Oleh: Mukhlisuddin Ilyas
Pendiri Bandar Publishing, Banda Aceh
Indonesia memiliki penduduk 275 juta jiwa. 27,94 persen itu adalah Generasi Z, dan 25,87 persen generasi milenial. Artinya 55, 94 % persen, penduduk Indonesia saat ini, di dominasi dari generasi Z yang sekarang berusia 8-23 tahun dan generasi Milenial yang sekarang berusia 24-39 tahun.
Bagaimana dengan Aceh? Aceh memiliki penduduk, 5.275.871 jiwa. 30,29 % penduduk Aceh dari generasi Z (berusia 8-23 tahun) dan 26,29 % itu dari generasi milenial (berusia 24-39 tahun. Artinya 56,58 % penduduk Aceh hari ini adalah berusia 8-39 tahun.
Data tersebut memiliki makna, persaingan dalam mencari pekerjaan sangat tinggi di Aceh. Peningkatan pengetahuan, peningkatan kapasitas, dan peningkatan skill sangat menentukan kesuksesan seseorang sarjana. Bappenas, memperkirakan pada tahun 2030 nanti, jumlah usia produktif bisa mencapai 64% dari total jumlah penduduk Indonesia. Ini yang disebut dengan bonus demografi.
Sarjana lulusan perguruan tinggi, dituntut terus mencari cara, agar mendapat kesempatan untuk berkontribusi dan menjadi aktor dalam setiap laju pembangunan Aceh. Memperkuat kemampuan untuk mengubah tantangan dengan karya dan inovasi. Mendapat ruang untuk mengaktualisasi kerja-kerjanya. Menjadi sarjana yang bermakna tidak mudah, diperlukan etika dan kerja keras. Menjalani kehidupan yang inovatif demi meraih peluang finansial kedepannya.
Generasi Z dan Milenial harus cepat bermigrasi dengan ilmu pengetahuan baru, metode baru, kawan baru dan arah kerja baru. Kecerdasan bertahan dari kesulitan, harus di lakukan, dengan berbagai cara. Salah satunya melalui enterprenurship. Ekosistem wirausaha harus dibangun, baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, profesi pengusaha maupun pemerintah.
Dalam laporan World Economic Forum, menyebutkan terdapat 9 skill yang harus dimiliki pencari kerja era masa depan. Dari 9 skill tersebut, terdapat 5 skill yang harus dimiliki oleh seorang sarjana kedepannya. Pertama, complex problem solving. Kemampuan untuk memecahkan masalah, bermental solutif, tidak membawa konflik dalam arena kerja. Kedua, social skill. Kemampuan untuk melakukan koordinasi, negosiasi dan komunukasi yang baik. Ketiga, proses skill. Kemampuan menjadi pendengar yang baik. Ini berat bagi sarjana dari Aceh. Berfikir yang logis, dan kemampuan mengawasi diri sendiri dan orang lain. Keempat, system skill. Kemampuan untuk melakukan pertimbangan dan keputusan dengan mempertimbangkan keuntungan usaha atau organisasi. Keenam, cognitive abilities. Kemampuan fleksibilitas, kreativitas, penalaran logis, sensitif dengan masalah, penalaran matematis dan visualisasi.
Hal penting, sarjana harus memiliki jiwa petarung. Berani mencoba, dan terus meningkatkan kapasitas dan jaringan perkawanan. Dalam hidup harus memiliki mentor. Jangan pernah merasa paling jago dan paling ahli dengan mentor, orang yang lebih tua atau dengan guru. Karena mereka memiliki pengalaman, yang tidak dimiliki oleh seorang sarjana baru. Konsultasi dengan mentor, pelatih, kolega atau dosen setiap memiliki gagasan. Salah satu kesuksesan sarjana dan keberkahan hidupnya adalah memiliki seorang guru dan mentor.
Seorang sarjana tentu memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Untuk saat ini, belum cukup seorang sarjana memiliki kecerdasan tersebut. Tentu setiap kecerdasan IQ, EQ, SQ, dan ESQ, menandakan setiap individu memiliki potensi diri, dan setiap potensi antara satu individu dengan individu yang lain pastilah berbeda.
Namun demikian, kedepan kemampuan Adversity Quotient (AQ) perlu diperkuat. AQ adalah kemampuan atau kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup. Dan Cultural quotient (CQ) adalah jenis kecerdasan yang memungkinkan seseorang untuk menemukan solusi, beradaptasi dengan sekitar, dan belajar dari satu sama lain kendati berbeda budaya. Terutama dalam memproduksi ide kreatif. Mampu untuk melahirkan gagasan yang original atau asli. Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim.
Terdapat satu ungkapan menarik, dari Nelsen Mandela, mantan pejuang Afrika Selatan yang kemudian menjadi Presiden Kulit Hitam Pertama di Afrika Selatan. Ia mengatakan. “Jadikan Kemiskinan Sebagai Sejarah” (Make Poverty History).
Itulah alasan, selain seorang sarjana harus memiliki IQ, EQ, SQ, dan ESQ. Tentu untuk menjadi sarjana era digital juga harus memiliki kecerdasa Adversity Quotient (AQ) dan kemampaun Cultural quotient (CQ). Salah satu medianya adalah melalui profesi entrepreneur.
Menjadi entrepreneur adalah cara bertahan dari kesulitan. Dengan entrepreneurship, kita bisa melanjutkan studi, kita bisa berbagi rezki, kita bisa kemana-mana dan lainnya.
Modal dasar untuk menggeluti entrepreneurship, setidaknya harus memiliki tiga prasyarat. Pertama untuk membangun usaha, harus mendapat dukungan dari keluarga. Muliakan orang tua, muliakan istri, muliakan saudara. Keluarga menentukan, karena berwirausaha menghabiskan waktu siang dan malam.
Kedua, kita harus memiliki team work. Sejak menjadi mahasiswa bangun relasi perkawanan yang positif. Syukur bila menjadi team work. Bila perlu, setiap hobi harus dijadikan batu loncatan untuk dikembangkan menjadi usaha.
Ketiga, kolaborasi, mau maju, mau berkembang, memiliki spirit untuk hidup lebih hebat. Untuk hidup era seperti sekarang solusinya harus berkolaborasi. Dengan kolaborasi kita akan lebih kuat, kita akan lebih tangguh. Biasakan sejak mahasiswa, perbanyak kolaborasi dengan beragam profesi. Berada dalam iklim yang beragam, menambah spirit untuk kemajuan.
Era digital setiap usaha harus terkoneksi dengan online. Dengan dunia digital sekarang, menjadi “agen tanoh” saja sudah bisa online. Para sarjana, pasti memiliki facebook, Instagram, tiktok, youtube, dll. Semua aplikasi itu memiliki marketplace. Anda bebas berjualan disitu, tidak perlu sewa lapak. Begitu juga partnership, lakukan kerjasama, kolaborasi, perbanyak kawan, hindari permusuhan.
Inti kolaborasi, bergerak bersama, menyatukan energi yang baik untuk kemulian. Kita di Aceh terlalu tinggi adrenalin energi negatif. Untuk seorang sarjana makin banyak konsumsi energi negatif, maka peluang sukses makin menipis, itu harus diwaspadai sejak dini, membiasakan untuk tidak terlibat dalam perbincangan yang mengarah negatif. Cari partner yang sama-sama memiliki energi positif. Cari kawan yang memiliki energi positif walau berdebat sekalipun.
Hal yang sangat esensial bagi sarjana masa depan adalah harus memiliki jiwa social entrepreneurship. Menjadi entrepreneur yang membawa nilai-nilai kemaslahatan, dan kebaikan. Kita ikut serta dalam perubahan sosial, walau kecil. Perubahan sosial dan pencerahan sosial menjadi tanggungjawab semua sarjana, tidak tergantung pada IPK dan predikat lulusan waktu pengumuman wisuda.
Kedepan, lulusan sarjana dari kampus manapun, akan dihadapkan pada berbagai bentuk ancaman. Pertama, secara global era digital akan menghilangkan profesi pekerjaan tertentu (Gerd Leonhard). Kedua, Diestimasi bahwa masa di masa akan datang, 65% murid sekolah dasar di dunia, akan bekerja pada pekerjaan yang belum diketahui.
Namun begitu, setiap ada ancaman, tentu memiliki peluang yang cerah bagi sarjana kita. Catatannya, sarjana Indonesia (Aceh) harus bergerak dalam dua hal. Pertama dunia digital, dan kedua jasa kreatif. Kedua hal itu, setidaknya para sarjana akan bertahan melawan kesulitan. Kalau tidak, maka sarjana perguruan tinggi akan menjadi pengangguran. Perlu dicatat, pengangguran lulusan perguruan tinggi terus meningkat setiap tahunnya. Lulusan yang bekerja di sektor pemerintah makin lama, pasti makin kecil. Tidak pilihan bagi sarjana sekarang, sedikit lengah, harus wo u gampong jak u blang.
Memanfaatkan digital memudahkan bekerja tanpa ruang dan tempat. Tak perlu teken absen. Modal lain adalah harus menjadi sarjana petarung, memiliki kompetensi, berjejaring dan penguatan skil. Melakoni profesi digital dan jasa kreatif tidak bakal usang, malah terus dibutuhkan dalam beragam bidang. Para sarjana bermimpi menjadi PNS harus ditinggalkan. Syukuri kalau kesempatan itu datang, tapi memperkuat kapasitas keserjanaan jauh lebih penting, dan bermartabat
Menutup artikel ini, saya mengajak terutama orang-orang terdekat, kolega, pemuda dan terutama mahasiswa saya. Mari menjalani kehidupan ini “sebagai petarung, bukan pewarung”. Salah satu menjadi sarjana petarung adalah memanfaatkan digitalisasi sebagai ruang entrepreneur, sebagai wujud bertahan dari kesulitan. terutama kesulitan finansial.[]