SAGOETV | KUALA LUMPUR – Pada Sabtu, 1 Februari 2025, Gubernur Aceh terpilih Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem menikahkan putri sulungnya, Zaslyana Muzakir, atau akrab disapa Yana, dengan Khairy Al-Fiqry Bakhtiar Nor di Hotel Grand Hyatt, Kuala Lumpur. Hotel tersebut menjadi taman kebahagiaan yang penuh dengan keberkahan. Gemerlap lampu kristal bersatu dengan wajah-wajah berseri, mencerminkan kebahagiaan atas ikatan suci dua insan dalam mahligai pernikahan.
Di tengah alunan irama Melayu, para tamu berwibawa melangkah penuh takzim, mengiringi keagungan acara pernikahan putri Mualem. Tampak para undangan, mulai dari ulama hingga cendekiawan, melantunkan doa-doa terbaik, memohon ridha Allah Swt agar pernikahan ini menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Di antara suara gelak tawa yang santun dan senyum yang bersahaja dari para tamu yang hadir, tiba-tiba terdengar suara Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia (PYM) Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, memanggil “Keunoe neulangkah.” Semua mata pun memandang, seiring dengan arah pandangan Tgk Malik Mahmud ke arah Teungku T Zulfadli (Waled Landeng), anggota DPR Aceh dari Komisi VI bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
Mendengar panggilan Wali Nanggroe, “Keunoe neulangkah,” mengundang Waled untuk pindah melangkah lebih dekat di mana Wali Nanggroe sedang duduk.
Sorot mata penuh tanya terpancar dari para hadirin yang merekam moment tersebut. Suasana seketika hening, menyisakan ketegangan yang samar. Kemudian, dengan nada serius namun penuh ketegasan, Wali Nanggroe bertanya, “Nyan pin yang lon jok uroe nyan kon…?”
Pertanyaan dari tokoh tertinggi dalam hal Adat dan Istiadat di Aceh itu bukan cuma soal pin, melainkan amanah dan tanggung jawab. Pin Cap Sikureung bukan hanya aksesori semata, melainkan simbol kehormatan, marwah, dan tanggung jawab besar dalam menjaga martabat Aceh serta Lembaga Wali Nanggroe.
Waled Landeng sambil memeagang Pin Cap Sikurueng, dengan tenang menjawab, “Beutoi Wali, kamoe lage amanah, pue yang jeut tapeujak laju bacut-bacut, karena lembaga nyoe na keuh marwah geutanyoe Aceh.” Jawaban Waled menunjukkan tanda kesetiaan, serta kesadaran mendalam akan tugas yang diembannya sebagai wakil rakyat di Parlemen Aceh.
Wali Nanggroe pun merespons dengan nada yang menggambarkan sebuah kebanggaan, sekaligus kekecewaan, “Padahal ada beberapa orang yang sudah saya kasih Pin Cap Sikureung ini, tapi droe neuh trok u malaya neu pakek.” Lalu, keduanya pun terlihat tertawa.

Makna Cap Sikureung
Cap Sikureung adalah cap atau segel resmi yang digunakan oleh Sultan-sultan Aceh sebagai simbol kesultanan. Segel ini terdiri dari sembilan bagian yang mewakili sembilan Sultan penting dalam sejarah Aceh, dengan Sultan yang sedang memerintah ditempatkan di bagian tengah segel. Nama “Cap Sikureung” diambil dari bentuk segel tersebut yang mencantumkan sembilan nama Sultan, dengan makna “sembilan” atau “sembilan Sultan” di dalamnya.
Penjelasan mengenai sembilan bagian dalam Cap Sikureung adalah sebagai berikut:
- Paling Atas: Sultan Ahmad Syah (1723-1735), Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir dan Sultan ke-XX. Sebelumnya dikenal dengan gelar Maharadja Lela (Melayu).
- Kanan Atas: Sultan Djauhan Syah (1735-1760), Putra Sultan Ahmad Syah dan Sultan ke-XXI, bergelar Raja Muda.
- Paling Kanan: Sultan Mahmud Syah (1760-1763), juga dikenal sebagai Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah dan Sultan ke-XXII.
- Kanan Bawah: Sultan Djauhar ‘Alam (1795-1824), Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah dan Sultan ke-XXVII.
- Paling Bawah: Sultan Manshur Syah (sekitar 1857-1870), Putra Sultan Djauhar ‘Alam dan Sultan ke-XXVIII.
- Kiri Bawah: Sultan Said-al-Mukamal (Alauddin al-Qahhar), Sultan Aceh ke-III (1530-1557).
- Paling Kiri: Sultan Meukuta Alam (Iskandar Muda), Sultan Aceh ke-XI (1607-1636).
- Kiri Atas: Sultan Tadjul ‘Alam (Ratu Safiatuddin), Sultan wanita pertama Aceh, yang memerintah dari 1641-1675 dan Sultan ke-XIII (Puteri Iskandar Muda).
- Tengah: Sultan Muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat (1879-1903), Sultan Aceh yang terakhir, yang memerintah hingga akhir kesultanan Aceh.

Dalam segel ini, tiga posisi diperuntukkan bagi Raja-raja dari dinasti sebelumnya, lima posisi untuk Raja-raja dari keluarga sendiri, dan satu tempat khusus untuk Raja pendiri dinasti tersebut. Tempat di tengah segel merupakan posisi bagi Sultan atau Sultanah yang sedang memerintah. Segel ini tidak hanya sebagai simbol resmi pemerintahan, tetapi juga mencerminkan garis keturunan dan hubungan antar Sultan dalam sejarah panjang Kesultanan Aceh.
Wali Nanggroe dan Waled Landeng
Kembali ke Wali Nanggroe dan Waled Landeng, pin Cap Sikureung bukan sekadar penghargaan, tetapi lambang kehormatan yang mengikat penerimanya dengan tanggung jawab besar terhadap masyarakat dan nilai-nilai adat Aceh. Dalam sejarahnya, pin ini hanya diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap mampu menjaga martabat Aceh dan memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi Lembaga Wali Nanggroe.
Maka, pertemuan antara Wali Nanggroe dan Waled Landeng di acara Walimatul Ursy Putri Mualem di Kuala Lumpur, Malaysia, menjadi lebih dari sekadar perjumpaan biasa. Pertemuan Wali dan Waled adalah pertemuan dua simbol keteguhan dan komitmen seorang tokoh terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya. Di tengah tantangan zaman sekarang, Aceh membutuhkan sosok-sosok yang tidak sekadar menerima jabatan dan kehormatan, namun juga menjaga, merawat, dan menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman sebagaimana yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Dalam hal ini, Waled Landeng telah membuktikan dirinya kepada Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malek Mahmud Al-Haythar, sebagai salah satu penjaga amanah tersebut :
“Di Aceh na alam peudeung, Cap Sikureung bak jaroe raja,
Phon di Aceh troh u Pahang, Tan soe teuntang Iskandar Muda,”
Di tengah percakapan hangat dan akrab antara Waled dan Wali Nanggroe, para tamu lainnya yang menyaksikan pun seolah memahami betapa marwah dan adat Aceh harus tetap dijaga, bukan hanya sebagai simbol semata, tetapi juga dalam tindakan nyata.
Pin Cap Sikureung yang diberikan oleh Wali Nanggroe sebagai tanda kehormatan tidak selalu dapat dijaga dengan baik oleh penerimanya. Namun, Waled Landeng adalah pengecualian. Ia tetap teguh menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan menjaga simbol yang diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya. [CEM]