SAGOETV | KUALA SIMPANG – Di sebuah rumah sederhana di Dusun Gembira, Desa Ingin Jaya, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, seorang bayi mungil bernama Kanzia Afsheen tengah berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang rapuh. Di usianya yang baru 10 bulan, ia sudah harus menghadapi takdir yang begitu berat. Tubuhnya menguning, perutnya kian membesar, dan suara tangisnya sering terdengar lirih di tengah malam, seolah meminta belas kasih dari semesta.
Kanzia adalah putri kedua dari pasangan Hendra Saputra dan Yeni Oktavia, keluarga sederhana yang bertahan dengan penuh cinta. Dari hari ke hari, mereka melihat perubahan pada anak mereka. Sejak lahir, kulit Kanzia telah menguning. Mereka mengira itu hanya kondisi biasa, sesuatu yang bisa diatasi dengan jemuran matahari pagi dan kasih sayang. Namun, waktu berbicara lain. Usia lima bulan, perutnya membesar, kulitnya semakin pekat, dan ia semakin rewel. Ada sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang tak bisa mereka pahami sendiri.
“Kami pikir ini hanya kuning biasa, jadi kami coba menjemurnya di pagi hari. Tapi sampai usia lima bulan, kondisinya makin parah. Perutnya mulai membesar, badannya semakin kurus, dan ia semakin rewel,” tutur Yeni Oktavia, sang ibu, dengan suara lirih yang tertahan pilu.
Kanzia dibawa ke RSUD Aceh Tamiang sekitar bulan Januari 2025, dan dokter mengonfirmasi sesuatu yang berat dilaminya, yaitu kista hati. ibarat kilatan petir di langit mendung, begitu mengguncang hati kedua orang tuanya. meskipun, kenyataan itu menampar mereka tanpa ampun. Harapan itu bertumpu pada pengobatan lebih lanjut merujuk ke Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh.
Kondisi Kanzia yang kian memburuk membuat para tenaga medis bergerak cepat. Dokter spesialis anak, dr. Idris, yang menangani Kanzia, menjelaskan bahwa ketika pertama kali masuk UGD, bayi mungil itu berada dalam kondisi sangat lemah.
“Pasien mengalami demam tinggi, seluruh tubuhnya kuning, dan perutnya membesar. Kami segera melakukan tindakan darurat: infus, pemberian antibiotik, hingga transfusi darah. Pemeriksaan USG akhirnya mengungkap sesuatu yang menyedihkan—terdapat kista atau cairan berlebih di hati pasien,” jelasnya.
Namun, perjalanannya belum selesai. Kanzia harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap. Di sinilah muncul rintangan berikutnya: biaya. Untuk keluarga kecil ini, pengobatan medis bukan hanya soal perawatan, tapi juga tentang perjuangan melawan keterbatasan ekonomi.
Di tengah kesulitan, harapan masih menyala. Warga sekitar, pemerintah desa, dan para dermawan mulai tergerak membantu. Kepala Desa Ingin Jaya, Dedi, mengungkapkan rasa prihatinnya atas kondisi Kanzia. “Kami berharap ada lebih banyak tangan-tangan baik yang bersedia membantu keluarga ini agar Kanzia bisa mendapatkan pengobatan terbaik dan kembali sehat seperti anak-anak lainnya,” ujarnya.
Pihak Dinas Kesehatan juga memastikan bahwa sejak lahir, Kanzia telah dalam pemantauan tenaga medis desa. “Ibu dan bayi ini selalu dalam kontak dengan bidan desa serta puskesmas. Kami akan terus memantau dan memberikan dukungan agar pengobatannya berjalan maksimal,” kata dr. Tsuaibah, Kabid Kesehatan Masyarakat.
Kini, keluarga Kanzia hanya bisa menggantungkan doa dan harapan. Mereka membuka donasi untuk membantu biaya pengobatan putri kecil mereka. Bagi siapa pun yang tergerak untuk membantu, dapat menyalurkan bantuan melalui rekening Bank Syariah Indonesia (BSI) 7299323999 atas nama Yeni Oktavia.
Di sudut kamar yang sederhana, Kanzia masih terbaring lemah. Namun, di balik tubuh mungil yang ringkih itu, ada harapan besar. Ada keteguhan yang tak tergoyahkan. Senyumnya yang polos menjadi simbol dari semangat hidup yang tak boleh padam. Di tangan kita, harapan itu bisa jadi nyata. Aamin. Semoga.! [Nurmasyitah]