SAGOETV | BANDA ACEH – Aktivis pendamping korban kekerasan seksual dari LBH Banda Aceh, Siti Farahsyah Addurunnafis, menilai film serial ‘Bid’ah’ berhasil menggugah kesadaran publik atas maraknya kasus kekerasan seksual yang tersembunyi di balik simbol keagamaan. Film ini peringatan keras tentang realitas kelam yang selama ini kerap dibungkam.
“Film ini mengajak kita merenung, bukan hanya marah. Ia membuka ruang introspeksi. Banyak peristiwa yang digambarkan di film itu nyata terjadi di sekitar kita, namun kita sering bungkam,” ujar Siti Farah dalam diskusi publik yang digelar oleh Pengurus Besar Rabitah Thaliban Aceh (PB RTA) pada Selasa (15/4/2025).
Dalam paparannya dalam diskusi tentang “Film Bidaah dan Serbuan Predator Seksual di Aceh”, Siti Farah menyampaikan bahwa dirinya sempat merasa tidak nyaman saat menonton dua episode pertama dari film tersebut. Ia mengaku berhenti menonton sejenak karena kegelisahan yang muncul. Setelah merenung, ia menyadari bahwa film ini menyentil hati nurani dan menggugah kembali memori pendampingannya terhadap para korban kekerasan seksual, khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan agama.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kemarahan publik terhadap film ini sebaiknya diarahkan secara tepat. Bukan pada kemasannya sebagai film bertema agama, tetapi pada pesan moral yang ingin disampaikan—yaitu kritik terhadap kekerasan seksual yang ditutupi oleh simbol-simbol keagamaan.
Siti Farah juga membagikan pengalamannya mendampingi korban-korban pelecehan seksual, termasuk kasus santri laki-laki yang menjadi korban sodomi oleh tokoh agama di salah satu dayah. Para korban, menurutnya, sering kali merasa bersalah karena telah melaporkan ustaz pelaku, bahkan merasa kehilangan hubungan spiritual dengan Tuhan akibat trauma yang mereka alami.
“Ini bukan hanya persoalan fisik dan psikis, tapi juga spiritual. Korban merasa berdosa karena mengadukan seseorang yang dianggap wali Allah,” ujarnya dengan suara bergetar.
Ia turut mengungkap salah satu kasus memilukan yang terjadi di Banda Aceh, di mana dua anak berusia lima dan enam tahun menjadi korban pemerkosaan oleh pimpinan pengajian. Anak-anak itu menggambarkan kejadian tersebut melalui gambar di papan tulis saat proses pendampingan.
“Anak-anak itu belum bisa membaca atau menulis dengan lancar, tapi mereka mampu menggambarkan secara berulang-ulang tindakan keji yang mereka alami. Ini bukti kuat bahwa mereka benar-benar mengalami peristiwa tersebut,” jelasnya.
Siti Farah menegaskan bahwa selama bertahun-tahun mendampingi korban, hampir setiap tahun ada laporan kasus kekerasan seksual dari lembaga pendidikan berbasis agama. Ia berharap film ini menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran publik dan mendorong tindakan konkret dari semua pihak.
“Film ini memang sensitif, tapi justru karena itu ia penting. Ia adalah cermin sosial. Kita harus berhenti menutup mata,” ujarnya. []