SAGOETV | BANDA ACEH – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh masih menjadi persoalan serius. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DPPPA) mencatat, sepanjang 2019–2024 terjadi 6.247 kasus kekerasan, atau rata-rata lebih dari seribu kasus per tahun. Angka ini diyakini hanya puncak dari gunung es persoalan yang lebih kompleks.
Menanggapi situasi ini, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mulai terlibat aktif dalam mendorong perbaikan kebijakan berbasis data dan partisipasi publik.
“Kami memandang perempuan, anak, dan penyandang disabilitas bukan hanya kelompok rentan, tetapi aset penting bagi masa depan Aceh,” ujar Koordinator MaTA, Alfian, dalam podcast Sagoetv, Rabu (19/6/2025).
Menurutnya, alokasi anggaran untuk sektor perlindungan perempuan dan anak masih sangat minim. Dari total APBA Aceh sebesar Rp17,3 triliun, hanya sekitar 0,19 persen yang dialokasikan untuk sektor ini. “Selama anggarannya kecil, jangan heran jika kasusnya terus meningkat,” tegas Alfian.
Dalam enam bulan terakhir, MaTA bersama jaringannya melakukan riset partisipatif dan menyusun policy brief yang diserahkan ke Bappeda Aceh, Komisi V DPRA, dan DPPPA. Kajian tersebut memuat strategi konkret pencegahan kekerasan, penguatan program lintas sektor, serta rekomendasi reformasi anggaran.
Beberapa poin rekomendasi telah masuk dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Renstra dinas terkait, sebagai indikasi bahwa advokasi kolaboratif mulai mendapat tempat dalam proses perencanaan pembangunan di Aceh.
Alfian menilai, pendekatan reaktif selama ini tidak lagi cukup. “Kita harus bergeser ke strategi pencegahan yang berbasis budaya, edukasi publik, dan partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mendorong sinergi lintas sektor, termasuk dengan MPU, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, serta instansi lingkungan hidup, mengingat kerusakan lingkungan juga turut memperburuk kerentanan perempuan dan anak.
Menurutnya, pelibatan tokoh adat, agama, guru, hingga mahasiswa harus menjadi bagian dari desain kebijakan ke depan. “Kesadaran sosial tidak bisa dibangun hanya lewat pelatihan birokrasi. Harus ada pendekatan akar rumput yang menyentuh nilai-nilai lokal,” tambahnya.
MaTA bahkan mengusulkan pendekatan berbasis kearifan lokal seperti fatwa MPU, hukum adat, dan kampung ramah anak sebagai metode edukatif yang efektif di masyarakat Aceh.
Meski diakui tantangan birokrasi masih besar, Alfian optimis karena melihat komitmen baru dari sejumlah pihak. “Yang penting adalah memastikan gagasan ini tidak berhenti di atas kertas, tapi benar-benar diterapkan dalam program nyata,” pungkasnya. []
Lengkapnya silahkan nonton link berikut ini :