Oleh: Rahmat Fahlevi.
Mahasiswa FISIP, Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Salah satu literatur plat merah tentang demokrasi adalah karya Steven levittsky & Daniel Ziblat yang berjudul “How democracies die” atau bagaimana demokrasi mati yang menceritakan proses matinya demokrasi dibeberapa negara seperti Peru yang di tunggangi Alberto fujimori, Italia di masa Musollini, Jerman di era Hitler. Bahkan Amerika sendiri dibawah demagog terburuk sepanjang sejarah Amerika yaitu Donald trump.
Demokrasi akan mati apabila diberikan kepada orang-orang yang tidak paham akan substansial demokrasi sendiri. Demokrasi tidak hanya berbicara soal formalitas, meminjam adagium dari Affan Gaffar yaitu demokrasi prosedural yang hanya bertengger pada persoalan legal formal administratif saja.
Itu hanya beberapa ungkapan saja sebagai tulisan ini. Namun terdapat secuil kisah cerpen dalam buku How democracies die yang membuat saya sedikit terperangah. yaitu tentang cerita seekor kuda yang memiliki musuh yaitu seekor kijang, singa dan beberapa hewan lain. Namun sayangnya si kuda tidak mampu mengalahkan para musuh-musuhnya sendirian melainkan harus mencari bala bantuan.
Kuda tersebut meminta bantuan kepada seorang pemburu untuk mengalahkan musuhnya. Akan tetapi si pemburu mengajukan beberapa syarat agar ia bisa membantu kuda tersebut mulai dari memberi pelana pada punggung kuda, sepatu besi, tali dan beberapa aksesoris lainnya.
Kemudian sesudah logistik lengkap, maka si pemburu dan kuda mulai membunuh musuh-musuhnya dengan menembak. Di akhir cerita di kuda meminta kepada pemburu agar sepatu besi, pelana yang ada dipunggung beserta tali yang terikat di hidungnya agar dilepaskan karena mengingat misi sudah selesai. Akan tetapi pemburu menolak untuk melakukan itu dan terus menunggangi si kuda.
Dari “How democracies die” di atas, dapat menggambarkan sebuah metafora realitas Mahasiswa sekarang. Mereka yang dengan gagah membusungkan dada, foto kesana kemari, duduk bersama tokoh ini itu, mendirikan organisasi dengan headline “Kami dari organisasi fulan siap mendukung program pemerintah” dengan stimulan dana milyaran, membuat acara hedon yang tiada guna namun tidak disangka ada hal yang ingin diraih politisi yaitu pembungkaman dan berkah elektoral untuk pilkada mendatang.
Melihat realitas sekarang saya jadi teringat pula dengan ungkap Fromm, yang mengatakan bahwa manusia kehilangan kebebasan atau ketidakpatuhan saat ia menjelma sebagai individu yang berkumpul. Manusia terperangkap oleh meminjam adagium terkenal Weber yaitu “penjara besi” yang dibuatnya sendiri yaitu peraturan.
Sangat sedikit orang yang berani melawan jika sudah terkena stimulus rupiah namun inilah yang terjadi sekarang kepada Mahasiswa. Beberapa organisasi yang menghimpun seluruh Mahasiswa paguyuban, menyatakan sikap untuk mendukung program pemerintah yang sebenarnya mereka tidak paham sedang berada dibawah kontrol dan dipersiapkan sebagai underboew pemerintah untuk mengekploitasi margin elektabilitas di dalam kampus.
Mereka dalam ilusi menganggap diri sebagai tokoh, orang berpengaruh, berjalan dengan jemawa namun tak sadar hanya sekedar kuda troya politisi dalam kampus yang hubungannya bersifat temporal atas dasar politic interest. Sesudah manis sepah dibuang dan begitulah nasib mereka kedepan.
Untuk politisi dalam konteks Indonesia bahkan Aceh sendiri tidak perlu berharap hubungan yang bersifat lama seperti halnya partai demokrat dan republik di Amerika yang merangkul core voters model dengan baik.
Para mahasiswa tidak perlu terlalu bangga jika dirangkul para politisi, karena itu hanya hubungan bersifat temporal dan transaksional bukan berdasarkan solidaritas yang dibangun untuk selamanya.
Pun Mahasiswa yang sudah berkolaborasi dengan politisi atau pemerintah juga akan berakhir seperti apa yang disebut Jurgen Habermas dalam teorinya yang berjudul “System is colonization the life world”.
Dalam teori tersebut terjadinya kolonisasi terhadap kehidupan dikarenakan oleh kolaborasi korporat dan pemerintah. Lain halnya dalam konteks sekarang terjadinya kolaborasi antara Mahasiswa dan pemerintah sekarang berakibat kepada mandulnya gerakan Mahasiswa dalam mengkritik pemerintah karena sudah disumbar oleh pundi-pundi rupiah.
Mahasiswa adalah ujung tombak terakhir yang menjadi devils advocate terhadap kebijakan pemerintah kala DPR sebagai watchdog telah dilumuri kepentingan oligarki.
Mahasiswa yang kerjaannya hanya melakukan rilis konyol dengan headline “Siap mendukung program pemerintah” itu adalah mahasiswa bermentalitas nggih nggih mboten kepangkeh, tandai mukanya dan jangan pernah pilih ia sebagai pemimpin kedepan karena itulah mahasiswa bibit oligarkh. Itulah tanda-tanda demokrasi telah mati karena mahasiswa?[]