Bagi masyarakat Aceh nama Kohler bukanlah nama asing. Namanya diingat selalu sebagai sosok antagonis dari Belanda yang memimpin penyerangan bala tentara Belanda ke Aceh pada Perang Aceh 26 Maret 1873. Ketika itu Johan Harmen Rudolf Kohler ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon di Batavia menjadi jenderal utama dalam memerangi Kerajaan Aceh, dengan sebuah aksi agresi besar-besaran.
Belanda sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya memahami kondisi medan pertempuran di Aceh. Mereka terlalu meremehkan dan menganggap sangat mudah untuk menaklukkan Aceh. Namun, kenyataannya mereka mendapat perlawanan yang begitu sengit dari para pejuang Aceh. Ditambah lagi dengan kondisi medan yang sangat berat penuh dengan hutan belukar yang tidak dapat dikuasai dengan cepat oleh serdadu-serdadu Belanda. Terbukti setelah pernyataan perang pada tanggal 26 Maret 1873, yang diumumkan dari atas kapal Citadel van Antwerpen, baru pada tanggal 6 April mereka menjejakkan kaki di Pantai Cermin Uleelheue. Itupun kemudian merangsek sedikit demi sedikit menuju pusat kota pemerintahan Aceh dengan mendapat perlawanan sengit dari para tentara Kerajaan Aceh.
Dengan bekal panduan yang minim, mereka terus menyerbu bangunan megah mesjid raya Baiturrahman, yang mereka sangka sebagai istana pusat pemerintahan Kerajaan Aceh. Tepatnya pada tanggal 10 April mereka menduduki mesjid raya, dan membakarnya, namun hanya mampu menguasai sebentar saja. Karena terus digempur oleh para pejuang Aceh yang dengan gagah berani melakukan perlawanan. Sehingga pasukan Belanda terpaksa berundur lagi dan mendirikan bivak pertahanan di daerah Punge. Kohler mengatur strateginya untuk mengistirahatkan pasukan sejenak sebelum melakukan kembali serangan besar-besaran beberapa hari kemudian.
Tanggal 14 April Kohler kembali memerintahkan melakukan penyerbuan merebut mesjid raya yang masih dikiranya sebagai bangunan istana Sultan Aceh. Hari itu Kohler menyangka sudah berhasil mengusir para pejuang Aceh dari lokasi, dan melakukan patroli di sekitar halaman mesjid raya. Sekeliling mesjid dipenuhi dengan semak belukar yang menutupi permukaan tanah. Tanpa disangka ternyata di sebalik semak-semak tersebut telah bersembunyi penembak jitu pejuang Aceh dan dengan tiba-tiba sebuah tembakan telah menembus tubuh Jenderal Kohler. Sang Jenderal rebah dan mati seketika di bawah pohon besar Geulumpang. Pasukan Belanda kocar-kacir tidak menyangka sama sekali jenderal pemimpin perang mereka telah gugur begitu cepat.
Pasukan Belanda seperti anak ayam kehilangan induk. Tak ada lagi komando yang memandu peperangan mereka. Pengganti sang jenderal yaitu Kolonel Van Daalen, tidak mampu berbuat banyak karena tidak banyak arahan yang ditinggalkan oleh sang jenderal. Tanggal 16 April mencoba lagi menggempur mesjid raya, namun yang didapat adalah tewasnya 100-an pasukan mereka. Dan akhirnya Daalen memutuskan mundur total dari peperangan.
Peristiwa agresi pertama Belanda atas Kerajaan Aceh ini sudah menjadi kisah klasik bagi masyarakat Aceh. Kisah ini menjadi kenangan tak terlupakan karena merupakan bukti kuat bagaimana kokoh dan solidnya pertahanan Aceh dalam menahan serangan sebuah bangsa asing yang ingin menguasai bangsa Aceh. Tewasnya Jenderal Kohler di tanah Aceh menjadi simbol betapa besarnya kegigihan rakyat Aceh dalam membela hak dan kemerdekaannya. Aceh tidak akan pernah mau tunduk kepada penjajahan asing.
Kepahlawanan dan jiwa heroik yang dimiliki oleh rakyat Aceh terbukti kemudian, ketika serangan demi serangan kembali dilancarkan Belanda, namun para serdadu Belanda terus berguguran di tanah Aceh. Perang Aceh terus berkobar berpuluh tahun lamanya. Aceh pun melahirkan ribuan pahlawan yang gugur dalam mempertahankan tanah air dan agama Islam.
Jauh setelah peperangan berlalu, pada tanggal 19 Mei 1978 berlangsung acara penguburan tulang belulang jenderal Kohler di pekuburan Kerkhof Peucut. Upacara ini dilaksanakan sebagai sebuah simbol persahabatan antara Aceh dan Belanda yang telah berdamai di alam kemerdekaan Indonesia. Ketika itu pekuburan di Jakarta yang dihuni oleh jenazah jenderal Kohler mengalami penggusuran. Sehingga pemerintah Belanda berinisiatif memindahkan sisa-sisa jasad Kohler.
Adalah sebuah kebanggaan militer jika jasad tentara dikuburkan di tanah tempat kematiannya. Lagipula di Aceh, masih terdapat komplek pemakaman tentara Belanda yang gugur di medan perang Aceh. Pemerintah daerah Aceh dengan lapang dada mengizinkan pemakaman kembali jasad Kohler di Banda Aceh. Ini juga menunjukkan kedewasaan bangsa Aceh yang menerima dengan ikhlas jasad mantan musuh bebuyutannya. Dalam suasana perdamaian yang sudah nyata dan aroma permusuhan yang sudah menjadi sejarah, sikap ini tentu sangat terpuji. Kini yang perlu dibangun adalah suasana persahabatan abadi, namun sejarah tetap tidak boleh dilupakan.
Di masa kepemimpinan Gubernur Ibrahim Hasan, tepat pada tanggal 14 Agustus 1988, beliau pernah membuat kebijakan membangun monumen di halaman mesjid raya dalam bentuk penanaman kembali pohon Geulumpang di lokasi tempat jenderal Kohler dulu meregang nyawa. Di bawah pohon Geulumpang yang ditanam kembali itu diletakkan sebuah prasasti yang bertuliskan: di sini lokasi tewasnya Jenderal Kohler di tangan pejuang Aceh. Tentunya Gubernur Ibrahim Hasan bermaksud memberi keteladanan kepada generasi muda Aceh untuk terus mengingat peristiwa heroik perjuangan Aceh melawan penjajahan Belanda. Monumen kematian jenderal Kohler merupakan simbol kuatnya perlawanan Aceh sehingga jenderal musuh pun bisa ditaklukkan dalam peperangan. Lokasi monumen berada tepat di depan pintu masuk sisi utara mesjid raya. Dan ribuan pengunjung mesjid raya akan selalu melihatnya serta akan mengingat momen sejarah yang terjadi di situ.
Di masa kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah, mesjid raya Baiturrahman mengalami perluasan dan renovasi besar yang semakin memperindah mesjid raya. Halaman mesjid diperluas dan diganti dengan hamparan marmer yang sangat indah. Namun pohon Geulumpang dan prasasti monumen kematian jenderal Kohler telah digeser dari lokasi asalnya. Tempatnya menjadi tersudutkan dan diletakkan tersembunyi di belakang bangunan tempat wudhu wanita. Memang masih tidak jauh dari lokasi lama, namun karena tertutup oleh bangunan, menjadi tidak terlihat lagi oleh publik.
Untuk menuju lokasi monumen yang baru publik harus mengitari bangunan tempat wudhu tersebut dan tidak ada petunjuk arah yang memberi tanda bahwa di sana terdapat monumen dan pohon Geulumpang. Tentunya dari sisi pembelajaran nilai-nilai sejarah kepada publik hal ini sangat disayangkan. Sepatutnya pengelola mesjid raya perlu mendesain kembali lintasan menuju lokasi monumen bersejarah ini agar lebih mudah diakses oleh publik. Kemudahan akses ini tentunya akan berkontribusi kepada peningkatan pemahaman dan daya memori publik akan nilai sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.
Adalah sebuah langkah yang layak dan tepat sekali apabila di sekitar lokasi monumen pohon Geulumpang tersebut dibangun semacam mini museum yang mendiskripsikan peristiwa heroik para pejuang Aceh mempertahankan masjid raya dari gempuran Belanda ketika itu.
Generasi muda Aceh harus terus dijaga ingatan dan memori alam bawah sadarnya tentang kisah-kisah heroik perlawanan Aceh terhadap kezaliman dan pencabulan kemerdekaan. Monumen pohon Geulumpang di halaman mesjid raya adalah salahsatu pengingat sejarah itu.
Tugu Kohler ini harus dipandang sebagai sebagai simbol kegigihan rakyat Aceh mempertahankan marwah dan nilai-nilai Islam yang sejati. Kematian Kohler adalah kematian kekuatan yang merongrong keberlangsungan nilai-nilai Islam di tanah Aceh. Untuk itu, akses publik agar dapat menjangkaunya dengan mudah perlu dibuka seluas-luasnya.***
Banda Aceh, 25 Mei 2025
Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M. Sc.
Penulis adalah peminat sejarah Aceh, dan kini berstatus sebagai dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri – USK