SAGOETV | BANDA ACEH – Kabar baik datang dari ujung barat Sumatra: empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil akhirnya dinyatakan sah sebagai bagian dari wilayah Aceh. Tapi, seperti kata pepatah: kabar baik tak selalu berarti selesai. Justru sebaliknya, ini mungkin adalah awal dari pertanyaan yang lebih penting — Setelah ini, kita mau ke mana?
Pertanyaan itu menggema dalam sebuah forum reflektif bertajuk “Aceh, Sengketa Wilayah, dan Krisis Kepemimpinan Politik”, yang digelar oleh Forum SAGOETV pada Rabu, 25 Juni 2025. Dipandu langsung oleh CEO SAGOETV, Dr. Mukhlisuddin Ilyas, M.Pd, diskusi ini mengumpulkan sembilan tokoh dari lintas latar: politikus, akademisi, jurnalis, ekonom, dan juga eks juru runding GAM.
Sejak awal, diskusi ini tak basa-basi. Tema yang diangkat bukan hanya hangat, tapi menyentuh nadi persoalan Aceh hari ini: tentang marwah, kepemimpinan, dan masa depan.
Jurnalis senior Adi Warsidi, misalnya, langsung menyorot media yang terlalu cepat memadamkan isu dengan dalih “tak ada potensi konflik.” Ia menegaskan, “Padahal bara dalam sekam itu masih ada. Bisa jadi generasi muda nanti akan menyalahkan kita karena gagal menjaga marwah dan keadilan bagi Aceh.”
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil, mengaku pernah mendapat tekanan politik saat mengangkat isu ini di Senayan. Ia mengingatkan bahwa meski konteksnya dalam satu negara, jika dikelola salah, sengketa empat pulau bisa bernasib seperti Malvinas. “Kuncinya niat baik semua pihak. Kalau tidak, ini bisa jadi api dalam sekam yang lain.”
Dr. Amrizal J Prang, mantan biro hukum Setda Aceh, menyorot masalah struktural: Pemerintah Pusat dianggap terlalu sering mengambil keputusan strategis tanpa berkonsultasi dengan otoritas Aceh, meskipun UUPA jelas-jelas mengamanatkan mekanisme konsultatif. Pembentukan wilayah baru, revisi aturan sektoral, bahkan kebijakan transfer keuangan, semua kerap dilakukan secara sepihak.
Isu revisi UUPA pun ikut dibahas. Forum ini mewanti-wanti agar revisi tak dijadikan sekadar alat transaksional politik. “Jangan sampai UUPA hanya jadi instrumen tawar-menawar elite, tapi tak menyentuh kebutuhan rakyat Aceh yang sesungguhnya.”
Sosiolog UIN Ar-Raniry, Sahlan Hanafiah, mengingatkan bahwa konflik tak selalu muncul karena peta batas. Ketimpangan hukum, rasa kehilangan arah kepemimpinan, dan minimnya harapan dari elite lokal bisa menjadi bom waktu baru. “Kalau pusat terus menarik kewenangan tanpa empati, resistensi bisa tumbuh lagi dengan wajah berbeda.”
Salah satu suara yang menyejukkan datang dari Munawar Liza Zainal, mantan juru runding GAM di Helsinki. Ia mengingatkan agar masyarakat Aceh tidak mudah terjebak dalam narasi saling curiga. “Jangan gampang bilang orang boneka atau pengkhianat. Bahkan aparat TNI/Polri asal Aceh pun sebenarnya punya simpati besar terhadap nasib daerah ini, hanya saja mereka dibatasi oleh aturan dinas.”
Raihal Fajri dari Katahati Institut mengangkat soal branding. Aceh, menurutnya, punya potensi menjadi magnet seperti Bali. “Tapi seringkali Aceh tersudut hanya karena satu-dua kasus yang viral. Padahal secara umum, Aceh lebih damai.”
Forum ini juga menyoroti pentingnya peran komunitas sipil dan netizen. Di tengah keterbatasan aktor formal, kontrol publik dan narasi positif harus tetap hidup. Komunitas seperti PES, sebut salah satu pembicara, perlu diperkuat sebagai penjaga nalar publik dan kebijakan strategis.
Sebagai penutup, forum merumuskan empat rekomendasi penting:
Aceh butuh kesatuan sikap, bukan saling sikut menghadapi kebijakan pusat.
Revisi UUPA jangan dijadikan alat politik transaksional.
Keadilan hukum dan kekhususan Aceh harus ditegakkan sesuai amanat UUPA.
Perwakilan Aceh di pusat harus lebih vokal dan berani menjaga kepentingan rakyat, bukan hanya menjaga citra partai.
Empat pulau itu mungkin sudah “kembali” ke Aceh. Tapi pertanyaan yang lebih besar masih menunggu jawaban: Apakah Aceh siap menjaga rumahnya sendiri?
simak berikut link lengkapnya :