetapkan prioritas pengembangan aset wakaf. Bahkan sensus ini juga mampu menarik para investor untuk ikut serta mengembangkan aset wakaf karena nilai riil dan potensi aset wakaf sudah diketahui.
Ekosistem berikutnya adalah tata kelola, yang berhubungan dengan pemangku kepentingan sektor wakaf Aceh saat ini mulai dari Baitul Mal Aceh (BMA), Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Aceh, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Aceh, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh.
Melihat besarnya potensi wakaf dan beratnya beban untuk mengembangkannya, serta sering berlaku tumpang tindih tugas dan kewajiban antar pemangku kepentingan, maka kehadiran PJWA merupakan sebuah keniscayaan untuk dapat menyelesaikan masalah klasik tersebut. Fungsi dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan tersebut harus diatur dengan rinci melalui PJWA. Begitu juga dengan bagaimana mereka melakukan koordinasi dan sinergi untuk bersama-sama membangun sektor wakaf di Aceh.
Untuk memudahkan sinergi dan koordinasi antara semua pemangku kepentingan wakaf di Aceh, maka satu forum komunikasi perlu dibentuk. Forum ini kita beri nama Forum Wakaf Aceh (FWA) yang anggotanya adalah semua pemangku kepentingan wakaf di daerah kita.
Bagaimana struktur FWA yang ideal? Penulis mengusulkan agar FWA terdiri dari empat komponen yaitu, lembaga pemegang amanah (Board of Trustees), lembaga pengarah (Board of Directors), sekretariat (Secretariat), dan lembaga penasehat (Board of Advisors).
Lembaga pemegang amanah ini akan diisi oleh Wali Nanggroe Aceh, para mantan gubernur Aceh, dan tokoh lain yang dirasa perlu. Lembaga pengarah akan diisi oleh Gubernur Aceh, Ketua DPRA Aceh, Ketua Forum Bersama DPR-RI/DPD dari Aceh, Ketua Badan Baitul Mal Aceh, dan Ketua Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Aceh, Ketua Dewan Syariah Aceh (DSA), Direktur Eksekutif Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Aceh, dan pihak lain yang relevan nantinya.
Untuk sekretariat, akan dipilih beberapa orang yang berkompeten daripada para pemangku kepentingan wakaf Aceh ataupun pihak lain yang dirasa mempunyai kapasitas untuk menjalankan FWA secara efektif dan efisien. Sekretariat inilah yang menjadi elemen penggerak FWA sehari-hari.
Bagi lembaga penasehat, bisa dipilih para pakar wakaf yang memiliki kompetensi tinggi baik dari Aceh ataupun di luar Aceh. Bila perlu pakar wakaf dari luar negeri juga bisa menjadi anggota penasehat FWA. Ekosistem keempat adalah profesionalisme yang terkait dengan pengelola aset wakaf atau dikenal dengan istilah nazhir. Menurut regulasi, nazhir itu meliputi perorangan, organisasi dan badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.
Sesuai dengan paradigma bahwa wakaf adalah lembaga keuangan, maka sudah waktunya peluang untuk menjadi nazhir dibuka selebar-lebarnya kepada lembaga keuangan ataupun kepada mana-mana korporasi agar kompetensi kedua lembaga tersebut dapat dioptimalkan bagi kemajuan sektor wakaf. Baru-baru ini melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (UU P2SK), bank syariah telah diberikan penambahan peran baru sebagai nazhir wakaf.
Bagaimana jika nazhir yang ada tidak mampu untuk mengembangkan aset wakaf yang diamanahkan kepadanya? Pemangku kepentingan di Aceh dapat mengikuti cara yang ditempuh oleh nazhir wakaf Baitul Asyi di Makkah dan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dalam mengembangkan aset wakaf.
Nazhir wakaf Baitul Asyi mengambil langkah untuk bekerjasama dengan pihak investor untuk membangun dan mengoperasikan hotel yang dibangun di atas tanah wakaf.
Langkah yang berbeda diambil oleh MUIS pada tahun 2000 ketika mereka mendirikan anak perusahaan, yang diberi nama Warees, untuk mengembangkan wakaf di negara mereka. MUIS kemudian berkonsentrasi penuh dalam hal administrasi dan regulasi sementara tugas untuk membangun aset wakaf diserahkan sepenuhnya kepada Warees yang terdiri dari staf profesional yang memiliki kepakaran dalam berbagai bidang.
Sumber Dana Wakaf
Ekosistem terakhir adalah pembiayaan. Ini berkaitan dengan dana untuk mengembangkan aset wakaf baik dalam konteks pembangunan aset wakaf, rejuvenasi aset wakaf ataupun akuisisi aset baru menjadi aset wakaf.
Di luar negara, kita lihat setidaknya ada empat sumber dana pengembangan wakaf yang sering digunakan.
Pertama, pembiayaan yang bersumber dari Lembaga Keuangan Islam ataupun Badan Usaha Milik Negara. Pengembangan wakaf berupa Menara Bank Islam di Kuala Lumpur dan kawasan komersial Wakaf Seetee Aishah di Pulau Penang, adalah contoh keberhasilan model pembiayaan yang pertama ini. Menara Bank Islam yang berada di lokasi yang segi tiga emas Kuala Lumpur merupakan kolaborasi antara Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur (MAIWPKL) dengan Lembaga Urusan Tabung Haji (LUTH) Malaysia. Wakaf Seetee Aishah pula adalah kerjasama antara Majlis Agama Islam Negeri Pulau Pinang (MAINPP) dengan UDA Holdings Berhad (UDA).
Kedua, menggalang dana melalui pasar modal. Kompleks komersial Bencoolen di Singapura dan Menara Zam Zam di Makkah adalah ikon untuk pembangunan wakaf dengan memanfaatkan sukuk dalam mengembangkan aset wakaf di masing-masing negara tersebut.
Ketiga, menggunakan dana yang bersumber dari alokasi pemerintah. Pemerintah Malaysia antara tahun 2006-2010 mengalokasikan dana sebesar RM250 juta untuk mengembangkan tanah-tanah wakaf di seluruh Malaysia. Di antara proyek yang berhasil dilakukan dengan sumber dana tersebut adalah Hotel Wakaf di Terengganu, Hotel Wakaf di Taiping, Perak dan Hotel Wakaf Melaka.
Keempat, menggunakan dana yang bersumber dari inisiatif pihak swasta. Inisiatif ini telah dilakukan oleh perusahaan Johor Corporation (JCorp) yang mewakafkan saham mereka sebanyak 12.35 juta saham dengan nilai RM200 juta untuk dikelola oleh Waqaf An-Nur Corporation Berhad (WANCorp).
Khusus untuk Aceh, PJWA dapat mengidentifikasi sumber potensial pembiayaan, antara lain konversi dana CSR-BUMD menjadi wakaf uang, wakaf uang dari pejabat tinggi daerah, direksi dan komisaris BUMD, infak wajib sesuai dengan amanah Qanun Aceh No. 3/2021, serta wakaf berjangka dari orang-orang kaya baik di Aceh atau di luar Aceh.
PJWA juga perlu mengidentikasi sumber pendanaan lain baik di level nasional ataupun level internasional. Beragam produk wakaf atau lembaga pembiayaan wakaf yang terdapat sekarang ini seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), Cash Waqf Linked Deposit (CWLD), Cash Waqf Linked Peer to Peer (CWLP) dan Awqaf Properties Investment Fund (APIF), atau Wakaf Karbon yang diperkirakan menjadi produk wakaf terbaru tidak lama lagi, akan dieksplorasi secara maksimal oleh pasangan Mualem – Dek Fadh baik untuk membiayai pengembangan sektor wakaf atau membiayai beberapa program prioritas pasangan ini.
Kita optimis, KWA dan PJWA akan mampu membawa para pemangku kepentingan di Aceh mencapai optimalisasi dan transformasi tata kelola wakaf yang akan bermuara pada terealisasinya kemajuan wakaf Aceh secara masif dan eksponensial.[]