SAGOEV | BANDA ACEH – Tanpa terasa, kita telah berada di penghujung tahun 1446 Hijriah. Besok, Jumat, umat Islam akan menyambut 1 Muharram 1447 Hijriah, menandai pergantian tahun baru Islam. Sayangnya, momen sakral ini kerap berlalu begitu saja—tanpa gema, tanpa semarak, bahkan cenderung diabaikan.
Hal ini disampaikan oleh Drs. Tgk H Ameer Hamzah, M.Si, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda Aceh, dalam Kajian dan Halaqah Subuh yang berlangsung di Masjid Raya Baiturrahman, Kamis (26/6/2025).
“Kita lebih akrab dengan tahun Masehi—2024, 2025, dan seterusnya. Kalender yang lahir dari peradaban Barat itu begitu kuat melekat dalam keseharian kita, hingga tercantum di batu nisan orang tua. Lahir 1950, wafat 2023. Tapi 1369 H? 1445 H? Banyak yang tak tahu,” ujarnya.
Menurutnya, kalender Hijriah bukan sekadar sistem penanggalan, melainkan simbol peradaban, harga diri, dan identitas umat Islam. Ia lahir dari musyawarah para sahabat Rasulullah SAW seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan lainnya, yang menjadikan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah sebagai titik awal penanggalan Islam.
“Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, tetapi transformasi makna: dari lemah menjadi kuat, dari dikejar menjadi memimpin peradaban,” tegas Tgk Ameer.
Aceh sendiri, lanjutnya, memiliki sejarah panjang dalam memuliakan kalender Hijriah. Selama ratusan tahun, rakyat Aceh menggunakan kalender Hijriah dalam kehidupan sehari-hari dan sistem administrasi Kesultanan Aceh Darussalam. Tahun Masehi baru masuk dan digunakan secara luas setelah agresi Belanda pada 1873 yang disertai pembakaran Masjid Raya Baiturrahman.
Kini, lanjutnya, akad nikah, catatan kelahiran, bahkan tanggal wafat pun hampir seluruhnya ditulis dalam tahun Masehi. “Seolah Hijriah bukan milik kita. Padahal, menuliskan tahun Hijriah adalah bentuk penghormatan kepada para sahabat Nabi, sekaligus pengakuan terhadap jati diri kita sebagai Muslim,” katanya.
Tgk Ameer menegaskan bahwa penggunaan kalender Masehi bukanlah kesalahan. Namun menjadikannya satu-satunya acuan hidup sambil mengabaikan Hijriah merupakan bentuk keterasingan umat terhadap identitasnya sendiri.
“Mari jadikan momen tahun baru Islam ini sebagai ajang perubahan. Mulailah mencatat tanggal-tanggal penting dalam dua kalender: Hijriah dan Masehi. Tempel di dinding rumah. Cantumkan di profil media sosial. Banggakan seperti kita bangga pada rumah sendiri, istri sendiri, dan bangsa sendiri,” ajaknya.
Ia juga mengingatkan agar dalam euforia tahun baru Islam, umat tidak melupakan penderitaan saudara-saudara di Palestina. “Hijrah juga berarti meninggalkan kezaliman dan berpihak kepada yang tertindas. Doakan mereka, bantu mereka, serukan pembelaan untuk mereka.”
“Semoga kita menjadi umat yang lebih sadar sejarah, mencintai identitas, dan lebih dekat kepada Allah SWT,” tutupnya. []