Oleh: Erna Dwi Susanti, S.ST, CHt.
Pekerja Sosial Kementerian Sosial – Sentra Darussa’adah Aceh
Mengenang 19 Desember 1948, saat di mana rakyat sedang luka dan ketakutan atas bencana sosial yang menghadirkan trauma. Agresi Militer II, demikian masyarakat Ibukota Yogyakarta dan sekitar memperistilahkan. Belanda melumpuhkan pusat pemerintahan kala itu dengan harapan dapat merebut kembali wilayah Republik Indonesia. Pemimpin bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta ditangkap, Indonesia kosong kepemimpinan.
Huru hara menggelora, dari seluruh pelosok negeri sampai di pusat kota. Rakyat tidak diam menyaksikan. Seluruh lapisan mengambil peran aktif, berkontribusi memberikan bantuan tambahan pasukan, membantu membawa perlengkapan perang serta turut memberikan perlawanan hingga dapat menghambat kekuatan pasukan Belanda.
Kekuatan masyarakat terbangun, rasa senasib dalam tanggungan menjadi ruh pengikat untuk membangun semangat dan solidaritas mempertahankan kedaulatan yang baru dimerdekakakan. Melawan. Rakyat menguat, saling gandeng melawan serangan, menggemakan semangat perlawanan.
Perlawanan dalam Agresi Militer II tersebut menyisakan banyak luka, setahun kemudian di 1949 Departemen Sosial (Kementerian Sosial) melakukan upaya pemulihan kehidupan sosial dalam bentuk pelatihan serta penyuluhan kepada masyarakat untuk membentuk para pekerja sosial / sosiawan yang selanjutnya dengan kerelaan memberikan pendampingan dan penguatan serta upaya pemulihan kepada korban terdampak di wilayah Yogyakarta dan sekitar.
Monumental Kontribusi Sosiawan
Para sosiawan yang pada masa itu mengambil peran besar dalam pemulihan kehidupan sosial, melalui pendekatan berbasis individu maupun kelompok terdampak. Hingga kemudian rakyat berhasil membasuh luka dan ketakutan serta kembali bangkit untuk menjalankan roda pergerakan dan perlawanan. Besarnya kontribusi barisan relawan yang bekerja penuh untuk kepentingan masyarakat tersebut dijadikan monumental atas terbangunnya jiwa saling bantu – empati dan solidaritas antar masyarakat. Jiwa satu tubuh satu penanggungan menjadi lompatan dasar membangun semangat kesetiakawanan. Hingga pada hari ini setiap 20 Desember diperingati sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Penataan Konsep Kesejahteraan
Hakikatnya hari ini adalah momentum refleksi, menjadikan nilai-nilai budaya baik pada bangsa agar kembali terbangun menjadi sumber kekuatan baru bagi pembangunan kesejahteraan. Kesejahteraan yang bermulakan pada upaya bersama, gotong royong dan saling bantu hingga tercipta soliditas tinggi antar masyarakat untuk saling peduli, tinggi empati publik pada isu-isu permasalahan sosial.
Maka menjadi keniscayaan jika menguatnya soliditas masyarakat akan mampu menghantarkan bangsa Indonesia pada kasta tertinggi kesejahteraan. Sejahtera sebagaimana teori Abraham Maslow atas aspek pemenuhan kebutuhan dasar berupa terciptanya kondisi akan rasa aman, terpenuhinya kebutuhan ego-sosial dan tercukupi kebutuhan dalam akselerasi serta aktualisasi diri.
Tonggak Peringatan HKSN
Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang berulang kita selenggarakan seyogyanya semakin menjadikan pribadi dan bangsa Indonesia untuk lebih erat bersatu. Padan menuntaskan segala isu permasalahan dengan strategi konkrit, berbenah untuk terus mewujudkan masyarakat dengan sikap saling peduli dan penuh toleransi. Kedua, segenap nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia, melalui peringatan HKSN diharapkan semakin terinternalisasi dalam setiap lapisan masyarakat. Ketiga, kesadaran masyarakat untuk turut berkontribusi dalam segala aktivitas pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan selayaknya semakin meningkat dan kelima rasa empati publik mampu mendulang penyelesaian permasalahan sosial oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk rakyat.[]