Oleh: Ari J. Palawi
Di luar sana, setiap kali bangsa ini memilih presiden atau kepala daerah, suasananya riuh. Spanduk memenuhi jalan, debat disiarkan di televisi, opini publik mengalir deras di media sosial. Semua orang berani bersuara, menilai, bahkan mengkritik keras calon pemimpinnya. Demokrasi di ruang publik memang tidak selalu elegan, tapi ia hidup, dinamis, dan terbuka.
Namun di dalam kampus — ruang yang seharusnya menjadi laboratorium kebebasan berpikir — suasananya justru sunyi. Saat pemilihan rektor dimulai, ruang publik akademik mengecil drastis. Tak ada debat gagasan, tak ada forum terbuka, dan tak ada keberanian menguji calon di hadapan sivitas. Rasionalitas yang kita ajarkan setiap hari di ruang kuliah, seolah berhenti di depan pintu senat.
Inilah paradoks besar dunia akademik kita: demokrasi nasional yang bising, tapi demokrasi kampus yang bisu. Tempat yang seharusnya menjadi penjaga nalar publik, justru kehilangan akal sehatnya sendiri.
Sistem yang Legal, tapi Tidak Selalu Rasional
Secara normatif, tata kelola universitas telah diatur sedemikian rupa agar tampak modern. Ada majelis, panitia seleksi, peraturan turunan, dan format administrasi yang seolah menjamin keadilan. Tapi legalitas tidak selalu sepadan dengan rasionalitas. Sistem yang tampak mapan ini justru menyimpan anomali.
Rektor yang masih menjabat misalnya, ikut duduk sebagai anggota lembaga pemilih. Secara administratif hal itu sah, tapi secara etika, ia menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Unsur pemerintah memiliki porsi suara besar yang tak jarang menentukan hasil akhir, sehingga otonomi kampus menjadi formalitas belaka.
Lebih parah lagi, sebagian besar tahapan dilakukan dalam ruang tertutup. Kriteria penilaian tidak jelas, proses seleksi tidak disiarkan, dan alasan keputusan jarang dikomunikasikan secara transparan. Akibatnya, kepercayaan publik kampus runtuh. Kampus memang mematuhi aturan, tapi gagal mematuhi akal sehat.
Universitas yang seharusnya menjadi tempat berpikir logis dan adil, justru mencontohkan perilaku birokratis yang paling mekanistik: tunduk pada formalia tanpa substansi. Di sinilah letak ironi itu — tempat paling rasional di negeri ini justru memperlihatkan defisit rasionalitas.
Budaya yang Menjaga Ketertiban, tapi Mengorbankan Kebenaran
Tidak ada sistem yang bisa berjalan sehat jika budayanya sakit. Kampus kita hari ini terlalu sibuk menjaga ketertiban, dan lupa menjaga kebenaran. Di banyak lingkungan akademik, diam dianggap aman, sopan, dan “dewasa.” Padahal, dalam ruang ilmiah, diam justru bentuk lain dari pembiaran.
Kritik dianggap gangguan, keberanian disamakan dengan pembangkangan, dan inisiatif intelektual sering kali dicurigai sebagai agenda pribadi. Ini adalah bentuk penjinakan berpikir yang paling halus: mengemas ketakutan dalam nama etika.
Universitas akhirnya menjadi ruang yang steril dari perbedaan. Para dosen berhitung dengan karier, mahasiswa berhitung dengan indeks prestasi, dan para pejabat berhitung dengan masa jabatan. Tidak ada yang benar-benar berani menanyakan hal paling sederhana: apakah kampus masih dijalankan dengan nalar dan nurani?
Kebenaran tidak bisa lahir di ruang yang takut pada kejujuran. Dan tanpa keberanian moral, ilmu hanyalah alat administrasi, bukan cahaya peradaban.
Dari Krisis Epistemik ke Krisis Etik
Krisis ini tak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari logika korporatisasi pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi kini dikelola dengan cara yang sama seperti perusahaan: menekankan efisiensi, angka-angka kinerja, dan reputasi peringkat internasional. Dalam logika ini, dosen diubah menjadi operator sistem, mahasiswa menjadi pelanggan, dan rektor menjadi manajer yang sibuk mengejar target kuantitatif.
Akibatnya, universitas kehilangan jati dirinya sebagai ruang moral. Yang tersisa hanyalah struktur administratif yang dingin: cepat bekerja, tapi miskin makna. Pemilihan rektor pun menjadi refleksi dari krisis epistemik yang sudah berubah menjadi krisis etik — proses yang seharusnya menjadi puncak rasionalitas berubah menjadi ritual legalistik yang sunyi dari makna.
Dan di Aceh, di mana kampus tidak pernah terlepas dari denyut sosial dan sejarah, krisis seperti ini lebih terasa seperti luka simbolik: sebuah institusi yang seharusnya menuntun masyarakat justru kehilangan keberanian untuk menuntun dirinya sendiri.
Darussalam dan Amanah Sejarah
Kopelma Darussalam bukan sekadar lokasi kampus. Ia adalah simbol peradaban baru Aceh pasca-konflik, wujud harapan bahwa ilmu dan moralitas bisa bersatu kembali. Di sinilah ruang paling strategis tempat generasi muda belajar berpikir rasional dalam bingkai nilai-nilai Aceh yang luhur.
Kepemimpinan di tempat seperti ini tidak boleh berhenti pada administrasi. Ia harus meneguhkan nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan tanggung jawab moral. Rektor yang lahir di sini harus paham bahwa kampus bukan entitas netral — ia bagian dari denyut sosial Aceh yang terus bergerak antara tradisi dan modernitas.
Pemilihan rektor di Darussalam seharusnya menjadi momentum kolektif untuk mengembalikan nalar publik. Ia bukan sekadar pergantian jabatan, tapi pemeriksaan nurani institusi. Apakah universitas masih berdiri di atas prinsip kebenaran, atau sudah berubah menjadi instrumen kekuasaan yang dibungkus formalitas akademik?
Langkah Nyata agar Kampus Kembali Berakal
Reformasi pemilihan rektor tidak harus revolusioner, tapi harus tegas dan konsisten. Yang kita butuhkan bukan prosedur baru, tapi keberanian untuk menjalankan logika lama yang benar.
Beberapa langkah nyata:
- Keterbukaan total. Semua nama, visi, dan rekam jejak calon harus diumumkan sebelum proses dimulai. Transparansi bukan ancaman, melainkan hak publik akademik.
- Forum dialog terbuka. Calon pemimpin kampus harus diuji di ruang yang sama tempat ia akan memimpin: ruang gagasan.
- Konflik kepentingan harus dihapus. Tidak ada alasan etik yang dapat membenarkan seseorang memilih penggantinya sendiri.
- Audit independen dan publikasi laporan. Hasil proses harus bisa diuji, bukan hanya disahkan.
- Perlindungan kebebasan akademik. Suara kritis bukan gangguan, tapi bukti hidupnya universitas.
Langkah-langkah ini sederhana, tapi dampaknya struktural. Tanpa transparansi, tidak ada kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kampus kehilangan wibawanya. Dan tanpa wibawa moral, universitas hanya menjadi gedung megah yang sunyi dari intelektualitas.
Rektor yang Diperlukan Darussalam
Darussalam membutuhkan rektor yang lebih dari sekadar administrator. Ia harus menjadi penjaga nalar publik, penggerak moral, dan teladan keberanian intelektual. Pemimpin seperti ini tidak menunggu situasi ideal, tapi menciptakan ruang rasional dalam sistem yang penuh kompromi.
Ciri utamanya tiga:
- Berilmu dan berintegritas. Ia tidak hanya memahami sains, tapi juga nilai-nilai yang menuntun penggunaannya.
- Terbuka terhadap kritik. Ia sadar bahwa kritik bukan ancaman, tapi bahan bakar inovasi.
- Berpikir strategis tapi realistis. Ia mampu menavigasi sistem yang rumit tanpa kehilangan arah moral.
Rektor semacam ini mungkin tidak memuaskan semua pihak, tapi ia menegakkan sesuatu yang lebih penting: martabat universitas sebagai institusi kebenaran.
Kalam Akhir: Akal Sehat, Sejarah, dan Masa Depan
Pemilihan rektor di Kopelma Darussalam adalah ujian akal sehat kita bersama. Apakah kampus masih punya keberanian untuk jujur, atau sudah terlalu nyaman dengan stabilitas palsu? Aceh pernah dikenal karena keberaniannya berpikir dan berjuang di saat yang lain diam. Kini, tantangan itu berpindah ke ruang akademik. Apakah kita masih mewarisi keberanian itu — atau membiarkannya mati perlahan di balik senyum formal dan rapat tertutup?
Kampus bukan menara gading. Ia adalah cermin moral masyarakatnya. Dan dari cara kita memilih rektor, sejarah akan mencatat seberapa dalam kita memahami arti ilmu, akal sehat, dan tanggung jawab terhadap masa depan.
Darussalam tidak boleh gagal dalam ujian ini. Karena jika universitas di tanah ini kehilangan akal sehatnya, maka peradaban yang dibangunnya akan kehilangan arah sejak awal.[]
Tentang Penulis; Ari J. Palawi lahir dan tumbuh di Banda Aceh. Ia menempuh pendidikan seni di ISI Yogyakarta, melanjutkan studi ke University of Hawai‘i at Mānoa, dan meraih gelar doktor di Monash University. Sampai tulisan ini hadir ke pembaca, ia masih tercatat sebagai lektor di Universitas Syiah Kuala, sembari menimbang langkah baru dalam perjalanannya. Ia menulis karena gelisah—dan karena percaya, bahwa perubahan adalah hak semua orang, baik yang tinggal, maupun yang memilih berjalan.


















