Oleh: Dr. Sehat Ihsan Shadiqin.
Dosen Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Duduk di bawah pohon trembesi, di belakang sebuah warung kopi tradisional di pinggir kota sambil menyerumput kupi sikhan tadi pagi membuat hati saya ngilu. Niat ngopi untuk mendapatkan energy booster memulai tugas-tugas hari senin, sama sekali tidak kesampaian.
Bukan salah kopinya yang entah kenapa pagi ini memang airnya terasa kurang panas, tapi beberapa cerita dalam buku yang sedang saya tuntaskan: Aceh: Kisah Datang dan Terusirnya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan, yang dengan apik ditulis oleh wartawan Belanda, Anton Stolwijk. Di sana ia menyajikan beragam prilaku zalim dan kejam pemerintah Kolonial kepada rakyat Aceh satu setengah abad yang lalu.
Beberapa teman kemudian datang ikut ngopi dan duduk mengitari meja alumunium tebal mengkilap itu. Setelah masing-masing mereka memesan kopi, kami mulai terlibat pembicaraan. Tidak ada topik lain dalam beberapa hari ini selain masalah banjir yang terjadi di Aceh. Dan masing-masing mereka punya cerita yang mengharukan.
Ini banjir yang tidak biasa, kata kawan yang rumah orang tuanya di Aceh Utara terendam air. Sudah sejak saya lahir, dan mungkin sejak ibu saya lahir, kampung kami ngak pernah banjir. Tapi kali ini sepinggang. Tiga kilang padi di kampung semuanya terendam air.
Pabrikmu? Tanya saya
Bukan, punya orang, jawabnya.
Celakanya, baru minggu lalu warga mulai memanen padinya dan masih belum selesai. Tidak ada yang selamat. Sawah saya yang harusnya bisa dipanen selasa kemarin juga habis disapu air, katanya.
Aku baru tahu setelah 25 tahun pertemanan kami kalau kawan ini punya sawah di kampung sehingga ia tidak perlu beli beras meskipun ia tinggal di Banda Aceh yang tidak ada sawahnya.
Memang luar biasa kali ini, timpa teman lain, yang telah menghabiskan satu dekade terakhir untuk mencoba beragam obat agar rambutnya tidak terus rontok. Rumah saya sejak dibangun tahun 1990, baru kali ini masuk air. Padahal bapak saya sangat perhitungan saat membangun rumah itu dulu. Tidak hanya memilih tempat yang tepat, tapi juga membuat pondasi yang tinggi.
Tapi banjir kali ini semuanya menjadi tidak berarti. Rumah kami masuk air sedada. Bukan air biasa, tapi air yang membawa tanah. Ketika air itu surut, tanahnya tinggal. Lihat ini, setengah rumah kami sudah tenggelam dalam tanah, katanya sambil menunjukkan foto dari hp-nya.
Memang, tidak perlu akal sehat untuk menilai kalau banjir yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Barat minggu lalu adalah sebuah bencana besar. Jalan-jalan putus, jembatan putus, longsor di mana-mana, banjir bandang, rumah tenggelam dan hanyut, bangunan penuh lumpur, listrik padam total, signal hp mati, transportasi macet, BBM langka, orang-orang mengungsi, pakaian tidak ada, makanan dibawa air, ratusan orang meninggal dunia, kelaparan, cedera, dan beragam penderitaan lainnya.
Jikapun ada yang mengatakan ini adalah bencana yang hanya besar di media sosial, sementara di lapangan tidak separah itu, itu karena ia tidak berakal.
Sejak Rabu lalu, hampir seluruh daerah di Aceh, Sumatera Utara dan Barat didera hujan. Keesokan harinya, di beberapa daerah kabupaten kota di Aceh air mulai naik. Air menyebabkan jalan putus, jembatan roboh, mobil dan banguan terseret jauh.
Di Kabupaten Aceh Tengah terjadi banjir bandang di beberapa desa yang menyebabkan akses ke ibukota Takengon tidak dapat dilakukan. Hal serupa juga terjadi di Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Di beberapa kabupaten di pesisir air mengenangi hampir semua wilayah dalam 2-5 meter yang menyebabkan pemerintahan lumpuh dan kehidupan seperti terhenti.
Di Kota Langsa dan Kuala Simpang, air tergenang berhari-hari menutup hampir semua daratan dan jalan. Dalam dua-tiga hari nyaris tidak dapat melakukan pergerakan di kota itu.
Air itu tidak datang sendiri, mereka membawa oleh-oleh: kayu dan lumpur.
Seorang pejabat pemerintah di Jakarta, yang sangat cerdas dan makmur hidupnya, dari balik meja kantornya yang nyaman ber-AC mengatakan kalau pohon-pohon yang dibawa banjir bukan dari penebangan liar, namun tumbang karena hujan lalu terseret ke bawah tergerus banjir. Tidak ada pembalakang kayu yang menyebabkan banjir, katanya lagi.
Ia, seperti kebanyakan pejabat di daerah lain, merasa apa yang terjadi di Aceh dan daerah lain merupakan sebuah bencana alam biasa yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebijakan korup yang dilakukannya. Geblok!
Kenyataannya, banyak kayu yang dibawa air terpotong rapi, berukuran standar, dan kemudian menjadi palu godam yang menghancurkan bangunan, menyeret rumah, dan menutup akses air di sungai. Air kemudian meluap dan mengenangi seluruh kawasan.
Di hulu, di gunung dan hutan, pohon-pohon telah dibabat. Kayu-kayu telah ditebang dan diganti dengan tumbuhan lain yang berdaun, memiliki batang, akar dan buah. Orang-orang menyebutnya Pohon Sawit. Berbeda dengan pohon lain yang menyerap dan menyimpan air dalam tanah, sawit menyimpan air cukup untuk kebutuhannya sendiri.
Karena harganya yang mahal dan stabil sepanjang tahun, pemerintah menggalakkan tanaman ini. Hutan dibabat lalu digantikan dengan Sawit. Orang-orang berebut jabatan dan kuasa agar mereka mendapatkan izin memperkosa tanah nenek monyangnya untuk sawit. Saat penguasaha serakah bertemu pejabat korup maka nyaris tidak ada izin yang ditolak. Apalagi pengusahanya adalah pejabat itu sendiri.
Politisi muda dan timsesnya, juga ingin mendapatkan sesuatu. Karena modal untuk sawit tidak cocok di kantong, mereka kebagian Galian C. Tanah batu di hulu sungai dikeruk tanpa henti. Air yang jernih jadi kuning kecoklatan. Jadinya, kita sulit menemukan air sungai yang sejuk dari pegunungan, karena semuanya telah dikotori oleh anjing kurap itu.
Tapi atas semua penderitaan yang diakibatkannya, pemerintah tetap tidak mau ambil pusing.
Ini tidak layak disebut dengan bancana nasional, kata seorang pejabat yang sangat visioner dari kantornya yang megah di Jakarta. Kita punya standar untuk meningkatkan sebuah bencana menjadi bencana nasional, ada syarat dan ketentuannya, katanya lagi. Apa yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Barat, tidak memenuhi syarat itu. Ia demikian visioner hingga lupa kalau kantornya bermula dari tsunami Aceh 2004.
Apa syaratnya?
Bencana harus terjadi di Jawa! kata teman yang mantan aktivis 98 (dan masih terus bicara sebagai aktivis). Mereka memang tidak suka Aceh! Katanya lagi, kali ini lebih serius. Orang-orang yang ada di Pemerintah pusat sekarang ini adalah orang yang pernah bermasalah dengan Aceh.
Mereka memang benci Aceh. Bukan hanya sekarang, sejak dahulu. Banjir kali ini adalah cara terbaik untuk meluapkan segala kemarahan itu kepada Aceh. Kira-kira mereka hendak berkata: Bah irasa. Cok nyan!
Tentu saja apa yang dikatakan teman itu tidak benar dan tidak perlu kita percayai. Namun perhatian pemerintah yang sangat lambat, aksi yang sangat retorik, tindakan yang tidak terencana dan terstruktur menunjukkan betapa masalah nasional di Aceh hanyalah pengerukan sumber daya alam, izin tambang, izin sawit, perambahan hutan, dan mengambil pajak dari rakyat.
Kalau bencana, urus sendiri!
Aku menghirup tegukan terakhir kopi hitamku, terasa hambar. Angin bertiup menimbulkan gemercik daun trembesi yang rindang. Dari sela-sela daun nampak matahari mulai meninggi. Saatnya berangkat ke kantor.
Di sepanjang perjalanan aku berusaha untuk tidak percaya dengan apa yang kami perbincangkan di meja warung kopi, namun terasa agak berat. Di lapangan menunjukkan betapa abainya negara dalam mengatasi masalah yang diderita rakyat. Mereka hanya peduli pada keuntungannya saja.
Tiba-tiba aku teringat baris-baris kalimat dalam buku yang sedang kubaca, tentang sikap Pemerintah Kolonial Belanda lebih 100 tahun yang lalu kepada masyarakat Aceh.
Ternyata mereka sama saja, batinku.



















