Oleh: Ari J. Palawi
إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.”
Shahih Muslim, Kitab al-Iman (Kitab 1), Hadis nomor 91
Hadis ini juga dicantumkan dalam Riyadh al-Shalihin oleh Imam Nawawi, Bab 122
(Bab Perhiasan, Keindahan, dan Kesederhanaan)
Hadis ini muncul dalam dialog antara Rasulullah SAW dan seorang laki-laki yang mempertanyakan apakah kesukaan pada pakaian dan sandal bagus adalah bagian dari kesombongan. Rasulullah menegaskan bahwa kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, bukan mencintai keindahan, karena Allah sendiri adalah Zat Yang Indah dan mencintai keindahan.
Di dunia yang semakin keras, penuh distraksi dan cepat berlalu, manusia tetap menyimpan kebutuhan mendalam untuk diam. Untuk menyimak. Untuk meraba hal-hal yang tak bisa dijelaskan lewat angka atau jargon. Di titik inilah, seni pernah hadir. Sebagai bahasa yang tak terucap, sebagai getar yang menautkan tubuh dan langit.
Namun seni yang kita warisi, terutama dalam tradisi-tradisi besar seperti di Aceh, hari ini menghadapi krisis. Krisis bukan semata pada jumlah pertunjukan atau minimnya dukungan pemerintah. Krisis itu lebih dalam: seni kita kehilangan jiwa karena dipisahkan dari akar spiritualnya.
Ketika Tubuh Tidak Lagi Berzikir
Di banyak desa di Aceh, masih bisa kita temukan jejak-jejak seni sebagai jalan rohani. Ratéb Meuseukat yang dimainkan perempuan dalam barisan rapi bukan hanya pertunjukan ritmis, tapi zikir dalam tubuh. Rapa’i yang ditabuh laki-laki tua dalam malam Maulid bukan hanya musik perkusi, tapi dentuman peringatan bahwa hidup itu fana. Saman, yang kini menjadi ikon nasional dan festival internasional, dulu lahir dari pesan dakwah Syekh Saman di Gayo—sebuah cara mendekatkan hati kepada Tuhan lewat gerak dan syair.
Kini, pertanyaan yang menyentak kita: apakah tubuh-tubuh yang menari itu masih tahu kepada siapa ia berzikir?
Banyak kajian menunjukkan gejala degradasi spiritual dalam praktik seni tradisi kita, terutama ketika karya-karya yang dahulu mengandung makna religius dan kritik sosial kini direduksi menjadi hiburan seremonial. Dalam kajian Muslim (2022) terhadap kesenian Saman di Gayo Lues, nilai-nilai edukasi Islam seperti musyawarah, silaturahmi, dan kepatuhan spiritual masih hidup dalam komunitas asalnya [sumber: Nilai-Nilai Edukasi Islam dalam Kesenian Saman Gayo Di Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues – UIN – Ar Raniry Repository]. Namun dapat kita saksikan, dalam praktik pentas modern, kekhawatiran mulai muncul bahwa syair-syair zikir digantikan oleh lirik yang lebih netral demi tuntutan aksesibilitas publik dan estetika panggung.
Senada dengan itu, Nyak Ina Raseuki, dalam Seudati in Acehnese tradition: A preliminary study (1993) mencatat bahwa Seudati, yang dulunya menjadi media dakwah, semangat jihad, dan pernyataan sikap sosial-politik melalui syair-syair bernas. Pengamatan saya, Seudati kini banyak hadir sebagai pertunjukan seremonial yang menekankan bentuk visual dan kebanggaan identitas belaka—namun lepas dari muatan nilai dan makna yang dahulu menyulut semangat kolektif. Pergeseran ini dipengaruhi oleh transformasi sosial pasca-konflik serta tekanan dari kelompok-kelompok otoritas keagamaan yang membatasi ekspresi seni rakyat [sumber: https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=3kjhrVIAAAAJ&citation_for_view=3kjhrVIAAAAJ:9yKSN-GCB0IC]
Dalam dunia urban masa kini, proses representasi seni semakin tunduk pada standar komodifikasi: bentuk dipoles, pesan dipangkas. Maka tak mengherankan jika tradisi yang semula berakar pada zikir, tafsir, dan laku hidup, kini tampil bagaikan artefak indah yang kehilangan roh.
Seni yang Dikurung dalam Format
Kita telah memformat seni ke dalam durasi, panggung, standar festival, dan algoritma media. Kita tak lagi bertanya: “Apa makna gerakan ini?”, melainkan “Apakah ini cukup menarik penonton?”
Seni dalam industri kreatif menjadi komoditas, bukan laku. Dalam proposal kita menyebutnya “pelestarian budaya”, padahal yang terjadi sering kali adalah pengemasan simbolik demi konten visual. Kita menonton Rapa’i Geleng, tapi tak tahu siapa Syekh Hamzah Fansuri. Kita memotret Ratéb Meuseukat, tapi tak memahami mengapa tubuh harus duduk dalam saf. Kita menggelar festival dengan tema “spiritualitas”, tapi lupa menyediakan ruang sunyi agar makna hadir.
Jika terus begini, kita sedang melahirkan generasi yang tahu bentuk, tapi tak kenal sumber. Tahu pertunjukan, tapi tak paham peribadatan. Akhirnya, yang kita hasilkan bukan seniman, tapi operator gerak.
Seni dalam Tradisi Dunia: Jalan Sunyi yang Universal
Masalah ini bukan hanya soal Aceh. Di banyak tempat, dunia mengalami gelombang pemisahan seni dari spiritualitas. Namun sejarah panjang peradaban menunjukkan bahwa di setiap budaya agung, seni lahir sebagai bentuk penghambaan.
Dalam tradisi tasawuf Islam, seni bukan hanya medium ekspresi estetika, tetapi juga jalan spiritual untuk menyucikan jiwa. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut bahwa musik dan syair dapat melembutkan hati dan membuka tabir batin, jika didengarkan oleh jiwa yang bersih dan tak dikendalikan hawa nafsu. (Stanford, 2007) [sumber: al-Ghazali – Stanford Encyclopedia of Philosophy].
“al-sama’ yuharrik ma fi al-batin, wa laisa al-maqsud bihi al-sama’, bal ma fi al-batin mimma yuharrikuhu al-sama’.”
(Musik bukan tujuan, tapi sarana yang menggugah apa yang telah tersembunyi dalam batin)
Jalaluddin Rumi, penyair sufi ternama, menekankan bahwa seni bukanlah imitasi, melainkan penemuan. Ia menyatakan bahwa seni adalah jalan menuju kekasih, yakni Tuhan. Tarian darwis berputar, yang dikenal sebagai Sema, bukan sekadar pertunjukan, tetapi merupakan bentuk fana—penghilangan ego di hadapan Yang Maha Esa. Melalui gerakan berputar yang terus-menerus, para darwis melambangkan perjalanan spiritual menuju penyatuan dengan Ilahi, di mana ego dan identitas pribadi larut dalam cinta dan kehadiran Tuhan. Dalam Masnavi dan Fihi Ma Fihi, Rumi berulang kali menegaskan bahwa seni (puisi, musik, gerak) adalah ekspresi cinta Ilahi dan sarana syuhud (penyaksian) terhadap kehadiran Tuhan.
“When the soul lies down in that grass, the world is too full to talk about. Ideas, language… even the phrase each other—doesn’t make any sense.” (Fihi Ma Fihi, Trans. A.J. Arberry) [sumber: https://archive.org/details/sufism_tasawwuf_outlook_Dis]
Dalam Bhakti Yoga Hindu, tarian Bharatanatyam dan nyanyian Bhajan bukan hiburan, melainkan persembahan kepada Tuhan. Tubuh menjadi altar, suara menjadi persembahan. Dalam Kristen Ortodoks, ikon bukan sekadar lukisan, melainkan jendela menuju surga. Dalam Zen Jepang, haiku dan guratan tinta adalah jalan sunyi menyatu dengan semesta.
Semua itu menunjukkan bahwa seni, pada dasarnya, adalah cara manusia mengingat dirinya—dan Tuhannya.
Konsumen, Kreator, dan Krisis Tafsir
Namun siapa yang bertanggung jawab atas krisis ini? Apakah seniman yang mengganti syair zikir menjadi lirik netral? Apakah penonton yang menuntut semua harus menarik dan instan? Apakah negara yang menjadikan budaya sebagai alat “branding”?
Jawabannya: semua pihak. Kita semua adalah bagian dari sistem yang menempatkan seni bukan sebagai cara menjadi utuh, melainkan sebagai produk untuk dinilai. Bahkan konsumen seni pun hari ini terbiasa “menonton”, tapi jarang “menyimak”.
Kita butuh audiens yang mau hening, bukan hanya berfoto. Kita butuh produser yang mau bertanya “apa makna ini?”, bukan hanya “berapa likes-nya?”. Kita butuh pengambil kebijakan yang tidak hanya bicara “output kegiatan”, tapi bertanya: apakah kita masih menghidupi warisan makna?
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita perlu mulai dari mengubah cara berpikir. Bahwa seni bukan hanya bagian dari program kerja dinas budaya, bukan hanya “strategi penguatan ekonomi kreatif”, melainkan jalan membentuk manusia utuh.
- Pendidikan seni yang menyentuh batin
Kurikulum seni di sekolah dan perguruan tinggi harus memulihkan dimensi spiritual dan filosofis. Pelajaran seni tak boleh hanya tentang teknik, tapi juga tentang pertanyaan: “untuk apa aku mencipta?”
- Kebijakan yang membuka ruang tafsir, bukan sekadar panggung
Festival bukan satu-satunya cara merawat tradisi. Kita butuh ruang yang memungkinkan praktik zikir, perenungan, dan ekspresi non-komersial mendapat tempat. Tanpa itu, warisan hanya akan jadi museum bergerak.
- Kembali ke komunitas dan nilai
Komunitas seni berbasis nilai dan spiritualitas harus didukung, bukan didepak karena “tidak laku dijual”. Biarkan mereka tetap duduk di pelataran, di mushalla, di bale-bale terbuka—sebab di sanalah napas hidup budaya benar-benar berdenyut.
- Konsumen seni harus dididik kembali menjadi penyimak, bukan hanya penonton.
Masyarakat perlu diajak menyelami, bukan sekadar menikmati. Seni bukan makanan cepat saji. Ia butuh waktu, kesabaran, dan keheningan.
Suluk—Kembali Menyapa Tuhan
Di tengah segala distraksi hari ini, mungkin seni adalah satu-satunya ruang di mana manusia masih bisa menyapa langit. Tapi itu hanya mungkin jika kita berani memulihkan fungsinya yang hakiki: sebagai jalan pulang.
Di ujung sebuah Ratéb yang dilantunkan perlahan, Tuhan sedang menunggu.
Di antara dentum rapa’i dan tubuh yang bergetar, ada rindu yang tak terucap.
Dan dalam tiap gerak yang jujur, kita sedang menapaki jalan suci menuju cahaya.
Maka kepada semua: seniman, penonton, kurator, pendidik, pembuat kebijakan, dan pelaksana festival—mari kita renungkan: jika seni tidak lagi membawa kita mendekat kepada makna, kepada sesama, dan kepada Tuhan, untuk apa kita pertahankan? []
Penulis adalah musisi, tinggal di Banda Aceh.