Oleh: dr. Teuku Renaldi, MKM
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Tahukah kamu? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, membuat penderitanya lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Yang lebih menakutkan, jika tidak ditangani dengan baik, HIV bisa berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), di mana daya tahan tubuh melemah drastis dan sulit melawan infeksi.
Tapi jangan panik! HIV tidak menular lewat pelukan, berbagi makanan, atau bersentuhan. Penularannya terjadi melalui hubungan seksual tanpa pengaman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, serta dari ibu yang terinfeksi ke bayinya saat persalinan atau menyusui.
Kabar baiknya, meski belum ada obat yang bisa benar-benar menyembuhkan, pengobatan dengan terapi antiretroviral (ARV) bisa membantu penderita tetap sehat dan menjalani hidup normal. Jadi, ayo kita cegah sejak dini dengan menerapkan pola hidup sehat dan jangan lupa, dukungan kita terhadap mereka yang hidup dengan HIV sangat berarti.
Banda Aceh terkenal sebagai kota dengan budaya religius yang kuat, tapi siapa sangka kalau kasus HIV di sini terus meningkat? Masalah ini bukan hanya soal angka, tapi juga soal kesadaran masyarakat yang masih minim tentang bagaimana HIV menyebar dan bagaimana mencegahnya.
Banyak orang masih menganggap HIV sebagai penyakit yang jauh dari kehidupan mereka. Realitanya, virus ini bisa menginfeksi siapa saja tanpa pandang bulu. Kurangnya edukasi, stigma sosial yang kuat, serta rendahnya kesadaran untuk melakukan tes HIV menjadi tantangan besar. Banyak orang yang baru menyadari dirinya terinfeksi saat kondisinya sudah parah, karena takut atau malu untuk memeriksakan diri lebih awal.
Belum lagi, akses terhadap layanan kesehatan dan terapi antiretroviral (ARV) yang masih perlu diperluas agar lebih banyak orang bisa mendapatkan pengobatan sejak dini. Tanpa penanganan yang tepat, HIV bisa terus menyebar secara diam-diam di tengah masyarakat.
Banda Aceh dan Lonjakan Kasus HIV: Kenapa Kita Harus Peduli?
Beberapa waktu belakangan, Banda Aceh lagi ramai diperbincangkan gara-gara lonjakan kasus HIV/AIDS yang bikin banyak orang waspada. Kalau dulu kasus ini masih dianggap jauh dari kita, sekarang angka penderitanya terus bertambah, bahkan di kalangan anak muda! Dari data terbaru, tercatat ratusan kasus HIV/AIDS ditemukan di Banda Aceh, dan yang bikin kaget, banyak di antaranya masih berusia produktif, 19-30 tahun.
Dalam wawancara eksklusif bersama RRI pada Selasa (14/1/2025), Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Aceh, dr. Iman Murahman, Sp.KKLP, MKM, mengungkapkan bahwa kasus HIV di Aceh kini lebih banyak ditemukan pada kelompok usia muda, yakni rentang 11 hingga 30 tahun. Menurutnya, peningkatan kasus di kelompok usia tersebut menjadi perhatian serius, terutama terkait pola hidup berisiko yang dapat memicu penularan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Aceh, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, jumlah kasus HIV/AIDS di Aceh terus mengalami peningkatan. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2021 dengan 181 kasus, kemudian bertambah menjadi 277 kasus pada 2022, meningkat menjadi 309 kasus pada 2023, dan mencapai 348 kasus pada 2024.
Lebih lanjut, dr Iman mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 109.645 warga Aceh telah menjalani tes HIV. Dari jumlah tersebut, 348 orang dinyatakan positif terinfeksi. Kota Banda Aceh menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 752 kasus, diikuti oleh Aceh Utara dengan 184 kasus, Banda Aceh 179 kasus, dan Aceh Besar 156 kasus.
Jika ditinjau dari periode 2004 hingga 2024, total kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Aceh mencapai 1.735 orang. Sementara itu, jumlah pasien yang meninggal akibat HIV/AIDS selama periode tersebut hampir mencapai 500 orang.
“Jika kita tambahkan dengan data manual, jumlah kematian sebenarnya hampir mencapai 500. Ada juga pasien yang hilang dari pemantauan (lost to follow up), yang kemungkinan besar telah meninggal dunia,” ujar dr Iman.
Ia juga merinci bahwa Kota Banda Aceh mencatat jumlah kasus kematian tertinggi dengan 100 kasus, disusul oleh Langsa dengan 74 kasus, dan Aceh Utara dengan 40 kasus. Menurutnya, tingginya angka kasus di tiga wilayah ini disebabkan oleh adanya fasilitas layanan HIV yang telah tersedia sejak awal, seperti di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, Rumah Sakit Langsa, dan Rumah Sakit Cut Meutia Aceh Utara.
HIV itu bukan sekadar virus biasa. Begitu masuk ke tubuh, virus ini menyerang sistem kekebalan, bikin penderitanya gampang terkena penyakit lain. Kalau tidak terdeteksi dan diobati, bisa berkembang jadi AIDS, yang berarti daya tahan tubuh benar-benar melemah. Sayangnya, banyak orang yang nggak sadar kalau mereka sudah terinfeksi karena gejalanya sering tidak kelihatan di awal. Akibatnya, virus ini terus menyebar tanpa disadari.
Di Banda Aceh sendiri, mayoritas kasus HIV ditemukan pada kelompok laki-laki muda, terutama yang melakukan hubungan seks berisiko tanpa pengaman. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi dan kesadaran tentang pencegahan masih kurang. Bukan cuma soal gaya hidup, tapi juga soal stigma yang bikin orang takut buat periksa atau terbuka soal status kesehatannya.
Yang lebih miris, banyak penderita baru sadar saat kondisinya sudah parah. Padahal, HIV bukan akhir dari segalanya. Dengan terapi antiretroviral (ARV), penderita bisa tetap sehat dan menjalani hidup normal. Tapi syaratnya, mereka harus tahu lebih awal dan berani ambil langkah untuk berobat.
Jadi, ini saatnya kita semua buka mata. HIV itu nyata dan bisa menyerang siapa saja. Nggak peduli status sosial, latar belakang, atau gaya hidup-kalau tidak ada pencegahan, risikonya selalu ada. Edukasi tentang HIV bukan cuma buat mereka yang sudah terkena, tapi buat kita semua agar bisa saling melindungi. Jangan takut buat cari tahu, jangan ragu buat bertanya, dan yang paling penting, jangan ikut-ikutan menyebarkan stigma. Karena semakin kita paham, semakin besar peluang kita buat menekan angka kasus HIV di Banda Aceh.
Faktor Risiko HIV di Banda Aceh: Kok Bisa Menular?
HIV itu bukan penyakit yang tiba-tiba datang begitu aja, ada banyak faktor yang bikin seseorang lebih rentan terkena virus ini. Dan percaya atau tidak, di Banda Aceh sendiri, angka kasusnya makin naik gara-gara beberapa kebiasaan dan faktor risiko yang sering disepelekan. Nah, apa aja sih yang bikin seseorang bisa terkena HIV?
1. Seks Bebas Tanpa Pengaman
Jujur aja, ini faktor utama yang bikin kasus HIV meningkat di Banda Aceh. Banyak orang yang melakukan hubungan seks tanpa pakai kondom, padahal itu salah satu cara paling efektif buat mencegah penularan HIV. Apalagi kalau pasangannya berganti-ganti, resikonya semakin besar.
2. Penggunaan Jarum Suntik yang Nggak Steril
Biasanya ini terjadi di kalangan pengguna narkoba suntik. Mereka sering berbagi jarum suntik dengan orang lain, dan kalau salah satu dari mereka ada yang terinfeksi HIV, virusnya bisa langsung menular. Makanya, selain bahaya narkobanya sendiri, cara penggunaannya juga jadi pemicu penyebaran virus.
3. Ibu Hamil yang Terinfeksi HIV
Nggak semua orang sadar kalau HIV juga bisa menular dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Kalau seorang ibu hamil positif HIV dan tidak menjalani pengobatan, virus ini bisa menular saat persalinan atau menyusui. Itulah terterkenapa penting banget buat ibu hamil cek kesehatan sejak dini.
4. Kurangnya Kesadaran dan Tes HIV
Banyak orang di Banda Aceh yang tidak sadar kalau mereka punya resiko terkena HIV. Malah, banyak juga yang takut atau malu buat tes HIV karena stigma negatif di masyarakat. Padahal, semakin cepat tahu status kesehatan, semakin cepat juga bisa ditangani.
5. Kurangnya Edukasi Soal HIV
Masih banyak yang mikir kalau HIV itu cuma bisa terterkena kalau kita bergaul dengan orang yang terinfeksi. Padahal, HIV tidak menular lewat sentuhan, berbagi makanan, atau duduk bareng di tempat umum. Karena kurangnya pemahaman ini, banyak orang jadi tidak peduli buat cari tahu bagaimana cara pencegahannya.
6. Stigma dan Rasa Takut yang Berlebihan
Karena takut dikucilkan, banyak orang yang sudah terkena HIV akhirnya memilih diam dan tidak mau periksa atau berobat. Akibatnya, mereka tidak sengaja menularkan virus ini ke orang lain. Kalau stigma ini bisa dikurangi, pasti lebih banyak orang yang berani tes dan menjalan pengobatan.
7. Hubungan Seks Sejenis
Hubungan seks sejenis, baik antara pria dengan pria maupun wanita dengan wanita, juga menjadi faktor risiko penularan HIV, terutama jika dilakukan tanpa pengaman. Pada hubungan seks antara pria, seks anal memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan seks vaginal karena lapisan rektum lebih tipis dan rentan mengalami luka kecil yang bisa menjadi jalur masuk virus. Jika dilakukan tanpa kondom dan pelumas berbasis air, kemungkinan penularan HIV meningkat drastis. Sementara itu, pada hubungan sesama wanita, meskipun resikonya lebih rendah, tetap ada kemungkinan infeksi melalui pertukaran cairan tubuh, seperti darah menstruasi atau penggunaan alat bantu seks yang tidak steril.
Kurangnya pemahaman dan minimnya edukasi terkait kesehatan seksual dalam komunitas ini juga meningkatkan risiko penularan. Selain itu, stigma sosial sering kali membuat individu enggan untuk mencari informasi, melakukan tes HIV, atau mendapatkan layanan kesehatan yang diperlukan.
Jadi, HIV itu bukan mitos dan bukan penyakit yang cuma bisa terkena “orang tertentu” saja. Siapa pun bisa terinfeksi kalau tidak paham cara pencegahannya.
Kalau Sudah Begini, Bagaimana Cara Menanganinya?
Kasus selingkuh
Pada 18 April 2021, warga menggerebek sepasang pria dan wanita yang diduga sering berbuat asusila di sebuah kos setelah mencurigai gerak-gerik mereka. Setelah diamankan, keduanya mengakui telah berzina beberapa kali sebelum sahur, meskipun masing-masing sudah memiliki pasangan sah.
Penanganan kasus selingkuh
Untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan, perlu dilakukan peningkatan kesadaran moral dan nilai-nilai keagamaan melalui edukasi yang lebih intensif di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pengawasan di rumah kos dan tempat tinggal sewa harus diperketat dengan aturan yang jelas mengenai tamu dan penghuni agar tidak disalahgunakan untuk tindakan asusila. Selain itu, peran tokoh masyarakat dan aparat penegak hukum sangat penting dalam mengawasi serta memberikan bimbingan kepada warga agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Sosialisasi mengenai dampak negatif perselingkuhan, baik secara sosial maupun hukum, juga perlu diperluas melalui ceramah keagamaan, penyuluhan, serta media sosial agar masyarakat lebih memahami konsekuensi dari perbuatan tersebut.
Sebagai langkah pencegahan dari sisi kesehatan, pasangan yang terlibat dalam kasus seperti ini sebaiknya diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, termasuk tes HIV dan penyakit menular seksual lainnya, guna mencegah penyebaran infeksi yang lebih luas. Layanan konseling juga perlu disediakan bagi mereka yang terlibat agar dapat memahami risiko kesehatan dari perilaku berisiko tersebut. Selain itu, program rehabilitasi sosial dan pembinaan bagi mereka yang terlibat dalam hubungan gelap dapat diterapkan agar mereka mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali menjalani kehidupan yang lebih baik. Dengan adanya kerja sama antara pemerintah, tokoh agama, tenaga medis, dan masyarakat dalam menjaga norma serta kesehatan, diharapkan kejadian serupa dapat diminimalkan di masa mendatang.
Pasangan LGBT 1
Pada 7 November 2024, warga menggerebek dua pria di sebuah indekos setelah mendapati mereka dalam keadaan tanpa busana. Kasus ini diproses di Mahkamah Syariah, di mana keduanya didakwa melanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, dengan sidang lanjutan dijadwalkan pada 3 Februari 2025.
Kasus LGBT 2
Pada 13 November 2020, warga menggerebek dua pria di sebuah rumah kos setelah mencurigai aktivitas salah satu penghuni. Keduanya diamankan oleh Wilayatul Hisbah dan didakwa melanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, dengan ancaman hukuman cambuk atau denda emas.
Penanganan LGBT
Untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan, diperlukan peningkatan pengawasan di lingkungan tempat tinggal, khususnya di rumah kos, dengan aturan yang lebih ketat mengenai tamu dan aktivitas penghuni. Edukasi mengenai norma sosial dan hukum yang berlaku juga harus diperkuat melalui sosialisasi oleh tokoh agama, aparat, serta masyarakat, agar kesadaran terhadap konsekuensi hukum dan sosial semakin meningkat. Selain itu, pendekatan berbasis pembinaan dan rehabilitasi perlu diterapkan bagi pelaku agar mereka mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang nilai moral dan agama.
Dari sisi kesehatan, mereka yang terlibat dalam kasus seperti ini sebaiknya diwajibkan menjalani pemeriksaan medis, termasuk tes HIV dan penyakit menular seksual lainnya, guna mencegah penyebaran infeksi di masyarakat. Layanan konseling dan pendampingan psikologis juga penting untuk membantu mereka memahami risiko serta dampak dari perilaku berisiko. Dengan kombinasi antara penegakan hukum, pembinaan sosial, serta pencegahan kesehatan, diharapkan kasus serupa dapat diminimalkan dan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga norma dan kesehatan diri.
Penggunaan Narkoba Suntik dan Jenis Narkoba Lainnya
Untuk mengurangi penggunaan narkoba suntik dan jenis lainnya, kita butuh pendekatan yang lebih luas, tidak cuma soal hukuman, tapi juga pencegahan, rehabilitasi, dan dukungan kesehatan. Edukasi jadi kunci utama agar masyarakat, terutama anak muda, paham betul tentang bahaya narkoba. Kampanye harus lebih gencar di sekolah, tempat kerja, dan media sosial, agar mereka tahu risikonya sejak dini. Selain itu, peran keluarga juga penting banget. Orang tua harus lebih dekat sama anak-anaknya, memberikan perhatian dan menciptakan lingkungan yang nyaman supaya mereka tidak tergoda untuk mencoba narkoba.
Dari sisi kesehatan, program pencegahan bisa dilakukan dengan menyediakan layanan jarum suntik bersih buat mereka yang belum bisa berhenti, supaya risiko penularan penyakit seperti HIV dan Hepatitis C bisa ditekan. Tapi tentu saja, tujuan akhirnya adalah membantu mereka berhenti sepenuhnya. Ada juga terapi substitusi opiat seperti metadon atau buprenorfin, yang bisa bantu pecandu heroin atau narkoba suntik untuk beralih ke metode yang lebih aman sebelum benar-benar lepas dari ketergantungan. Layanan kesehatan mental juga harus diperkuat, karena banyak pengguna narkoba yang awalnya memakai karena tekanan mental atau gangguan psikologis yang tidak ditangani dengan baik.
Selain itu, program rehabilitasi harus lebih mudah diakses dan gratis, biar mereka yang mau berhenti bisa mendapat bantuan yang layak. Setelah sembuh, mereka juga butuh dukungan untuk kembali ke masyarakat. Makanya, pelatihan kerja dan program pemberdayaan harus ada, supaya mereka bisa punya kehidupan baru yang lebih baik dan tidak kembali lagi ke narkoba. Masyarakat juga harus lebih terbuka dan tidak mengucilkan mantan pecandu, karena dukungan sosial punya peran besar dalam proses pemulihan mereka.
Dari sisi hukum, fokus utama harus pada bandar dan pengedar besar, bukan cuma pengguna kecil. Polisi dan aparat harus memperketat pengawasan di perbatasan dan jalur penyelundupan biar narkoba tidak gampang masuk ke Indonesia. Tapi di sisi lain, pendekatan ke pengguna juga harus lebih manusiawi. Kerja sama antara aparat penegak hukum dan tenaga kesehatan harus diperkuat, supaya penanganan pengguna narkoba lebih berfokus pada rehabilitasi daripada sekadar hukuman.
Selain itu, gaya hidup sehat juga perlu diperkenalkan lebih luas sebagai langkah preventif. Olahraga, pola makan sehat, serta kegiatan positif seperti seni dan komunitas bisa jadi alternatif buat anak muda supaya mereka tidak gampang terjerumus ke dalam narkoba. Kalau semua pihak-pemerintah, masyarakat, keluarga, dan tenaga kesehatan-bekerja sama, angka penyalahgunaan narkoba bisa ditekan dan kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bebas narkoba. []