Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin
Dosen Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Email: sehatihsan@ar-raniry.ac.id
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sana nanti. Dan tidak ada yang benar-benar tahu. Umat beragama menceritakan tentang hidup setelah mati, namun setiap orang punya versinya. Apa yang perlu kamu jelaskan adalah keberagaman versi itu, bukan sebuah perspektif tunggal yang kamu dengar dari satu narasumber dan itu kamu anggap kebenaran itu sendiri. Kita sedang menyusun sebuah karya akademik.”
Meskipun tidak persis sama, namun saya ingat betul seperti itulah kira-kira komentar Prof. Anthony Reid yang saya panggil Pak Toni terhadap draft artikel saya.
Saat itu saya sedang dalam pelatihan penelitian sosial tahap ketiga di Aceh Research Training Institute (ARTI). Saya bersama belasan peneliti muda lainnya telah melewati dua tahap lain yang berupa Workshop di kelas. Tahap pertama fokus pada pengetahuan umum tentang penelitian dan dilakukan pada beberapa kelompok. Kami dibimbing oleh Prof. David Reeve yang terkenal dengan bukunya tentang biorgrafi Ong Hok Ham, orang Tionghoa yang lebih Indonesia dari orang Indonesia. Saya masih ingat pesan David tentang peneltian:
“Penelitian adalah berusaha menulis apa yang kamu ingin tulis. Bagaimana caranya, itu terserah kamu. Kamulah yang tahu bagaimana melakukan pekerjaanmu sendiri. Orang boleh mengatakan apa saja, namun yang harus memutuskan adalah kamu sendiri, sebab kamu yang tahu akan menulis apa, tentang apa, lokasinya di mana, orangnya seperti apa, dan lain sebagainya.”
Beberapa orang peserta di tahap satu dipilih dari kelompok ini dan lanjutkan dengan workshop tahap kedua yang lebih fokus pada penulisan proposal penelitian, teknik penelitian lapangan dan penulisan artikel. Di sana kami dibimbing oleh tiga orang jagoan kualitatif: Arskal Salim, Adlin Sila, dan Eka Srimulyani. Proposal inilah yang menentukan seseorang dipilih untuk melanjutkan ke tahapan ketiga. Saya menjadi salah satu peserta yang mendapatkan SMS dari Laura Yoder, direktur ARTI tahun 2008 yang berisi kira-kira: “Selamat, anda berhak mengikuti pelatihan tahap ketiga!”
Pada tahapan terakhir ini, peserta terpilih diminta melakukan studi lapangan, mempraktikkan pengetahuan teoritik sebelumnya dalam penelitian sesungguhnya. Setiap peserta mendapatkan tiga orang pembimbing. Saya sendiri dibimbing oleh Dr. Aslam Nur dari UIN Ar-Raniry, Prof. Irwan Abdullah dari UGM, dan Prof. Anthony Reid dari NUS. Saya benar-benar merasa sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan belajar dari pakar sejarah Aceh ini.
Saat itu saya meneliti tentang kenduri kematian dalam masyarakat Kluet di Aceh Selatan. Dalam hal ini saya menempatkan kenduri kematian dalam kerangka kebudayaan yang terus berubah. Bukan hanya bentuk ritual, tahapan, kelengkapan, namun juga pemaknaan pada ritual ini juga berubah. Apa yang sebelumnya sesuai dengan agama, kemudianm enjadi tidak sesuai. Apa yang sebelumnya tidak dimaknai, kemudian memiliki makna. Oleh sebab itu dalam penelitian tersebut saya menempatkan perubahan itu dalam berbagai dimensi sosial yang ada dalam masyarakat.
Seteleh beberapa minggu melakukan kerja lapangan saya berjumpa dan mendapatkan bimbingan dari Dr. Aslam di Banda Aceh dan Prof. Irwan di Jogjakarta. Kami berdiskusi banyak mengenai penelitian saya. Sebagai peneliti sosial yang masih sangat awam, saya belajar banyak dari dua orang antropolog terkenal ini. Kemudian saya mulai menyusun draft artikel saya dan mendiskusikannya dengan beberapa sejawat. Tahapan paling penting yang kemudian harus saya lalui adalah berdiskusi dengan Anthony Reid.
Saya ingat betul waktu itu, setelah shalat zuhur. Banda Aceh dilanda mendung dan angin bertiup lebih kencang dari biasa. Awan di langit napak gelap, tapi belum ada butiran hujan yang turun, listrik padam. Saya duduk berdua berhadap-hadapan dengan Pak Toni di ruang seminar kantor ARTI yang sekarang sudah menjadi kantor ICAIOS dan dinamakan dengan Ruang Seminar Prof. Anthony Reid. Kami membuka pintu utama agar ruangan lebih terang. Seminggu sebelumnya saya sudah mengirimkan artikel itu kepadanya. Di sana kemudian saya mendapatkan kuliah penelitian dan beberapa masukan dari Pak Toni tentang artikel saya.
Tidak banyak yang saya ingat, namun beberapa diantaranya terus menjadi pengetahuan saya dalam melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah hingga saat ini. Saat saya menyebutkan tentang masyarakat Kluet di mana penelitian saya lakukan, ia lantas menanyakan, bagaimana konteks beragama masyarakat di sana, apakah mereka berafiliasi dengan NU? PERTI? Muhammadiyah?
Saya yang sebelumnya tidak terlalu peduli dengan konteks itu merasa data mengenai keberagaman ini tidak terlalu signifikan sehingga saya tidak mendalaminya dan tidak pula memasukkannya ke dalam artikel. Pak Toni kemudian menjelaskan bagaimana hal itu mempengaruhi konteks artikel saya. Sebab diskusi tentang kenduri kematian bukanlah diskusi baru dan bukan hanya dalam masyarakat Kluet. Kenduri kematian telah menjadi subjek diskusi sangat panjang dalam debat kaum modernis dan tradisionali di Indonesia sejak abad XIX, termasuk dalam debat panjang Kaum Tuo dan Kaum Mudo di Sumatera Barat. Hal ini juga menjadi diskusi penting pada awal kemunculan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan Persis. Bahkan terus berlanjut dalam konteks yang lebih baru dalam gerakan Wahabi dan Salafi.
“Tidak mungkin kamu mendiskusikan kenduri kematian di Kluet tanpa menghubungkan dengan diskusi yang lebih luas ini. Banyak sarjana telah menulis tentang topik ini dan kamu perlu menunjukkan apa yang baru yang dapat kita pelajari dari kasus di dalam masyarakat Kluet. Argumen baru? Kompromi baru? Atau apa saja yang menurutmu berkontribusi dalam memahami masalah ini.” Kata Pak Toni. Saya haya bisa mangut-mangut menyadari betapa dangkalnya artikel yang sedang saya buat.
Pak Toni kemudian menantang saya untuk menjelaskan apakah sesungguhnya orang hidup yang melayani orang mati atau sebaliknya, orang mati yang melayani orang hidup. Saya menjadi bingung. Rasanya tidak perlu ditanya lagi sebab sudah sangat jelas, kalau orang hiduplah yang melayani orang mati, bukan sebaliknya. Sebab tanpa nyawa di badan dan tertimbun dua meter di dalam tanah, tidak mungkin mereka melayani orang hidup. Namun Pak Toni menunjukkan perspektif lain. Ia bersama Henri Chambert-Loir menjadi editor untuk sebuah buku berjudul The Potent Dead. Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia.
Dalam buku ini penulis menunjukkan fenomena penghormatan terhadap orang mati yang dianggap memiliki kekuatan (potent dead) dalam berbagai budaya di Indonesia. Buku ini juga menjelaskan bahwa dalam banyak masyarakat, kematian bukanlah akhir dari pengaruh seseorang, justru sering kali menjadi awal dari peran spiritual baru, baik sebagai leluhur, pendiri desa, wali, atau pahlawan. Leluhur memberi perlindungan dan keberkahan pada keturunan. Wali memberi inspirasi dan otoritas moral atau spiritual. Pahlawan memberi legitimasi negara dan simbol solidaritas nasional. Di sini, mereka tidak sepenuhnya “mati”, namun dalam banyak hal mereka terus melayani dan memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup di dunia.
Di sana saya merasa apa yang saya sudah tulis rasanya benar-benar draft paling awal dari sebuah artikel, meskipun saya sudah mengerahkan seluruh kemampuan terbaik saya. Apa lagi ketika kami sampai pada diskusi kontribusi akademik, dan bagaimana artikel ini dapat mengisi ruang kosong dari studi sejenis sebelumnya. Bacaan saya yang sangat terbatas menyebabkan ruang kosong akademik itu tidak mampu saya deteksi. Bagaimana mungkin mengisi sebuah gap tanpa tahu di mana dan bagaimana bentuk gap pengetahuan itu? Meskipun artikel itu kemudian tetap publikas dalam buku yang berjudul: Serambi Mekkah yang Berubah: Vie from within (Arskan Salim & Adlin Sila, eds), namun saya merasa benar-benar belum melakukan karya terbaik.
Dalam buku catatan saya malam itu saya menulis:
“Toni adalah sebuah kebun ilmu yang sangat luas. Wawasan dan pengetahuannya terbentang tak bertepi. Itulah kesan saya dalam konsultasi pertama kali bersamanya. Saya merasa bagaikan sebuah gelas yang kecil dan ia adalah ember besar penuh air pengetahuan. Tatkala air di dalamnya dituangkan, sangat banyak yang tercecer dan terbuang karena keterbatasan tempat penampungan yang saya miliki. Saya hanya menangkap sedikit sekali dari ilmunya. Meskipun, dengan keterbatasan komunikasi karena kendala bahasa, saya tahu ia telah berusaha menyesuaikan memberikan pengetahuan sesuai dengan tingkat atau kadar keilmuan saya.”
Minggu, tanggal 8 Juni 2025 saya mendengar kabar Anthony Reid telah berpulang. Selamat jalan Pak Toni, karya Anda abadi. Beberapa diantaranya ada dalam cara saya menulis dan membangun perspektif dalam penelitian.
Darussalam, 11 Juni 2025.
SIS.