SAGOETV | BANDA ACEH – Perbedaan pendapat di tengah umat Islam adalah sebuah rahmat, bukan hal yang harus dipertentangkan. “Allah menciptakan manusia dengan akal dan perasaan yang berbeda, sehingga perbedaan dalam memahami ajaran agama adalah sesuatu yang wajar,” jelas Dr. Tgk. H. M. Jamil Ibrahim, S.H., M.H., M.M., dalam mengisi Ceramah dan Kajian Halaqah Magrib di Masjid Raya Baiturrahman, Selasa (28/1).
Menurut Dr Tgk H M Jamil, keberadaan mazhab dalam Islam memiliki peran penting sebagai pedoman bagi umat dalam menjalankan ibadah. “Mazhab tidak hadir untuk memecah belah, tetapi untuk memberikan kemudahan dalam memahami ajaran agama sesuai dengan konteks dan kebutuhan masing-masing,” lanjutnya.
Beliau juga memamparkan bahwa praktik lokal seperti samadiah dan pengiriman pahala kepada orang yang telah meninggal. Ia menjelaskan bahwa praktik tersebut memiliki dasar dalam Mazhab Syafi’i dan juga didukung oleh sebagian ulama dari mazhab lainnya. “Hal ini menunjukkan bahwa tradisi lokal dapat diamalkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam,” jelas Imum Chik Masjid Al Makmur Oman Lampriet, Kuta Alam Banda Aceh.
Imum Chik Masjid Al Makmur ini juga menjelaskan di tengah masyarakat, perbedaan dalam memahami ajaran Islam sering kali menjadi perbincangan hangat. Mengapa umat Islam memiliki banyak mazhab? Bukankah Al-Qur’an dan hadis sudah cukup menjadi pedoman hidup?
Tgk H M Jamil, mantan Ketua Mahkamah Syri’ah Aceh ini kembali menerangkan bahwa perbedaan dalam Islam bukanlah sumber perpecahan, melainkan sebuah rahmat. Ia menekankan bahwa Islam memiliki dua jenis hukum, yakni yang sudah pasti (muhkamat) dan yang masih menerima berbagai tafsiran (mutasyabihat).
“Para ulama berbeda pendapat bukan karena ingin membuat Islam terpecah, tetapi karena adanya perbedaan dalam memahami nas. Itulah sebabnya muncul mazhab-mazhab dalam Islam,” ujarnya di hadapan jamaah salat Maghrib.
Menurutnya, mazhab adalah kebutuhan, bukan sekadar pilihan. Seorang muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami Al-Qur’an dan hadis secara langsung, dianjurkan untuk mengikuti mazhab yang sudah disusun oleh para ulama mujtahid.
Mazhab sebagai Panduan
Dalam kajian tersebut, dijelaskan bahwa para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad memiliki metode tersendiri dalam memahami sumber hukum Islam. Inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan dalam praktik ibadah dan hukum-hukum fiqih di berbagai belahan dunia.
“Di Aceh, kita banyak mengikuti Mazhab Syafi’i. Namun, di daerah lain seperti Timur Tengah, ada yang lebih banyak mengikuti Mazhab Hanafi atau Maliki. Perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk menunjukkan keluasan Islam,” jelasnya.
Ia juga menyinggung anggapan sebagian masyarakat yang menilai bahwa mengikuti mazhab hanya menambah masalah. Padahal, menurutnya, mazhab justru menjadi solusi bagi umat Islam yang ingin berpegang teguh pada ajaran agama tanpa harus melakukan kajian mendalam sendiri.
“Bukan berarti kita tidak boleh kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, tetapi memahami keduanya butuh ilmu yang dalam. Para mujtahid itu menghafal ribuan hadis dan memahami bahasa Arab klasik dengan sempurna. Jika kita awam, lebih baik mengikuti ulama yang telah berijtihad,” tambahnya.
Perbedaan adalah Rahmat
Perbedaan dalam mazhab, lanjutnya, juga terlihat dalam beberapa praktik ibadah, seperti cara salat dan batas waktu iddah bagi wanita. Dalam Islam, ada perbedaan tafsiran tentang kata quru’ dalam ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang masa tunggu wanita setelah bercerai.
“Ada yang menafsirkannya sebagai tiga kali suci, ada pula yang menafsirkannya sebagai tiga kali haid. Perbedaan ini wajar karena bahasa Arab memiliki makna yang luas,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menerangfkan bahwa di Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, memiliki sejarah panjang dalam keberagaman praktik keagamaan. Salah satu aspek yang sering menjadi perbincangan adalah perbedaan dalam mengamalkan mazhab fiqih, terutama Mazhab Syafi’i yang menjadi pegangan utama masyarakat Aceh. Namun, dalam realitasnya, ada praktik-praktik tertentu yang mengadopsi pendapat dari mazhab lain.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat Aceh bersikap terbuka terhadap variasi pemahaman dalam beribadah. ia mencontohkan, Misalnya, dalam perdebatan mengenai hukum membaca Al-Fatihah di belakang imam dalam shalat berjamaah, terdapat dua dalil yang tampak bertentangan. Satu dalil menyatakan bahwa bacaan imam mencukupi bagi makmum, sementara dalil lain menegaskan bahwa shalat tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah. Dalam ushul fiqh, konsep ta‘ârudh al-adillah (pertentangan dalil) memberikan metode penyelesaian dengan cara mengkompromikan kedua dalil tersebut.
Dalam praktiknya, kata beliau, para ulama Aceh yang berpegang pada Mazhab Syafi’i cenderung mengikuti pendapat yang lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, ada pula yang mengambil pendapat dari mazhab lain seperti Mazhab Hambali, khususnya dalam hal pengiriman pahala kepada mayit. Walaupun Mazhab Syafi’i mengizinkan hal tersebut, ada pandangan dari mazhab lain yang tidak membolehkan. Kendati demikian, masyarakat tetap menjalankan praktik ini sebagai bagian dari tradisi.
Menurut beliau, fenomena ini tidak dapat dianggap sebagai bentuk ketidakkonsistenan dalam bermazhab, melainkan sebagai bentuk fleksibilitas yang tetap berlandaskan ilmu dan kaidah fiqih. “Masyarakat Aceh memang mayoritas bermazhab Syafi’i, tetapi dalam beberapa aspek, mereka juga menerima pendapat dari mazhab lain selama ada dasar yang kuat,” ujarnya.
Keberagaman dalam pemahaman fiqih ini juga mencerminkan pentingnya sikap toleransi di tengah masyarakat. Perbedaan pendapat dalam ranah fiqih bukanlah alasan untuk menimbulkan perpecahan, tetapi justru dapat memperkaya wawasan dan mempererat persaudaraan sesama Muslim.
Aceh yang telah menetapkan Syariat Islam dalam sistem hukumnya terus mengembangkan pemahaman yang lebih inklusif. Hal ini penting agar keberagaman dalam mazhab tidak menjadi pemicu konflik, tetapi justru menjadi kekayaan intelektual yang memperkuat persatuan umat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i sendiri, “Pendapat saya benar tetapi mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain salah tetapi mungkin mengandung kebenaran.” Prinsip ini sepatutnya menjadi landasan bagi masyarakat dalam menyikapi perbedaan dengan kepala dingin dan penuh kebijaksanaan.
Di akhir kajian, ia mengingatkan agar umat Islam tidak memperdebatkan perbedaan secara berlebihan, tetapi justru mengambil hikmah dan pelajaran darinya.”Selama perbedaan itu masih dalam koridor syariat, maka itu adalah rahmat. Yang perlu kita jaga adalah ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat,” tutupnya. [CE]