Banda Aceh: Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia (PYM) Teungku Malik Mahmud al Haythar mendukung sepenuhnya penetapan hutan adat mukim di Provinsi Aceh. Hal tersebut mengemuka saat menerima kunjungan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK dan Tim Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar, Selasa (04/07/2023).
Menurut WN, hutan Aceh masih paling baik di Sumatera. Tantangannya, ada izin yang diberikan kepada sawit, tambang tidak terbatas sehingga masih sering berdampak terjadinya bencana alam. “Lisensi pada sawit, tambang tak ada batasnya, akibatnya (terjadi) bencana alam, yang kita beri untung, tetapi yang di sana rugi”, ujar Wali yang turut didampingi Staf Khususnya, Dr. Rofiq dan Dr Rustam Effendi. Oleh karenanya, perlu kita selamatkan hutan Aceh untuk anak cucu kita ke depan. “Kita perjuangkan hutan adat ini, apa yang dapat kita selamatkan, kita selamatkan,” harap Malik Mahmud. Akhir tahun lalu, setelah menerima hasil kajian dari tim peneliti PRHIA USK, Wali Nanggroe Aceh secara resmi mendukung sepenuhnya usulan penetapan hutan adat mukim di Aceh melalui surat Nomor 291/206 tertanggal 21 Desember 2022 yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.
Sebelumnya, Muhammad Said, Direktur PKTHA mengatakan kedatangannya dan tim ke Meuligoe Wali untuk mendapatkan informasi komprehensif tentang kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum sebagai keunikan di setiap daerah dalam pengelolaan hutan adat, termasuk di Aceh. “Kedatangan kami kemari agar dapat memahami kesatuan masyarakat hukum adat di Aceh (apakah) di Gampong, Mukim atau Pawang Glee sehingga saat ditetapkan wilayah hutan adat nantinya tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari”, ungkap Muhammad Said yang duduk disisi sebelah kiri PYM WN. “Saat ini kami juga akan menyiapkan tim terpadu untuk menindaklanjuti penetapan hutan adat di Aceh, sehingga pandangan Wali Nanggroe akan memperkuat keyakinan kami dalam menetapkan hutan adat mukim di Aceh”. Katanya.
Ketua Tim Peneliti PRHIA USK Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H, pada kesempatan tersebut menyampaikan secara ringkas hasil kajian yang dilakukan timnya. Menurut Muttaqin, hutan adat mukim di Aceh yang diusulkan adalah sudah tepat, bahkan kemungkinan terjadi konflik wilayah adat antara gampong, mukim dan pawang glee sangat kecil kemungkinannya. “Hasil kajian tim kami menyimpulkan bahwa, Mukim di Aceh adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan memiliki wilayah tertentu. Bahkan, di lokasi penelitian di Kabupaten Pidie ditemukan fakta bahwa hutan adat mukim tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat gampong dalam wilayah mukim tersebut. Biasanya, hutan adat mukim juga berada diluar wilayah desa” papar Teuku Muttaqin. Lebih lanjut ia menjelaskan, konflik pengelolaan atau pemanfaatan, tumpang tindih wilayah antara gampong, mukim, dan pawang glee juga sangat kecil kemungkinan terjadi, hal ini disebabkan pada wilayah gampong dan mukim masing-masing telah terbagi-bagi. Lagi pula ini bukan hal baru, sudah turun temurun dijalankan oleh struktur masyarakat di Aceh, sebutnya. Sementara struktur Pawang Glee, adalah organ fungsional mukim yang membantu mukim mengawasi hutan adat, jadi tidak mungkin terjadi konflik pengelolaan hutan adat dengan Mukim. Kalaupun benar-benar terjadi, maka Wali Naggroe Aceh dapat berperan memfasilitasi menyelesaikannya.
Sementara itu, Ketua PRHIA USK, Dr. Azhari Yahya, S.H., MCL, MA mendorong agar kementerian segera menetapkan usulan hutan adat mukim menjadi hutan adat, dan menjadikan tiga wilayah usulan sebagai model. “Penetapan ini juga akan memberikan kepastian hukum bagi mukim sebagai MHA, sekaligus memiliki ha katas hutan adat. Penetapan hutan adat, dampak positif jauh lebih besar dari dampak negatif. Ini juga menyangkut hak masyarakat, kalau tidak hutan bisa habis dan tidak dapat kita tinggalkan untuk anak cucu kita kedepan, kata Azhari yang juga Sekretaris Senat Akademik Universitas Syiah Kuala.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut dari KLHK antara lain: Apri Dwi Sumarah, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Sumatera, Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit Penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak, Agung Pambudi, PEH Ahli Muda, Adi Saputro, Mela Herlina, dan Nisa Ni’mah Utami staf Direktorat PKTHA. Sementara dari Pusat Riset PRHIA hadir anggota tim peneliti Dr. Muazzin, S.H., M.H, dan Tuha Lapan Wali Nanggroe Asnawi Zainun, SH.