Oleh Arfiansyah
Akademisi UIN Ar-Raniry & Peneliti pada International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
Prolog
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Yusdarita yang telah tutup usia pada tanggal 3 Januari 2025. Interaksi ta
tap muka antara saya dan Yusdarita tidak sering terjadi karena jarak tempat tinggal yang berjauhan, saya tinggal di Banda Aceh dan Yusdarita tinggal di Bener Meriah. Setidaknya kami bertemu 1 kali dalam satu tahun dalam 5 tahun terakhir. Interaksi intens kami terjadi pada tahun 2013-2014 dan 2017 ketika saya sedang melakukan penelitian untuk studi S3 saya. Tulisan ini adalah refleksi dari interaksi yang terbatas tersebut dan informasi dari orang lain tentang dirinya. Teman-teman Yusdarita lainnya, terutama dari pegiat kemanusiaan, tentu memiliki cerita dan nilai dari pergaulan mereka yang lebih kaya dan berbeda dari yang saya lalui.
Yusdarita tentu tidak bekerja seorang diri untuk isu kemanusiaan. Dia bekerja bersama teman-temanya baik di Bener Meriah dan Banda Aceh atau di tempat lain. Saya tidak bermaksud mengabaikan kontribusi mereka yang berjuang bersamanya seperti Samsidar, Laila Jauhari, Hasanah Silang, Sri Wahyuni, Dwi, Zubaidah . Melalui tulisan ini, saya hanya mencoba membagikan pelajaran penting yang saya mampu serap dari Yusdarita, yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.
Terlebih, Yusdarita tidak mengembangkan kemampuan menulisnya dengan baik sehingga kita tidak mendapatkan banyak catatan dari pengalaman dan pandangannya. Keadaan ini kemudian memberikan keistimewaan untuk orang-orang yang berinteraksi langsung dengannya untuk merasakan kebaikannya, mendapatkan pengetahuan dan hikmah dari kehidupan dan perjuangannya.
Karena faktor tersebut, saya berpikir penting untuk memberikan catatan tentang dirinya, metode kerjanya dan apa yang telah dia lakukan untuk kemanusiaan terutama untuk perempuan di Bener Meriah. Semoga catatan ini dapat menjadi pembelajaran dan warisan dari Yusdarita untuk orang-orang yang tertarik dengan isu kemanusiaan serta perlindungan dan pemulihan perempuan dan anak dari ragam kekerasan dan diskriminasi.
Tentang Yusdarita
Yusdarita adalah salah satu kader terbaik dari RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan). Sepengetahuan saya, dia adalah satu-satunya kader yang paling konsisten bergerak sejak awal bergabung pada isu perlindungan dan pemulihan perempuan dan anak dari beragam bentuk tindak kekerasan. Hingga akhir hayatnya, dia tetap sebagai pekerja kemanusiaan yang independen. Sementara kebanyakan kader lain telah beralih menjadi para legal atau beralih kepedulian ke isu lainnya, yang sesuai dengan panggilan nurani mereka.
Yusdarita bergabung dengan organisasi tertentu bukan karena hubungan kontraktual, namun karena kepentingan kemanusiaan, terutama kepentingan perempuan. Sehingga, dia tidak pernah merasa kehilangan finasial dan status sosial bila dia tidak lagi berada di organisasi tertentu. Bahkan terkadang dia merasa enggan untuk bergabung dengan organisasi tertentu karena terlalu administratif dan tidak fleksibel. Keadaan di lapangan tentu berbeda dengan keadaan yang didesain di atas kertas sebelum turun ke lapangan. Namun dia hanya melihat tujuan, sehingga terkadang dia memaksakan diri untuk bergabung.
Yusdarita pertama sekali bergabung dengan RPuK ketika menangani dampak konflik terhadap perempuan dan anak di Bener Meriah. Ketika itu dia masih relawan pemula yang mendistribusikan ragam bantuan kebutuhan dasar untuk pengungsi perempuan. Akan tetapi, kepeduliannya terhadap isu perempuan telah ditanam sejak kecil oleh ibunya yang bekerja sebagai bidan desa. Sehari-hari dia menjadi asisten ibunya untuk urusan kesehatan anak dan reproduksi perempuan. Dari sana, dia telah mengenal ragam alat kesehatan dan ragam kekerasan seksual, meskipun waktu itu ibunya merahasiakan penyebab derita pasiennya.
Kepedulian dan kesadarannya meningkat setelah dia bergabung dengan RPuK. Melalui RPuK, dia belajar banyak tentang isu Kekerasan, HAM, perempuan dan anak dan ragam pendekatan intervensi kemanusiaan. Dia mengikuti ragam pelatihan tentang isu-isu tersebut di Banda Aceh, Jakarta dan luar negeri. Pada pertemuan di akhir 2013, dia mengingatkan saya bahwa saya pernah terlibat memfasilitasinya untuk mengikuti latihan singkat tentang HAM perempuan di Thailand.
Dia hanya menamatkan pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski telah mengikuti banyak pelatihan dan pertemuan di tingkat regional, nasional dan internasional, Dia tidak bisa berbahasa inggris sama sekali. Hingga akhir hayatnya, saya tidak pernah mendengar dia mengucapkan satu pun kata bahasa inggris. Dia menceritakan betapa perjalanannya ke Thailand dimuluskan oleh Allah, mulai dari Bandara hingga pelatihan usai. Sementara beberapa rekan dari Aceh yang terbang bersamanya mengalami kendala imigrasi di Bandara. “mungkin karena muka saya lugu, polos dan terlihat memang bodoh. Dan saya tidak menutup tutupi kebodohan saya”, ingatkan dengan rendah hati.
Hubungan historis tersebut membuat kami terasa dekat. Dan, saya kira itu yang membuat saya mudah mengikuti semua aktivitasnya ketika masa penelitian untuk S3 saya. Beberapa kawannya pernah terkejut mengetahui saya bisa mengikuti kegiatannya karena menurut mereka waktu itu Yusdarita tidak pernah mau diwawancara dan dipublikasi. Saya juga menanyakan kepadanya langsung tentang keengganan tersebut. Dia hanya memberi alasan tentang pentingnya melindungi informasi para korban, “pekerjaan saya itu tentang aib orang. Malu orang. Wartawan suka berita-berita itu, yang kemudian membuat malu korban yang saya tangani. Ini membuat trauma tambahan. karenanya saya tidak mau diwawancarai terutama oleh jurnalis yang suka berita buruk. Saya selalu tolak dan bahkan tidak mau bertemu agar tidak terjadi diskusi apa pun”.
Keengganan ini membuat Yusdarita, dan juga kawan-kawannya, tidak pernah muncul di media massa. Mereka bekerja dengan senyap yang hanya diiringi oleh suara tangisan dan jeritan para korban. Namun, dia tidak keberatan untuk dijadikan narasumber penelitian selain saya. Saya mengetahui ini kemudian karena salah seorang teman memenangkan kompetisi karya ilmiah berkat ide dari Yusdarita. Kepada saya pun dia pernah menawarkan catatan pribadinya tentang kasus kekerasan seksual yang melibatkan lelaki usia lanjut terhadap orang dekatnya. Waktu itu saya menanyakan “loh kok dibagikan?”, dia hanya menjawab “untuk ilmu pengetahuan itu harus dibagikan. Tapi untuk yang lain tidak boleh”. Saya merasa tersanjung mendapat kepercayaan tersebut namun juga kemudian menyesal menolaknya karena waktu itu disibukkan dengan penelitian lainnya.
Akhir tahun 2023, sebelum dia wafat, saya pernah menanyakan tentang catatan itu. Namun, dia telah serahkan semua catatannya ke P2TP2A Bener Meriah setelah dia tidak lagi menjadi bagian dari instansi pemerintahan tersebut. Ketika dia dan seorang kawan lainnya menelusuri catatan kembali ke kantor P2TP2A, catatan itu telah hilang entah ke mana.
Meski tidak dikenal di lokal, Yusdarita dikenal luas di kalangan aktivis perempuan di Aceh dan nasional. Dia pernah menjadi darling Komnas Perempuan Indonesia karena dedikasi dan komitmennya terhadap isu kekerasan dan perlindungan perempuan dan anak. Saya mendapatkan kabar dari teman dari Jakarta yang berkunjung kerja ke Aceh kalau dia disarankan bertemu dengan Yusdarita kalau hendak mengunjungi wilayah Gayo. Dan semua yang berkunjung kemungkinan besar sekali akan menginap di rumahnya. Dan semua langsung merasa kalau Yusdarita seperti kakak untuk mereka.
Yusdarita dalam Pusaran Gerakan Perempuan di Aceh
Dengan hanya memiliki Ijazah tingkat SMU, Yusdarita tidak memiliki cara berpikir yang canggih dan ribet ala anak kuliahan apalagi yang sudah profesor. Dia mendapatkan pengetahuan tentang HAM, kekerasan dan perlindungan perempuan hanya dari kursus-kursus singkat untuk anggota organisasi masyarakat sipil. Saya tidak pernah mendapatkan buku pelatihan di rumahnya, apalagi buku-buku akademik berat seperti teori feminisme, gender, HAM dan lain sebagainya. Namun, dia mampu menangkap dan memahami persoalan-persoalan mendasar perempuan yang berkaitan dengan budaya, agama dan ekonomi. Dia mampu menemukan dan melakukan pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat di Kabupaten Bener Meriah.
Pikiran Yusdarita tidak diracuni oleh beragam aliran feminisme dan segudang teori feminisme dan gender yang ribet dan besar. Sebagian aktivis perempuan memiliki cara berpikir yang terlalu text book tentang HAM, kekerasan dan perlindungan perempuan. Sebagian mereka mengikuti alur pikir feminisme liberal, radikal dan lain sebagainya. Ini membuat sebagian mereka kesulitan untuk berinteraksi dan bekerja langsung di akar rumput dan dengan korban, karena teori-teori dan beragam pendekatan tekstual terlebih dahulu mendikte cara berpikir dan pendekatan mereka.
Pada dasarnya, aktivis-aktivis perempuan, baik yang dipengaruhi oleh feminisme liberal dan radikal secara konsep dan pendekatan atau lainnya, menginginkan kesetaraan antara lelaki dan perempuan dan juga, terutama sekali, menginginkan perempuan dan anak terbebas dari ragam tindak kekerasan dari masyarakat terutama dari lelaki. Apa yang membuat Yusdarita, dan beberapa kawan di Bener Meriah berbeda adalah dari pendekatan mereka. Yusdarita dan beberapa kawannya yang saya kenal melihat bahwa tidak mungkin melawan tradisi patriarki. Patriarki bukanlah penyebab utama kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Satu hari pada tahun 2013 dalam perjalanan menuju rumah korban pemerkosaan di Simpang Balik, Bener Meriah, dia mengatakan “kita tidak bisa melawan adat. Kita tidak akan mampu. Jadi kita harus mampu berteman dengan adat, mempengaruhinya dan memberikannya warna baru yang membantu perempuan”. Yusdarita dan beberapa aktivis lainnya yang hidup dalam adat dan tradisi patriarki membuktikan bahwa mereka bisa leluasa bekerja mengiring tradisi itu kepada praktik-praktik yang berpihak kepada perempuan.
Pendekatan budaya tersebut dia praktikan dalam aktivitasnya memulihkan dan melindungi perempuan korban tindak kekerasan. Walau begitu, saya tidak berani mengategorikan Yusdarita ke feminisme kultural. Yusdarita sendiri tidak peduli dengan ragam kategori, teori dan pendekatan yang dibangun oleh para intelektual-aktivis atau aktivis-intelektual. Dia hanyalah seorang pegiat kemanusiaan yang berjibaku di lapangan dan tidak mengikuti ideologi feminisme tertentu. Yang terpenting baginya adalah bagaimana mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan serta meningkatkan otonomi mereka di dalam rumah tangga dan masyarakat. Tiga tujuan ini mengiring dia untuk berpikir dan bertindak kreatif dan membangun prinsip-prinsip dan pola kerja secara independen, yang kemudian berbeda dari banyak teman-temannya. Terkadang perbedaan ini, menurut pengakuannya, mengakibatkan konflik sejenak antara mereka. Kemudian mereka bersatu kembali karena kepentingan perempuan dan perempuan korban kekerasan.
Salah satu perbedaan yang mencolok antara mereka terletak pada pertanyaan apakah adat dan tradisi, beserta lembaga-lembaga yang menjaga dan menjalankannya layak didekati, digunakan untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta anak, dapat dijadikan media pelindung kepentingan perempuan dan anak, dan mendorong keterlibatan perempuan di ruang publik?
Ini pertanyaan menggelikan bagi sebagian aktivis perempuan. Bagi mereka jelas bahwa adat dan tradisi serta lembaga-lembaga tersebut adalah sumber penderitaan bagi perempuan. Banyak aktivis perempuan berpandangan bahwa permasalahan perempuan di Aceh adalah budaya dan tradisi patriarki. Patriarki menjadi sasaran tembak yang mudah untuk semua permasalahan perempuan. Karenanya, budaya dan tradisi patriarki harus dilawan, tidak bisa dijadikan kawan. Pandangan ini seperti melihat hantu tapi tidak tahu wujudnya. Atau, melihat masalah tetapi tidak mengetahui benar wujud masalah dan penyebabnya. Sehingga patriarki, yang merupakan sebuah isu yang besar, tidak sebatas dominasi kekuasaan oleh lelaki, menjadi target yang mudah untuk disalahkan. Barangkali, sikap dari sebagian aktivis ini menyebabkan mereka enggan melibatkan lelaki secara konsisten dan berkesinambungan dalam kegiatan advokasi dan intervensi mereka, karena patriarki adalah lelaki.
Pada masa-masa awal pasca Tsunami, ketika banyak sekali dukungan dana untuk gerakan kesetaraan perempuan di Aceh, sikap beberapa aktivis tersebut menyebabkan para tokoh agama di Aceh enggan menerima konsep-konsep kesetaraan perempuan. Mereka dituduh sebagai perpanjangan tangan budaya Barat, yang memiliki norma dan nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Aceh yang islami.
Sebagai bentuk pertentangan tokoh agama tersebut, mereka menggunakan sejarah Aceh dan ajaran Islam tentang kesetaraan perempuan dan lelaki di ruang publik. Romantisme sejarah, -yang tidak digunakan dengan baik dan layak untuk saat ini dan tidak ada upaya untuk membangkitkannya kembali kalau memang benar-benar terjadi-, dan juga ajaran-ajaran Islam tentang hak perempuan, yang hanya dirapalkan saja tapi jarang dipraktikkan, mementalkan hampir semua kampanye-kampanye kesetaraan gender yang dilakukan oleh banyak aktivis perempuan di Aceh.
Penolakan tokoh agama dan adat tersebut membuat gerakan sebagian aktivis perempuan tersebut kemudian dibatasi pada kebijakan dan program pemerintah. Banyak output dan outcome dari kegiatan mereka menyasar kebijakan seperti pembuatan ragam peraturan dan lainnya. Pendekatannya kemudian menjadi top-down karena kesulitan menembus batas-batas budaya untuk kepentingan perempuan. Terlebih lagi, sejak saat itu, istilah baku seperti gender, feminisme, HAM Perempuan dalam lainnya yang diadopsi dari luar menjadi haram didengar oleh tokoh-tokoh agama dan budaya di Aceh.
Untuk menyiasatinya, beberapa organisasi, yang aktivis perempuan berafiliasi dengannya, dan juga organisasi non pemerintah lainnya berusaha menemukan istilah yang tepat agar kampanye mereka diterima. Salah satu istilah yang muncul seperti “timang”, yang pernah diajukan oleh Aceh Institut. Namun, tidak ada kata sepakat untuk penyeragaman istilah dan mempopulerkannya. Mereka kemudian menggunakan prasa yang panjang seperti “hak perempuan dalam Islam”, “perempuan dalam budaya dan sejarah Aceh” dan lain sebagainya sebagai upaya kampanye dan advokasi. Kita bisa melihat ini dalam beberapa agenda kegiatan mereka di masyarakat.
Saya tidak tahu apakah Yusdarita dan kawan-kawannya di Bener Meriah sadar akan dinamika tersebut. Namun, saya temui bahwa dia sama sekali tidak menolak dan tidak melakukan perlawanan terhadap budaya dan tradisi patriarki. Alih-alih melawan, dia mengatakan bahwa budaya dan tradisi itu tidaklah baku dan kaku. Dia dinamis dan bisa diwarnai berdasarkan keinginan kita. Untuk itu diperlukan pendekatan dan strategi yang tepat, tidak sekedar berwacana di ruang publik dan seminar-seminar.
Yusdarita tidak berwacana dan beretorika. Dia tidak memiliki kemampuan untuk itu. Selaku pegiat, dia dan kawan-kawannya lebih senang bekerja dan intervensi langsung. Dia membuktikan sendiri bahwa adat sangat fleksibilitas dan cair serta mampu menerima serta mengadaptasikan hal-hal baru ke dalam dirinya.
Salah satu yang saya rekam dari upaya Yusdarita dan teman-temannya, di antaranya Hasanah Silang, adalah mengubah konsep dan praktik adat Gayo tentang Tutup Babah. Tutup Babah (tutup mulut untuk menutupi malu) adalah konsep adat Gayo tentang pembayaran kompensasi oleh pelaku kepada korban tindak kekerasan yang dia lakukan. Namun, secara tradisional, pembayaran ini tidak dilakukan ketika tindakan kekerasan pertama sekali terjadi. Dalam tradisi di banyak tempat, termasuk di Gayo, upaya pertama adalah perdamaian antara pelaku dan korban, tanpa melibatkan kompensasi. Pembayaran kompensasi baru akan dilakukan untuk tindakkan kekerasan kedua dan seterusnya karena pelaku dianggap melanggar kesepakatan damai yang dicapai pada kekerasan pertama sekali dilakukan.
Yusdarita dan Hasanah Silang tidak sepakat dengan konsep tersebut. Hasanah Silang, yang berlatar belakang sarjana hukum dan pernah magang di LBH Aceh, di Banda Aceh, dipengaruhi banyak oleh ilmu hukum yang dia pelajari bahwa setiap tindak kekerasan harus diberi sanksi, kapan pun dia terjadi. Dengan latar belakang pekerja kemanusiaan dan telah mendapatkan banyak latihan mediasi, advokasi dan ragam pendekatan dan intervensi, Yusdarita dan Hasanah Silang, yang saat itu masih bekerja sebagai pengacara, melakukan dua pendekatan sekaligus untuk menangani kasus KDRT; hukum dan adat.
Menurut keduanya, tidak semua kasus KDRT harus dilaporkan kepolisian. Yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan istri dan anak-anak bila suami mereka kemudian dipenjarakan. Dalam tradisi masyarakat di daerah tengah, dan demikian juga di banyak tempat berdasarkan literatur yang saya pelajari, perempuan tidak memiliki kepemilikan bernilai yang dapat menjadi modal mereka hidup bila suami dipenjarakan. Semua harta kepemilikan didaftarkan atas nama suami, seperti lahan perkebunan, tanah, dan rumah. Demikian juga dengan sumber ekonomi didominasi oleh suami. Banyak kasus yang mereka dampingi menunjukkan bahwa suami cenderung menjual harta mereka ketika dipenjara sembari mengurus perceraian setelahnya. Ini menghindari pembagian harta gono-gini pasca cerai. Dengan demikian, bila suami dipenjarakan maka kemungkinan besar istri dan anak-anaknya akan terlantar.
Lalu bagaimana strategi mereka meningkatkan otonomi ekonomi perempuan secara perlahan? Mereka menggunakan tradisi tutup babah sebagai senjata, menikam dengan senjata lawan! Yusdarita dan Hasanah serta kawan-kawan lainnya bekerja sama. Selaku pengacara waktu itu, Hasanah melaporkan kasus KDRT tersebut ke kepolisian. Sementara Yusdarita mendekati tokoh adat termasuk aparatur kampung untuk menerapkan kompensasi pada setiap tindak kekerasan termasuk yang pertama sekali terjadi. Mereka ingin mengubah adat Tutup Babah. Selama masa penyidikan perkara, yang laporannya bisa ditarik kembali pada masa yang telah ditetapkan oleh hukum, Yusdarita memperingatkan konsekuensi terhadap kampung bila kasus tersebut merebak dan diketahui publik. Mereka menjadikan nama baik kampung sebagai senjata tambahan, yang sering dikhawatirkan oleh aparatur kampung. Nama baik ini begitu penting. Demi nama baik, semua bisa diatur.
Upaya mereka kerap berhasil. Aparatur kampung kemudian memaksa suami, yang melakukan kekerasan, untuk membayar kompensasi untuk istri mereka. Proses ini dilakukan di kantor desa dan dicatat. Kompensasi bisa dilakukan dalam beragam bentuk, yang penting memiliki nilai ekonomi yang tidak berkurang seperti lahan kebun, rumah, dan perhiasan seperti emas. Dengan demikian, istri memiliki modal darurat bila hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dan ini juga meningkatkan otonomi ekonomi istri dan meningkatkan ruang negosiasi di dalam rumah tangga. Suami akan berpikir konsekuensi pemindahan “ hak kepemilikan” dan “pemiskinan” sebelum melakukan tindak kekerasan.
Seiring meningkatnya keterlibatan Yusdarita dalam isu kekerasan perempuan, meningkat pula perhatian dan strateginya melindungi dan memberikan pelayanan untuk perempuan yang mengalami ragam tindak kekerasan. Dia kemudian berpikir pentingnya untuk menciptakan ruang aman, tidak hanya sebatas rumah tetapi Kampung Aman untuk perempuan dan anak. Dan, dia berencana menjadikan kampungnya, Rembele, untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Tantangan terbesar pertamanya adalah meyakinkan aparatur desa terutama kepala kampung dan imam. Dalam diskusi kami, Yusdarita lagi-lagi mengaku bahwa dia tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup untuk membangun argumen melawan penafsiran patriarkat terhadap teks agama. Kebetulan pada saat itu kepala kampung dan imam adalah saudara dari Yusdarita. Ini memberikan dia kemudahan, setidaknya waktu yang lebih sering untuk bertemu dan berdiskusi.
Sebelum beradu argumen dengan kepala kampong dan imam, Yusdarita menemui ulama-ulama yang disegani dan moderat di wilayah Gayo seperti (alm) Ali Jadun, (alm) Mahmud Ibrahim, dan Ridwan Qari. Yusdarita belajar dari mereka dan membawa hasil pembelajarannya ke diskusi-diskusi bersama kepala kampung dan imam kampung. Tidak lupa dia sebutkan rujukan belajarnya. Baik di wilayah tengah maupun pesisir Aceh, nama besar ulama sering membuat orang goyah dan ragu. Yusdarita sadar betul tentang pentingnya menjual nama besar ulama-ulama tempat dia belajar tentang perempuan dalam Islam. Dia menyebutkan “menurut tengku ini…” dan “…. begitu menurut tengku fulan”. Walau begitu, upaya meyakinkan saudaranya tidak cukup dalam satu sampai tiga kali pertemuan, tetapi sering. Hingga dia capai apa yang dia inginkan untuk perempuan.
Dari sana, dia kemudian meminta bantuan RPuK untuk mencari dukungan dana pelatihan untuk aparatur kampungnya dan juga beberapa perempuan. RPuK membawa mereka ke beragam tempat untuk pelatihan. Terkadang di Banda Aceh, Aceh Tengah, dan bahkan Medan; belajar sambil pelisiran. Seiring waktu, tokoh adat dari kampung lain dan kemukiman Simpang Tiga juga diikutsertakan. Semua perjalanan dibiayai asal mereka mau belajar. Dan ini membuahkan hasil. Kampung Rembele disepakati menjadi Kampung Aman. Mereka, dibantu oleh RPuK, membuat Qanun Kampung tentang perlindungan perempuan dan keterlibatan perempuan dalam pemerintahan. Mereka menggunakan adat untuk meningkatkan perlindungan bagi perempuan dan peningkatan partisipasi perempuan di dalam pemerintahan kampung.
Salah satu yang menarik adalah kampung itu melarang memeriahkan dan mengikuti pesta perkawinan warganya yang menikahkan anak di bawah umur ( di bawah 18 tahun). Ini merupakan hukuman sosial yang langsung mengisolasi pelaku dari masyarakat. Ini membuahkan hasil. Pernikahan anak menurun di kampung Rembele.
Kasus menarik lainnya adalah ketika seorang anak gadis ditangkap warga melakukan perbuatan asusila. Alih-alih menghukum anak tersebut dan langsung menikahkannya dengan pasangan mesumnya, kampung malah menghukum ayah orang tua anak tersebut. Menurut adat Gayo, dan juga demikian menurut ajaran Islam, anak-anak di bawah umur berada dalam kekuasaan dan bimbingan orang tuanya. Bila anak berbuat salah, maka itu adalah kesalahan orang tua yang lalai dan tidak mengawasi anaknya. Aparatur desa kemudian menghukum ayah anak perempuan yang berbuat mesum tersebut dengan membersihkan mesjid selama 2 minggu tanpa jeda. Meskipun terkesan ringan, tapi tujuan dari hukuman ini bukanlah fisik, tapi mental anak dan orang tuanya, dan juga peringatan bagi masyarakat untuk mendidik dan mengawasi anak dengan baik.
Pendekatan-pendekatan kultural dari Yusdarita untuk perlindungan perempuan dan anak menjadikannya sebagai salah seorang perempuan yang dihormati. Sebagai bagian dari pengakuan terhadap kontribusinya mengembangkan adat, dia didapuk menjadi anggota kemukiman Simpang Tiga. Satu-satu perempuan di dalam struktur kemukiman tersebut. Meskipun posisinya hanyalah bendahara, tapi para lelaki dalam struktur organisasi itu tidak berani bergerak bila Yusdarita tidak memulai atau minimal hadir bersama mereka dalam sebuah pertemuan dengan pemerintahan daerah. Ini memberinya kesempatan yang lebih luas untuk mengiring budaya dan tradisi patriarki yang sudah mapan ke arah yang dia anggap dapat memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan representasi dan partisipasi perempuan di ruang publik dan kebijakan di level kampung dan kemukiman.
Komitmen dan konsistensinya untuk isu perlindungan dan pemulihan perempuan korban kekerasan membawanya bergabung ke P2TP2A Kab. Bener Meriah. Dalam banyak diskusi dengannya setelah saya menyelesaikan S3, dia kerap menceritakan bahwa tantangan terbesarnya adalah struktur dan birokrasi pemerintah. Di sana, dia tidak hanya mendapatkan hadangan dan tantangan dari sistem birokrasi, keuangan, dan lelaki, tapi juga dari kolega perempuan.
Sejauh pengetahuan saya, permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Yusdarita melalui P2TP2A Kab. Bener Meriah terjadi di banyak lembaga yang sama atau lembaga pemerintah lainnya di banyak kabupaten. Kekuasaan dan birokrasi pemerintahan terlalu patriarki dan kaku melebihi budaya dan tradisi patriarki yang bekerja di masyarakat perkampungan .
Yusdarita selalu percaya bahwa semua orang memiliki nilai kebaikan yang sama. Semua orang ingin tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain. Semua orang menginginkan damai dan segala sesuatu yang indah. Kondisi psikologis ini dimanfaatkan dengan baik oleh Yusdarita dan kawan-kawan ketika bekerja di level kampung dan kemukiman. Namun, kekuasaan dan birokrasi pemerintah di Bener Meriah menyulitkan mereka untuk menemukan keadaan psikologis tersebut. Hal ini diperburuk dengan minimnya dukungan pembiayaan untuk upaya perlindungan, pemulihan, advokasi perempuan korban kekerasan.
Kekuasaan seperti itu tidak hanya merasuki lelaki tapi juga perempuan birokrat. Terkadang, meski kepala daerahnya memiliki perhatian yang baik pada isu kekerasan terhadap perempuan, namun kepala dinasnya atau lainnya tidak memiliki perhatian yang sama. Atau juga sebaliknya. Bahkan ketika Yusdarita dan kawan-kawan para legal yang bergabung di P2TP2A berhasil melobi pendanaan nasional untuk mendukung pekerjaan mereka, dana tersebut dikuasai dan dipergunakan bukan untuk keperluan semestinya. Melainkan untuk pekerjaan simbolis dan tidak relevan. Keadaan-keadaan ini membuat Yusdarita dan kawan-kawannya sering mengeluarkan uang sendiri dan menggunakan kendaraan sendiri untuk membantu korban kekerasan.
Konflik internal di instansi pemerintahan dan rasa jengah dengan kekuasaan dan perilaku birokrasi memaksa Yusdarita dan kawan-kawannya mundur dari kerja struktural untuk perempuan dan anak. Yusdarita kembali bekerja independen untuk melakukan advokasi, perlindungan dan pemulihan korban. Dia secara konsisten melakukan pekerjaan yang dia cintai itu meski dia telah divonis mengidap kanker.
Saya masih berkesempatan bertamu ke rumahnya ketika dia masih menjalani pengobatan dan kemoterapi di Medan dan juga Banda Aceh. Dokter jelas-jelas menyuruhnya untuk istirahat total dan menghentikan semua aktivitas yang berat, termasuk walau sekedar memenuhi undangan. Namun, dia tidak pernah menolak ajakan dan undangan orang lain untuk membantu perempuan korban kekerasan atau bergabung dengan proyek perlindungan perempuan. Sepertinya, dia menyembunyikan penyakitnya dari orang banyak. Atau dia mengaku telah pulih, meski wajah pucat pasinya tidak bisa disembunyi.
Dukungan
Kenapa Yusdarita begitu unik dan dapat melakukan sesuatu yang banyak orang lain tidak dapat lakukan? Selain karena perbedaan yang alamiah antar semua orang, salah satu faktor yang sangat menentukan adalah dukungan penuh dari pasangan. Saya tidak banyak berinteraksi dengan suami Yusdarita, Wisto. Interaksi saya dengannya hanya terjadi bila saya bertemu Yusdarita. Itu pun jarang terjadi karena dia disibukan oleh tugasnya sebagai suami dan kepala rumah tangga yang harus memproduksi/menyediakan/mencari nafkah dan melakukan aktivitas proteksi keluarga. Dalam interaksi yang lebih terbatas tersebut, saya mendapati suami Yusdarita sebagai sosok yang luar biasa. Dia sama baik dan mulianya dengan Yusdarita.
Sementara Yusdarita mendedikasikan hidupnya untuk orang banyak, tentunya setelah keluarganya sendiri, Wisto bekerja memenuhi semua kebutuhan keluarga dan mendukung semua aktivitas Yusdarita. Minimalnya Dia selalu bersedia sebagai sopir bila dibutuhkan untuk mengantar ke Yusdarita ke tempat para korban.
Wisto tidak memiliki bakat dan kemampuan seperti yusdarita untuk intervensi isu kekerasan dan kemanusiaan. Tapi melalui Yusdarita, dia memastikan kalau dia bisa berkontribusi meski tidak seaktif istrinya. Wisto menjadi backing terbesar, alas yang paling empuk, perisai paling tebal dan terkuat setiap kali Yusdarita menghadapi fitnah dan amarah dari orang-orang yang merasa terganggu dengan aktivitasnya.
Yusdarita tidak akan bisa mengikuti beragam pertemuan dan pelatihan di luar Bener Meriah bila Wisto tidak bisa menggantikan perannya di dalam rumah tangga. Demikian juga dengan seluruh inisiatif Yusdarita seperti menjadikan rumahnya sebagai rumah aman bagi perempuan dan anak, tempat bersalin bagi perempuan korban perkosaan yang diusir oleh warga kampungnya, tempat orang mengadu dan membutuhkan apa saja tidak akan terwujud bila suaminya tidak mengizinkan. Dan semua pekerjaan kemanusiaan Yusdarita di rumahnya tidak ada terjadi bila suami dan anak-anaknya merasa terganggu.
Tidak selalu di balik kesuksesan suami, ada istri yang hebat. Tetapi juga sebaliknya, dibalik kesuksesan istri, ada suami yang luar biasa. Pasangan hebat ini dimiliki oleh banyak perempuan hebat lainnya di dunia aktivisme, akademik dan birokrasi, dan lainnya.
Epilog
Apa yang diajarkan Yusdarita melalui perjuangannya adalah pentingnya memahami konteks adat/budaya, kemampuan untuk mengkontektualisasikan pengetahuan dan pendekatan, berani dan kreatif mencobanya, berfokus pada tujuan dan penyelesaian masalah.
Bertahun-tahun Yusdarita menunjukkan bahwa adat tidaklah kaku dan baku. Adat berubah karena manusia yang menjaga dan menghidupkan adat berubah mengikuti waktu dan perubahan di luar diri mereka. Meski masyarakat Gayo adalah masyarakat patriarki murni, berbeda dengan masyarakat Aceh yang diimbangi dengan matrilokal, Yusdarita menunjukkan bahwa yang patriarki murni sekali pun membuka diri untuk selalu bernegosiasi dan mengubah diri untuk kebaikan perempuan dan anak.
Pendekatan yang kaku dan frontal sering menciptakan jalan buntu bahkan gunung batu yang terjal. Yusdarita tidak bekerja selama 1-2 tahun secara konsisten dan penuh kesabaran untuk membelokkan arus sungai patriarki tersebut. Dia bekerja bertahun-tahun tanpa jeda bersama temannya dari aktivis perempuan dan juga lelaki hingga mampu menciptakan tradisi baru, dalam kasus kompensasi, menciptakan kampungnya menjadi kampung aman, dan rumahnya menjadi rumah aman. Kontekstualisasi pengetahuan dan pemahaman yang dalam terhadap budaya dan manusia lokal membukanya jalan untuk mewujudkan cita-citanya memberikan rasa aman bagi perempuan korban tindak kekerasan.
Dia tidak berfokus pada proses dan metode yang diajarkan melalui training-training yang dia ikuti. Dia abaikan semua teori, kategori, dan pendekatan feminisme dan gender. Dia berfokus pada tujuan dan penyelesaian masalah yang menuntutnya kemudian untuk berpikir dan bekerja kreatif untuk mencapai tujuan-tujuan yang dia inginkan. Ketika banyak aktivis tidak menyukai bekerja sama dengan tokoh adat dan lembaga-lembaga adat yang dituduh patriarki, Yusdarita malah menjadi bagian struktur lembaga adat itu agar mampu membelokkan arus patriarki. Berada di pusat patriarki tidak membuatnya maskulin. Malah mewarnai patriarki dan maskulinitas lembaga adat dengan femininitasnya yang lembut, penyabar, dan penuh kasih sayang.
Semoga catatan ini mampu menjaganya hidup dan menjadi warisan darinya untuk kepentingan perempuan, anak dan segenap manusia.[]