SAGOETV | BANDA ACEH – Perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang semakin nyata, dan peran perempuan dalam menghadapinya tak bisa diabaikan. Di berbagai belahan dunia, perempuan berada di garis depan, merasakan dampak langsung dari perubahan iklim—mulai dari kekeringan yang mengancam sumber daya air hingga bencana alam yang merenggut nyawa dan harta benda. Meski kerap menjadi kelompok yang paling rentan, perempuan juga terbukti mampu menciptakan solusi inovatif untuk menghadapi perubahan iklim.
Isu ini menjadi sorotan dalam Poscast SagoeTV bersama Senior Policy Advisor UN Women, Poppy Ismalina, PhD, dan Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim USK (Aceh Climate Change Initiative), Ir. Suraiya Kamaruzzaman, S.T., LLM., M.T. Podcast ini merupakan bagian dari program kerja sama antara Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh USK, UN Women, dan Women Research Institute.
Pada kesempatan tersebut, Poppy Ismalina menyoroti pentingnya kesetaraan gender dalam kebijakan perubahan iklim. “UN Women mendapatkan mandat untuk meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dunia. Dalam lima tahun terakhir, kami memasukkan isu perubahan iklim ke dalam agenda kerja karena riset menunjukkan perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dibanding laki-laki,” ujarnya dalam Podcast yang dipandu Dr Mukhlisuddin Ilyas, di markas SagoeTV Lamgugob, Sabtu (8/3/2025).
Ia menjelaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama air dan pangan, di tingkat keluarga. Namun, peran mereka dalam pengambilan keputusan masih minim. “Kami melakukan evaluasi dan focus group discussion dengan para pengambil kebijakan untuk melihat sejauh mana kebijakan pemerintah sudah mengakomodasi perempuan dalam aksi perubahan iklim. Hasilnya, masih banyak yang perlu diperbaiki,” kata Poppy.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, telah mulai memasukkan agenda perubahan iklim dalam kebijakan pemberdayaan perempuan. “Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah memiliki peta jalan terkait isu ini. Namun, di tingkat kebijakan dan program kerja, masih perlu advokasi lebih lanjut agar peran perempuan diakui secara lebih signifikan,” jelasnya.
Sementara itu, Suraiya Kamaruzzaman menyoroti relevansi isu gender dan perubahan iklim di Aceh. “Aceh memiliki sejarah panjang bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia, seperti tsunami dan konflik. Data Oxfam menunjukkan bahwa 70 persen korban tsunami di Aceh adalah perempuan. Selain itu, perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan di beberapa daerah seperti Kecamatan Lokma dalam empat hingga lima tahun terakhir. Mayoritas upaya advokasi terkait masalah ini justru dilakukan oleh perempuan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, peran perempuan dalam mitigasi perubahan iklim di Aceh semakin krusial seiring dengan isu transisi energi dan perlindungan hutan. “Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, termasuk hutan sebagai penyerap karbon. Kebijakan lingkungan harus mempertimbangkan aspek gender agar perempuan memiliki akses lebih besar dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan,” ujarnya.
Podcast ini menegaskan bahwa kesetaraan gender bukan sekadar isu sosial, tetapi juga solusi strategis dalam menghadapi krisis iklim. UN Women dan lembaga penelitian lainnya terus mendorong kebijakan yang lebih inklusif agar perempuan dapat berperan lebih aktif dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. [MM]