Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Sepuluh tahun yang lalu, saya menyempatkan diri ke suatu kantor di sudut kampus Universitas Syiah Kuala, Darussalam. Saat itu, kantor tersebut sedang menunggu seorang Konsul dari Amerika Serikat. Tanpa saya sadari, yang menunggu kantor adalah seorang sarjana yang sangat bersahaja, yaitu Profesor Bahrein T. Sugihen.
Adapun yang mengajak saya adalah Dr. Saleh Sjafei, seorang sosiolog yang menjadi atasan saya pada salah satu lembaga yang didanai oleh UNDP. Ketika itu, orang tua tersebut bertanya siapa saya. Saya sebutkan nama saya. Lantas ditanya lagi, dimana saya studi. Saya jawab di Australia, sedang menyelesaikan program doktoral. Dia kemudian memancing saya dengan menanyakan buku apa yang saya baca. Dia menyebutkan beberapa sarjana Barat, mulai dari Weber hingga ke Marx. Tetap saya sembunyikan apa yang saya baca, mengingat saya memang sedang tidak memiliki kepercayaan terhadap ilmu-ilmu sosial dari Barat.
Dia menyuruh Pak Saleh untuk menjadwalkan agenda minum kopi dengan saya. Saya pun setuju, tanpa bertanya apa gerangan dibalik ajakan minum kopi. Ketika saya balik ke kantor, Pak Saleh meminjamkan hampir dua puluh buku tentang teori-teori sosiologi dalam bahasa Inggris.
Hampir semua buku tersebut adalah hasil foto kopi. Tampaknya, buku-buku tersebut berasal dari saat Pak Saleh ketika menyelesaikan S-3 di Universitas Indonesia. Ketika acara minum kopi di suatu restoran di Seutui, baru kemudian saya membawa buku apa yang saya baca selama ini. Saya langsung menampakkan di depan Pak Bahrein buku yang saya baca saat itu, yaitu A Secular Age, karya Charles Taylor, seorang filosof dari Kanada.
Pak Bahrein hanya tersenyum. Setelah itu, mulailah diskusi tentang berbagai masalah sosial di level lokal, nasional, dan internasional. Pak Saleh kemudian kerap mengundang saya makan malam bersama Pak Bahrein di tempat yang sama. Tanpa saya sadari, diskusi ini menjadi sesi kuliah bagi saya, karena pertanyaan demi pertanyaan dari Pak Bahrein dan Pak Saleh saya jawab berdasarkan dari hasil bacaan saya dari buku-buku sosiologi dan antropologi.
Sebagai peneliti sosiologi dan antropologi, berjumpa dengan Pak Bahrein dan Pak Saleh menyebabkan saya punya kawan untuk berdiskusi. Tahun 2007 adalah tahun booming NGO di Aceh. seolah-olah Banda Aceh menjadi ajang para aktivis NGO, baik dari dalam maupun luar negeri untuk membantu pembangunan Aceh paska-Tsunami tahun 2004.
Melalui Pak Adli Abdullah, saya baru tahu bahwa hampir semua murid Pak Bahrein ada di lingkungan pemerintahan dan NGO di Banda Aceh. Siapapun tokoh atau nama yang muncul di Aceh hampir pernah berguru dengan Pak Bahrein. Beberapa kali saya sempat singgah di kantor Pak Bahrein. Walaupun hanya untuk say hello.
Beberapa kali ulang tahun pernah saya hadiri. Kak Rosnaini tidak pernah absen di dalam menemani Pak Bahrein. Makan dan minum selalu tersedia alakadarnya, setiap saya bertandang ke kantor Pak Bahrein. Dia menjadi teman diskusi bagi siapapun yang datang ke kantornya. Siapapun mampu beliau akrabkan diri, mulai dari mahasiswa hingga diplomat. Pak Saleh dan Kak Ros selalu berada di situ untuk menemani saya saat bersilaturrahmi dengan Pak Bahrein.
Singkat kata, pertemuan demi pertemuan dengan Pak Bahrein telah mencerahkan saya di dalam memahami berbagai teori-teori di dalam ilmu sosial. Dia tidak mengajari saya tentang teori, tetapi dia mengajak saya untuk memahami fenomena sosial dan dengan penuh sabar menanti hingga kalimat terakhir saya.
Dua tahun berikutnya saya diminta untuk mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik atas budi baik Pak Bahrein dan Pak Saleh. Waktu itu, fakultas ini masih baru. Saya pun mengajar di fakultas tersebut. Selain itu, saya juga mengajar di Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, sebelum resmi menjadi PNS pada tahun 2009.
Namun, agenda diskusi dengan Pak Bahrein tetap diteruskan. Kemudian saya dipertemukan dengan murid-murid Pak Bahrein. Salah satu murid Pak Bahrein yang saya kenal adalah Pak Yarmen Dinamika. Kemudian ada Pak Bhakti yang selalu mengajak saya berdiskusi tentang ha-hal yang mendasar di dalam pemikiran filsafat ilmu. Pak Saleh sudah mulai mengurangi pertemuan dengan saya perlahan-lahan, setelah menjadi Ketua Forum Peneliti Aceh.
Begitulah cerita singkat perjumpaan saya dengan Pak Bahrein. Hingga tiba-tiba Kak Ros menelpon saya untuk memberitahukan ulang tahun Pak Bahrein yang ke-82 tahun. Suatu angka yang begitu bermakna bagi usia seorang manusia.
Ketika menulis impresi personal ini untuk Pak Bahrein, saya teringat tiga suku kata: intelektual, Darussalam, kaderisasi.
Tiga kata tersebut menjadi penjelasan singkat mengenai sosok Pak Bahrein. Paling tidak, ada tiga sosok pula yang paling sering memberikan semangat kepada saya yaitu selain Pak Bahrein adalah Pak Yusny Saby dan Pak Alyasa’. Tiga orang tersebut dalam pandangan saya juga dapat dilekatkan tiga suku kata tersebut.
Dalam hal ini, saya akan lebih fokus pada sosok Pak Bahrein. Pengalaman intelektual Pak Bahrein tidak dapat diragukan. Pengetahuan tentang sosiologi, khususnya Sosiologi Pedesaan, belum ada yang menggantikan dari sosok Pak Bahrein. Keteguhannya pada dunia intelektual telah mampu menyinari Kota Pelajar Darussalam selama hampir setengah abad lebih.
Pak Yusny selalu mengingatkan saya bahwa di Darussalam tidak perlu mencari meja dan kursi (baca: jabatan). Itulah pesan Pak Yusny kepada saya setiap bertemu dengannya. Pak Yusny hendak mengatakan bahwa pekerjaan intelektual itu bukan pekerjaan sambilan (part time). Tampaknya di Darussalam tidak sedikit intelekual yang menjadikan pekerjaan akademik mereka sebagai pekerjaan sampingan.
Agaknya, contoh sosok yang tidak mencari “meja dan kursi” ada pada Pak Bahrein. Keteguhannya di dalam melakukan proses kaderisasi pada dunia intelektual di Darussalam telah dibuktikannya sejak kedatannya ke Banda Aceh, ketika kampus Unsyiah baru berdiri. Pak Bahrein mulai mengabdi di Unsyiah sejak 1 Februari 1963. Dalam salah satu tulisannya dia menyebutkan diri sebagai “Guru Besar Sosiologi yang marginal.”
Disinilah dapat ditemukan bagaimana Pak Bahrein melakukan proses kaderisasi yang tidak mengenal kata lelah. Beliau tetap berada di sudut kampus Darussalam, yang dekat tidak hanya dengan Unsyiah, tetapi juga dengan UIN Ar-Raniry.
Kantor Pak Bahrein menjadi simbol saksi sejarah bagaimana tradisi intelektual dibangun di Darussalam didalam menghasilkan ilmuwan dan tekhnokrat di provinsi Aceh. Inilah dampak dari kemampuan Pak Bahrein yang tidak hanya mampu menjadi pendidik juga mampu membina kader-kader nya sejak mereka menjadi mahasiswa hingga menjadi seorang tokoh di pentas nasional.
Dewasa ini, keteguhan seorang ilmuwan seperti ini memang agak sulit ditemukan. Namun, setiap masa akan terus muncul seorang tokoh yang akan mampu mengasah dan mengasuh generasi baru. Mereka ibarat penyuluh di dalam kegelapan yang hidup penuh dengan kesederhanaan dan kesahajaan.
Ketika saya masih mahasiswa S-1, saya beruntung mendapatkan guru yang membimbing spirit intelektual saya yaitu Prof. Akh. Minhaji. Pertemuan saya dengan Pak Minhaji tepat pada tahun 1997 di Yogyakarta. Pada tahun 1999 saya kemudian bertemu dengan Prof. Azyumardi Azra di Jakarta. Tahun 2004 saya berjumpa dengan seorang intelektual dari Australia yaitu Dr. Patrick Jory di Thailand. Tahun 2006 saya mulai berguru pada Prof. Joel S. Kahn di Australia.
Tahun 2007 saya diperjumpakan dengan Pak Bahrein melalui jasa baik Pak Saleh di Banda Aceh. Mereka hadir di dalam pengembaraan intelektual saya. Pada tahun 2018 saya berusia 40 tahun. Tanpa disadari, nama-nama tersebut telah memberikan pengaruh yang amat signifikan bagi saya di dalam menekuni dunia akademik. Bagi saya hubungan guru dan murid sangatlah penting, walaupun diperjumpakan sesaat di dalam kehidupan ini.
Dari nama-nama di atas saya kemudian belajar bagaimana menjadi seorang akademisi. Dari Pak Bahrein saya belajar bagaimana cara menghormati perbedaan pendapat di dalam memahami fenomena sosial. Inilah salah satu cara menjadi sosiolog ketika mampu memahami gejala sosial dan budaya dari berbagai perspektif.
Untuk itu, kedewasaan dan kematangan berpikir menjadi hal yang mesti dimiliki oleh intelektual tersebut. Setelah Tsunami ada satu gejala yang paling menggembirakan di Darussalam yakni booming peneliti lokal dalam bidang sosiologi dan antropologi. Ada yang menjadi seorang sosiolog atau antropolog tidak hanya karena training intelektual, tetapi juga karena pengalaman penelitian di Aceh.
Gejala ini juga ditandai dengan pembukaan fakultas yang membidani ilmu sosial dan humaniora di Darussalam. Dalam kondisi seperti ini, sosok Pak Bahrein sangat penting dalam berperan sebagai seorang Bapak bagi anak-anak muda yang ingin menekuni ilmu sosial. Karena itu, berbagai cara pandang di dalam memahami teks sosial sudah mulai bermunculan di Darussalam.
Generasi baru ilmuwan sosial di Darussalam masih mencari bentuk di dalam memperkokoh pemikiran dan paradigma berpikir. Geneologi reproduksi ilmuwan sosial di Darussalam memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Pak Bahrein. Adapun murid beliau yang sangat setia adalah Pak Saleh.
Saat ini, beberapa peneliti muda merupakan binaan Pak Saleh melalui pola “minum kopi” di sudut-sudut warung kopi di Banda Aceh. Hal ini persis yang dilakukan oleh Pak Bahrein dan Pak Saleh ketika berjumpa dengan saya pada tahun 2007. Filosofi “minum kopi” menjadi senjata ampuh untuk memahami kegelisahan akademik di Darussalam.
Jika dalam forum-forum resmi mereka tidak mampu meluahkan pemikiran mereka, saat minum kopi Pak Bahren dan Pak Saleh menjadi pendengar setia bagi calon ilmuwan tersebut. Pola ini menjadi begitu berbekas bagi seorang peneliti, ketika ada yang menyimak pemahaman mereka terhadap hasil bacaan dari teks dan fenomena sosial.
Upaya di atas merupakan bagian dari rekayasa sosial di dalam memahami sejarah ide-ide yang ada di provinsi Aceh. Tahun 1970-an, rekayasa yang dibangun melalui pendirian Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial di Darussalam. Saat itu tidak ada media sosial, whatsapp, Facebook, dan Istagram. Saat ini, diskusi intens muncul di dalam group-group media sosial. Masing-masing kelompok intelektual membuat group di whatsapp. Di situ mereka bebas berekspresi, tanpa takut untuk dikecam karena berbeda pendapat. Inilah dampak teknologi di dalam rekayasa sosial pada masa kini.
Kehadiran para ilmuwan sosial memang diperlukan di dalam proses pembangunan sosial. Keterbukaan di dalam berpikir dan membangun aliansi di antara sesama ilmuwan adalah hal yang paling mutlak untuk dilakukan. Tanpa itu, rekayasa sosial akan sulit dilakukan di dalam suatu masyarakat. Kehadiran generasi Pak Bahrein yang menggawangi jiwa intelektual Darussalam sejak tahun 1960-an hingga menjelang 2020-an ini, disadari atau tidak, merupakan bagian dari rekayasa sosial untuk Aceh secara keseluruhan.
Dibalik suatu kondisi yang ada terdapat beberapa bingkai keilmuan yang membentuk citra dan karakter masyarakat, yaitu filsafat, antropologi, sosiologi, dan sejarah. Empat bidang keilmuan tersebut yang jiwa dan akal terhada kekuatan intelektual para pelaku-pelaku di dalam suatu masyarakat. Para ilmuwan bertungkus lumus mencari dan menguraikan konsep dan realita sosial, supaya menghasilkan suatu pemikiran yang kemudian membentuk perilaku masyarakat setempat.
Saya menduga, sarjana sekaliber Pak Bahrein yang menempuh studi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Barat memiliki basis kekuatan intelektual tersebut. Karena itu, ketika saya menemukan beberapa pemikir baik di Timur maupun di Barat, selalu memiliki kekuatan di dalam empat bidang keilmuan tersebut dalam satu tarikan nafas. Sehingga mereka memiliki kekuatan untuk berada dibalik semua konsep dan rekayasa pembangunan yang dijalankan oleh suatu bangsa. Murid-murid Pak Bahrein sejak tahun 1970-an hingga sekarang, menurut dugaan saya, sudah pasti mendapatkan serpihan-serpihan nasihat Pak Bahrein dari empat bidang ilmu tersebut.
Jejaring ilmu antara murid dan guru adalah suatu yang penting di dalam tradisi keilmuan. Guru yang baik adalah guru yang mampu mengawal akal dan jiwa muridnya, sehingga sang murid mengenali dirinya sendiri, sesuatu dengan kapasitas intelektual yang hendak didalaminya. Adapun murid yang baik adalah yang mampu masuk ke dalam jiwa murid untuk mengambil kebijaksanaan (wisdom) sebagai mata pelajaran inti bagi kehidupannya di dalam masyarakat.
Karena itu, hubungan guru dan murid merupakan hubungan jiwa (soul). Hubungan ini tidak dapat diukur dengan materi. Karena itu, hubungan ini bersifat abadi. Beberapa sarjana kemudian membawa spirit dari guru mereka di dalam menghasilkan karya-karya intelektual. Dalam tradisi pendidikan dalam Islam hubungan ini merupakan hubungan yang bersifat ruhani atau batini.
Selama ini, murid Pak Bahrein yang tersebar di berbagai penjuru tentu saja ada yang masih ingat atau sudah lupa dengan ilmu yang Pak Bahrein sampaikan, namun sosok Pak Bahrein selalu muncul di dalam memori mereka, kendati sang murid memiliki banyak guru di dalam tradisi intelektual mereka. Inilah yang disebut dengan hubungan jiwa yang merasuki memori manusia.
Akhirnya, saya mendoakan Pak Bahrein tetap menjadi sosok guru bagi siapapun. Hubungan saya dengan Pak Bahrein baru berusia 10 tahun. Saya tidak pernah duduk di dalam kelas menyimak kuliahnya. Kami hanya bertemu sesaat saja dalam satu dekade terakhir.
Tulisan ini merupakan kesan saya sebagai murid, sahabat diskusi, dan sekaligus sebagai seorang anak muda yang masih perlu akan nasihat-nasihat orang tua.
Kendati bukan sebagai murid di kampus Unsyiah atau pun anak kandung, saya tetap menganggap Pak Bahrein sebagai seorang guru yang hadir di dalam perjalanan intelektual saya.
Kiprah saya di Aceh baru 10 tahun saja. Awal kiprah saya dipertemukan dengan Pak Bahrein. Dalam 10 tahun terakhir nasihat-nasihat Pak Bahrein selalu mengitari sebagai sebagai musafir ilmu. []