Oleh: Sahlan Hanafiah & Muhammad Yunus Ahmad
Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Pendahuluan
Aceh dan OMS merupakan dua entitas yang sulit dipisahkan, terutama saat terjadinya konflik bersenjata dan tsunami. Pada saat konflik, OMS berperan penting dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan ke kamp-kamp pengung-sian, membantu dan mendampingi masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan. OMS juga memainkan peran penting dalam membuka mata dunia terhadap kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama Aceh berada di bawah status Daerah Operasi Militer (1989-1998), Darurat Militer (2003-2004), dan Darurat Sipil (2004-2005) sehingga menyebabkan munculnya desakan dari berbagai kalangan, termasuk dunia internasional untuk mengakhiri konflik dan kekerasan di Aceh. Begitu pula saat terjadi bencana tsunami, OMS menjadi andalan dan tumpuan harapan rakyat Aceh setelah supra dan infrastruktur pemerintah turut runtuh diguncang bencana.
Tulisan ini memotret secara singkat keberadaan dan dinamika OMS Aceh sejak fase awal di era modern, yang dimulai sejak didirikannya Universitas Syiah Kuala dan Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry hingga 20 tahun pasca-tsunami dan damai. Tulisan ini berpandangan bahwa sepanjang kurun waktu tersebut, OMS Aceh mengalami pasang surut dan menghadapi tantangan yang beragam.
Untuk mengurai argumen tersebut, tulisan ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang apa itu OMS dan mengapa perannya sangat penting. Penjelasan tentang OMS secara konseptual perlu, karena istilah tersebut ditafsirkan secara sangat beragam. Bagian kedua menggam-barkan proses evolusi dan dinamika OMS Aceh sejak fase awal hingga 20 tahun pasca tsunami dan damai Aceh. Dan bagian terakhir merupakan penutup.
Apa Itu OMS dan Mengapa Keberadaannya Penting?
PBB mendefinisikan organisasi masyarakat sipil seba-gai ”any non-profit, voluntary citizens’ group which is organized on a local, national or international level” (www.un.org). Dalam definisi tersebut, PBB dengan jelas menyebut kriteria non-profit atau organisasi yang tidak mencari keuntungan finansial, baik untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya seperti yang dilakukan oleh pengusaha atau lembaga bisnis. PBB juga menggunakan kriteria voluntary citizens’ group, yaitu kelompok warga yang melakukan aktivitas secara sukarela, tidak atas dasar tekanan dan paksaan dari siapapun, melainkan datang dari hati nurani dan panggilan jiwa.
Bank Pembangunan Asia (2009) juga memberikan definisi yang mirip namun lebih terukur: “Civil society organizations (CSOs) are non-state actor whose aims are neither to generate profits nor to seek governing power.” Definisi ADB tersebut membuat garis batas yang jelas antara masyarakat sipil, kelompok pebisnis, dan pemerintah, di mana masyarakat sipil tidak mencari dan bertujuan untuk menumpuk laba dan bukan pula kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Karena itu, jika merujuk pada definisi ADB di atas, maka partai politik tidak termasuk ke dalam golongan OMS. Menurut ADB, di antara yang termasuk ke dalam organisasi masyarakat sipil adalah Ornop, LSM, asosiasi profesi, yayasan, lembaga studi independen, organisasi ber-basis pada komunitas, organisasi berbasis pada iman dan keyakinan, gerakan sosial dan serikat buruh.
Gagasan Awal OMS
OMS memiliki akar sejarah yang panjang. Bermula dari gagasan tentang masyarakat sipil yang digagas oleh Aristoteles, konsep tersebut kemudian berevolusi melewati ruang dan waktu. Namun di tangan Alexis de Tocqueville (1805-1859) dan Antonio Gramsci (1891-1937), konsep tentang masyarakat sipil menjadi lebih relevan dengan konteks sekarang dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan hinggi kini.
Tocqueville mendefinisikan masyarakat sipil sebagai sebuah ruang kebebasan politik warga dan benteng terhadap tirani monarki dan kelompok mayoritas. Tugas utama masyarakat sipil menurut Tocqueville adalah menciptakan keseimbangan antara negara dan pasar melalui nilai-nilai sipil yang ditanamkan dikalangan warga. Sementara Gramsci mendefinisikan masyarakat sipil sebagai sebuah ruang publik yang terpisah dari negara dan pasar, dimana warga membangun opini politik dan membuat keputusannya. Menurut Gramsci, masyarakat sipil dapat dipahami sebagai sebuah ruang kontestasi antara kekuatan hegemoni dan counter-hegemoni (Beittinger-Lee, 2010:15-16).
John Rawls seirama dengan Gramsci yang menyatakan bahwa masyarakat sipil merupakan sebuah arena konstestasi. Namun John Rawls memandang bahwa arena merupakan zona netral, dimana beragam nilai berkompetisi di dalamnya. Karena itu John Rawls mendefinisikan masyarakat sipil sebagai arena yang bebas nilai dan netral, dimana isi dan arahnya ditentukan oleh nilai, norma, dan ideologi dari aktor atau kelompok aktor yang memiliki supremasi terhadap arena tersebut, yang dalam istilah Gramsci disebut hegemoni (John Rawls, 1999)
Gagasan yang sama juga dikemukakan oleh Muthiah Alagappa. Alagappa (2004:32) mendefisinikan masyarakat sipil sebagai space, ruang, arena, dan agency, di mana arena tersebut berada di persimpangan antar negara, masyarakat politik, pasar, dan masyarakat pada umumnya. Menurutnya, space tersebut tidak terikat dengan aktor tertentu. Artinya, siapapun aktornya, sepanjang ia konsen dengan isu dan kepentingan publik, dan dilakukan secara sukarela, tidak untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dan tidak pula untuk mengejar kekuasaan dan kursi di pemerintahan, maka mereka adalah bagian dari masyarakat sipil.
Mengapa keberadaan OMS penting?
Paling tidak terdapat dua argumen umum mengapa OMS penting dalam sebuah negara. Pertama, keberadaan OMS merupakan wujud dari partisipasi publik. Negara teruta-ma yang menganut sistem demokrasi liberal selalu mendorong warganya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua, OMS dapat menjadi kelompok pengimbang bilamana pemerintah bersikap otoriter, tidak transparan dan akuntabel. Karena itu, baik di negara maju, maupun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, keberadaan OMS dinilai penting. Namun demikian, negara maju dan negara sedang berkembang memperlakukan OMS secara berbeda (Jasmin Lorch, 2017:31-70).
Di sebagian besar negara maju, OMS tidak diposisikan sebagai kelompok kelompok oposisi, melainkan sebagai mitra yang sejajar dengan pemerintah. Mengapa demikian? Pertama, karena kepercayaan terhadap pemerintah sangat tinggi. Peme-rintah dipercaya menjalankan roda pemerintahan dengan baik, terbuka dan tidak korup. Kedua, keberadaan kelompok oposisi di parlemen efektif menjalankan fungsinya sebagai kelompok kontrol. Karena itu, OMS tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengontrol kinerja pemerintah karena lembaga formal seperti parlemen melakukan tugas pengawasan dengan baik.
Berbeda dengan negara maju, di negara yang sedang berkembang, OMS berperan sebagai lembaga alternatif, terutama dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Peran tersebut dilakukan karena pemerintah tidak hadir atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain menjadi lembaga alternastif, OMS di negara yang sedang berkembang juga berfungsi sebagai kelompok penekan. Mereka berperan mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah, lembaga parlemen dan kelompok swasta. Peran tersebut dilakukan karena umumnya pemerintah, parlemen, dan sektor swasta cenderung menjadi bagian dari masalah bukan bagian dari solusi. Pemerintah, misalnya, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengelola dana publik untuk kepentingan publik justru melakukan penyelewenangan dana untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sementara itu, lembaga legislatif yang semestinya melakukan pengawasan terhadap pemerintah justru pasif atau bahkan bersekongkol dengan pemerintah dalam urusan yang bersifat destruktif. Demikian pula kelompok bisnis, kehadirannya lebih banyak merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.
Karena menjalankan peran sebagai kelompok penekan, OMS di negara sedang berkembang cenderung diposisikan sebagi musuh pemerintah, parlemen dan kelompok bisnis. Kehadiran OMS dinilai mengganggu kenyamanan tiga lemba-ga tersebut. Akibatnya, aktivis OMS di negara sedang berkembang sering mendapat tekanan dan ancaman, bahkan menjadi target kriminalisasi.
OMS di Indonesia, termasuk OMS Aceh memiliki kecederungan yang sama dengan OMS di negera yang sedang berkembang lainnya. Keberadaan mereka belum sepenuhnya dipandang sebagai mitra strategis yang dapat membantu kinerja pemerintah dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menciptakan keadilan, wujudkan kesejahtera-an dan kemakmuran bersama. Keberadaan OMS di Indonesia, khususnya yang aktif melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pemerintah dan swasta cenderung dipandang sebagai kelompok pengganggu.
Evolusi dan Dinamika OMS Aceh
Bagian berikut ini menjelaskan tentang proses tumbuh dan berkembangnnya OMS di Aceh sejak fase awal hingga sekarang. Keberadaan OMS di Aceh paling tidak dapat dilihat dari tiga fase utama, yaitu (1) fase awal yang ditandai dengan berdirinya Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry pada awal 1960an, (2) fase reformasi, (3) dan fase pasca tsunami dan damai. Berikut merupakan gambaran singkat dari ketiga fase tersebut.
Fase Awal Masyarakat Sipil Aceh di Era Modern
Sejarah modern OMS Aceh tidak bisa lepas dari kebera-daan dua kampus yang menjadi jantung hati rakyat Aceh, yaitu USK dan IAIN, yang sekarang berubah status menjadi UIN Ar-Raniry. Dua kampus tersebut berperan membentuk masyara-kat sipil Aceh.
Ketika USK dan IAIN Ar-Raniry didirikan pada tahun 1960an, masyarakat dari berbagai pelosok Aceh maupun luar Aceh datang ke kampus tersebut. Sebagian datang untuk mengabdi sebagai tenaga pengajar, sebagian lagi menuntut ilmu di sana. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Awalnya di antara mereka asing, tidak saling kenal. Namun lambat laun saling berinteraksi hingga membentuk masya-rakat baru yang lebih rasional dan terbuka terhadap perbedaan. Masyarakat baru ini juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi terhadap kehidupan di sekitarnya dan memiliki motivasi untuk berbagi serta melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Mereka ini merupakan generasi pertama masyarakat sipil Aceh di era modern.
Selain ditempa di fakultas, masyarakat sipil Aceh generasi pertama juga dibentuk melalui proses belajar di berbagai pusat studi. Salah satu lembaga studi yang turut memberi andil lahirnya para intelektual dan aktivis masyarakat sipil Aceh adalah PLPIS. Lembaga ini didirikan pada tahun 1974 oleh LIPI di Aceh dan beberapa wilayah lain di Indonesia dengan tujuan mencetak peneliti muda sekaligus mempromosikan ilmu sosial yang waktu itu masih belum cukup mendapat tempat di Indonesia. Kehadiran lembaga tersebut juga menarik perhatian sejumlah ilmuwan luar negeri seperti Lance Castles dan William Liddle. Kehadiran para intelektual asing yang umumnya berasal dari Amerika Serikat tersebut selain menambah kualitas penelitian juga memotivasi para ilmuwan muda Aceh untuk meningkatkan kemampuan bahasa asing dan keinginan melanjutkan studi ke luar negeri.
Kesempatan studi ke luar negeri terutama dalam rangka memperdalam kajian ilmu sosial kala itu terbuka lebar. Selain karena mendapatkan rekomendasi dari para ilmuan Amerika Serikat yang ada di Aceh, juga karena faktor ketersediaan beasiswa yang diberikan oleh beberapa lembaga filantropi seperti Toyota Foundation dan Ford Foundation. Setelah para intelektual Aceh kembali dari tempat studinya, mereka kemudian tidak hanya berkiprah di kampus sebagai tenaga pengajar, akan tetapi juga aktif di luar kampus sebagai aktivis dan pegiat lembaga swadaya masyarakat.
Salah satu intelektual yang rajin berbagi pengalaman dan pengetahuan ilmu sosial ketika itu adalah Bahrein T Sugihen. Bahrein yang tergolong generasi pertama, awalnya merupakan salah seorang staf pengajar Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USK. Ia kemudian mendapat kesempatan belajar sosiologi di Lousiana State University, Amerika Serika. Ketika balik dari studinya di Amerika, Bahrein aktif melakukan penelitian sosial dan kajian yang melibatkan mahasiswa USK dan IAIN Ar-Raniry. Ia juga menggelar forum diskusi kajian perubahan sosial di kampus Darussalam. Forum diskusi tersebut melahirkan generasi baru masyarakat sipil Aceh berikutnya.
Di antara beberapa nama yang aktif mengikuti kegiatan diskusi bersama Bahrein T. Sugihen adalah Otto Syamsuddin Ishak, Yarmen Dinamika, Risman A. Rahman, Bakti Siahaan, dan Zulfikar Sawang. Otto Syamsuddin Ishak dan Bakti Siahaan kemudian menjadi staf pengajar di USK. Mereka juga aktif berkriprah di luar kampus. Otto Syamsuddin Ishak misalnya, mendirikan Yayasan Cordova di awal tahun 1990an, sebuah lembaga yang bergerak di bidang kajian dan advokasi hak asasi manusia. Yarmen Dinamika dan Risma A Rahman memilih menjadi jurnalis, selain juga aktif di berbagai lembaga sosial masyarakat. Sementara Zulfikar Sawang menjadi politisi dan pengacara.
Selain nama-nama tersebut di atas, ada juga nama lain yang berada di luar lingkaran kelompok studi Bahrein, yaitu Ahmad Humam Hamid, Darni Daud, Saifuddin Banstasyam, Adli Abdullah, Naimah Hasan, Suraiya Kamaruzzaman, Suraiya IT, Asna Husein, Fuad Mardhatillah, dan Taqwaddin. Mereka ini merupakan varian akademisi aktivis yang aktif di organisasi sosial kepemudaan dan juga aktif terlibat dalam berbagai kelompok diskusi, serta produktif menyebarkan ide dan gagasan melalui berbagai forum, termasuk media cetak.
Diskusi dan diseminasi gagasan melalui media cetak merupakan pilihan aktivitas yang paling mungkin dilakukan oleh generasi tersebut saat itu. Hal ini terjadi karena karakter rezim Orde Baru yang bersifat represif dan otoriter memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan. Namun ketika krisis ekonomi melanda sebagian besar negara di Asia dan dampaknya mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia, ruang untuk menyampaikan gagasan perlahan menjadi terbuka. Sebagian besar mereka pun pada akhirnya berani melawan rezim, menyuarakan keadilan dan kebenaran yang sebelumnya dibungkam. Keberanian itu dieskpresikan secara terbuka di penghujung tahun 1997 hingga Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada Mei 1998. Para akademisi dan mahasiswa dari USK, IAIN Ar Raniry dan sejumlah kampus swasta lainnya di Aceh keluar dari ruang kelas tempat mereka belajar. Mereka berkumpul di lapangan komplek mahasiswa Darussalam, berorasi di atas mimbar bebas, menuntut keadilan yang selama puluhan tahun dirampas oleh negara. Kampus menjadi titik awal pergerakan sekaligus menjadi simbol perlawanan di Aceh. Pergerakana itu tentu saja merupakan proses panjang yang dimulai sejak dua kampus jantung hati rakyat Aceh itu didirikan pada awal tahun 1960an.
Era Reformasi dan Sesudahnya (1998-2004)
Berbeda denga fase awal, pada era reformasi, OMS Aceh tampil lebih berani dan terbuka. Mereka juga lebih variatif dan berkarakter. Paling tidak ada empat varian OMS Aceh pada saat itu, yaitu varian gerakan, advokasi, layanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Keempat varian tersebut memperjuangkan agenda yang sama dengan pilihan strategi yang berbeda-beda. Selain mengusung agenda reformasi, agenda lain yang mereka perjuangkan adalah pencabutan DOM, penghentian kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, mengadili pelaku pelanggaran HAM, dan penyelesaian konflik Aceh.
Varian gerakan umumnya didominasi oleh kelompok mahasiwa. Mereka membentuk buffer aksi dengan genre yang beragama. Di antara buffer aksi yang cukup aktif saat itu adalah SMUR, Farmidia, KARMA, KMPAN, SOMAKA, dan sejumlah buffer aksi lainnya. Demontrasi, mogok makan, dan orasi mimbar bebas merupakan beberapa pilihan aksi yang dilakukan untuk menekan pemerintah.
Varian advokasi merupakan gabungan berbagai unsur masyarakat sipil dari dalam dan luar kampus yang disatukan oleh kepentingan yang sama. Mereka membentuk forum, lembaga koalisi dan majelis, melakukan agenda taktis dan strategis seperti membangun jaringan dengan komunitas nasional dan internasional, melakukan lobi ke aktor-aktor kunci, dan mengumpulkan data dan bukti tentang pelanggaran hak asasi manusia selama berlangsungnya DOM. FPHAM dan IFA merupakan dua forum yang mewakili varian ini.
Varian layanan sosial melibatkan beberapa unsur mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat. Pemraka, PCC dan Forum LSM merupakan beberapa lembaga yang aktif membantu para pengungsi lokal yang berada di kamp-kamp pengungsian.
Terakhir adalah varian pemberdayaan masyarakat. Varian ini umumnya melibatkan lembaga swadaya masyarakat. Di antara yang cukup aktif melakukan pemberdayaan masyarakat korban konflik adalah Yadesa. Yayasan ini didirikan pada tahun 1980an oleh Ir. A. Gani Nurdin bersama para koleganya di Fakultas Pertanian Unsyiah. Salah satu desa dampingan Yadesa adalah Cot Keng. Di desa ini Yadesa menemukan jumlah laki-laki dewasa tidak sebanding dengan jumlah perempuan. Hasil penelusuran Yadesa ternyata sebagian dari laki-laki dewasa di desa tersebut telah menjadi korban pembantaian militer, sementara yang lain memilih merantau karena merasa jiwanya terancam. Karena jumlah perempuan dewasa lebih banyak, Desa Cot Keng dikenal sebagai Kampung Janda (Muhammad Yunus Ahmad, 2021). Dari kampung inilah kemudian dua orang janda korban konflik dibawa ke Jakarta sebagai saksi hidup kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Perjuangan keempat varian masyarakat sipil Aceh dalam memperjuangkan penghentian kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh relatif berhasil. Misalnya, pemerintah akhirnya mencabut status Aceh sebagai DOM dan menarik kembali sebagian besar pasukan non-organik ke barak mereka masing-masing. Pemerintah bersama dengan Komnas HAM juga membentuk Tim Pencari Fakta kasus pelanggaran HAM pada masa DOM. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari faktor soliditas yang dijaga dengan baik dan strategi berbagi peran yang dilakukan oleh elemen masyarakat sipil Aceh. Adanya pandangan yang sama terhadap agenda yang diperjuangkan juga menjadi faktor di balik keberhasilan tersebut.
Namun situasi menjadi berbeda ketika penyelesaian konflik Aceh mulai dibicarakan secara serius, OMS Aceh terbelah ke dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama menyakini bahwa konflik Aceh dapat diselesaikan melalui kebijakan otonomi khusus. Mereka berpandangan bahwa selama ini Aceh memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam mengatur rumah tangga sendiri. Padahal Aceh merupakan daerah istimewa dan daerah modal yang harus diperlakukan secara berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Kelompok kedua percaya bahwa konflik Aceh hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah rakyat Aceh. Mereka memandang bahwa semua elemen masyarakat Aceh berhak memberikan pandangan terhadap penyelesaian konflik Aceh dan hasil musyawarah tersebut menjadi rujukan penyelesaian konflik.
Kelompok ketiga mengusulkan referendum. Menurut kelompok ini, referendum merupakan langkah paling tepat dalam menyelesaikan konflik Aceh, sebab masyarakat Aceh telah terbelah ke dalam dua faksi, satu faksi menginginkan tetap bergabung dengan Indonesia dan faksi lainnya ingin mendirikan negara sendiri. Menurut pandangan kelompok ini, opsi tersebut juga mengakomodir kepentingan GAM yang selama ini memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Kelompok keempat mengusulkan penyelesaian konflik Aceh melalui dialog yang melibatkan tiga unsur, yaitu masyarakat sipil Aceh, pemerintah Indonesia dan GAM.
Perbedaan pandangan dikalangan OMS tentang penyelesaian konflik Aceh sebenarnya merupakan dinamika kontruktif. Namun ketika perbedaan pandangan tersebut terjadi di dalam arena konflik dan tanpa ada pihak yang menjembatani, maka ia cenderung menjadi destruktif dan liar. Salah satu akibat destruktif dari perbedaan pandangan ter-sebut adalah munculnya sikap saling curiga satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain. Para pihak yang berkonflik, dalam hal ini pemerintah Indonesia dan GAM juga menaruh curiga terhadap OMS Aceh. Sebagai contoh, kelompok yang mengusulkan otonomi khusus dinilai sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia. Sementara kelompok yang mengusulkan referendum dianggap berada di belakang GAM. Akibatnya, posisi OMS Aceh terjepit di antara ”dua gajah” yang sedang bertikai.
Meski adanya kecurigaan di balik berbagai usulan yang datang dari masyarakat sipil Aceh, Presiden Abdurrahman Wahid ternyata memberikan perhatian terhadap salah satu usulan tersebut, yaitu penyelesaian konflik melalui pendekat-an dialog. Untuk mewujudkan itu, Gus Dur mengundang HDC, sebuah NGO internasional yang baru didirikan di Jenewa, Swiss untuk membantu proses dialog dimaksud. Kehadiran HDC disambut positif oleh semua elemen, termasuk GAM. Namun setelah dialog yang difasilitasi HDC berlangsung kurang lebih dua tahun lamanya, proses tersebut akhirnya dihentikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri karena berbagai alasan dan kemudian digantikan dengan pendekatan militer.
Keputusan menggunakan kembali pendekatan militer dalam menyelesaikan konflik Aceh menjadi mimpi buruk bagi OMS Aceh. Sebab, perjuangan melawan kekerasan dan pelanggaran HAM yang sebelumnya pernah berhasil dilakukan menjadi nihil. Pada sisi lain, keamanan dan keselamatan jiwa mereka menjadi terancam. Akibatnya, sebagian besar aktivis OMS Aceh memilih keluar dari Aceh. Mereka mencari tempat aman sambil melanjutkan perjuangan melawan kesewenang-wenangan institusi negara.
Tsunami dan Perjanjian Damai
Setelah menghadapi kondisi sulit saat berlakunya Darurat Militer dan Darurat Sipil paska gagalnya perundingan damai yang difasilitasi oleh HDC di Tokyo Jepang, OMS Aceh menghadapi cobaan yang lebih berat, yaitu tsunami. Bencana alam yang terjadi dalam kurun waktu 200 tahun sekali tersebut seakan mengantarkan OMS Aceh pada pada titik nadir. Sejumlah aktivis OMS Aceh menjadi korban langsung maupun tidak langsung dari bencana maha dahsyat itu. FP HAM misalnya, kehilangan dua orang pengurus inti, yaitu Bathlimus, SH., MH dan Iskandar Ibrahim, MA. Bathlimus menjabat sebagai kepala divisi investigasi dan data. Sementara Iskandar Ibrahim sebagai kepala divisi pendidikan dan penelitian. Batlimus digulung tsunami bersama istrinya di kawasan Lampaseh, Kota Banda Aceh, satu daerah yang dikenal cukup parah terkena dampak tsunami. Mayatnya hingga kini tidak ditemukan. Demikian juga Iskandar Ibrahim, hilang diseret tsunami bersama istri dan anak-anaknya di kawasan Lamdingin. Tidak hanya kehilangan dua orang pengurus, FP HAM juga kehilangan sejumlah fasilitas penting seperti komputer, laptop dan dokumen serta data hasil investigasi kasus pelanggaran HAM selama berlangsungnya DOM dan pasca-DOM Aceh. Barang dan dokumen tersebut hilang ditelan tsunami di kawasan Jeulingke, Kota Banda Aceh. Nasib yang sama juga menimpa sejumlah aktivis dan OMS Aceh lainnya. Mereka menjadi bagian dari 227.898 jiwa total korban gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Selain mendatangkan penderitaan, tsunami juga mem-berikan harapan baru bagi OMS Aceh. Penyelesaian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM yang awalnya mengalami jalan buntu menjadi hidup kembali. Di sisi lain, status Darurat Sipil atas dasar pertimbangan kemanusiaan tidak diperpanjang. Dua keputusan politik tersebut kembali membuka ruang bagi OMS Aceh yang telah lama tersandra. Keputusan tersebut juga memungkinkan aktivis OMS yang mencari perlindungan ke luar daerah untuk kembali lagi ke Aceh tanpa rasa takut ditangkap dan diadili secara sewenang-wenangan.
Beberapa hari setelah tsunami, situasi perlahan menjadi membaik, terutama ketika OMS dari luar Aceh datang memberikan bantuan tanggap darurat. Kehadiran OMS dari luar sangat membantu memulihkan mental aktivis OMS Aceh yang sempat down. Awalnya aktivis OMS Aceh mengambil peran sebagai pendamping sekaligus pembuka jalan bagi OMS dari luar. Kemudian secara bertahap para aktivis OMS Aceh mengambil peran yang lebih strategis. Sebagian dari mereka misalnya bergabung ke dalam OMS nasional, sebagian lainnya bekerja di lembaga internasional. Ada juga diantara mereka yang memilih bertahan dengan lembaga lamanya sambil bekerja sama dengan lembaga nasional dan internasional. Namun yang disebut terakhir jumlahnya lebih sedikit.
Bergabungnya para aktivis OMS Aceh ke dalam lembaga nasional dan internasional memberi dampak positif dan negatif sekaligus. Di antar dampak positif adalah, kehadiran mereka di sana dapat memberikan insight berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya tentang Aceh kepada lembaga tempat mereka bekerja. Mereka juga dapat belajar, meningkatkan kapasitas, dan memperlebar jaringan dengan lembaga nasional dan internasional. Sementara dampak negatif di antaranya adalah: lembaga lokal yang telah lama mereka asuh menjadi terbengkalai bahkan mati. Dampak negatif lainnya adalah mereka kehilangan otonomi dalam bekerja dan dalam mengambil keputusan karena bekerja di bawah otoritas lembaga lain. Selain itu, standar hidup menjadi berubah akibat jumlah gaji dan fasilitas yang diterima jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Akibatnya, setelah kontrak kerja berakhir, para aktivis OMS Aceh kesulitan menyesuaikan kembali standar hidup mereka.
Perjanjian Damai dan Migrasi OMS ke OMP
Kurang dari satu tahun setelah bencana tsunami, Pemerintah RI dan GAM sepakat mengakhiri konflik melalui jalur perundingan damai. Momentum tersebut dimanfaatkan oleh sebagian besar aktivis OMS Aceh untuk melakukan migrasi ke dalam masyarakat politik. Mereka mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil wali kota. Sebagian yang lain mendirikan partai politik lokal dan bergabung ke dalam partai politik nasional. Aktivis SMUR misalnya mendirikan PRA, aktivitis FARMIDIA dan SIRA mendirikan Partai SIRA, sementara beberapa aktivis KMPAN bergabung ke dalam Partai Aceh. Pada saat pemilihan umum digelar, mereka mencalonkan diri sebagai anggota legislator. Sebagian lainnya mengambil peran sebagai pendukung, menjadi tim pemenangan, tim ahli, tim asistensi dan masuk ke dalam lembaga-lembaga semi pemerintah.
Migrasi ke dalam lembaga politik pasca perjanjian damai memungkinkan karena para pihak sepakat untuk membuka akses partisipasi politik secara luas, tidak hanya untuk mantan kombatan GAM, melainkan juga untuk seluruh rakyat Aceh. Selain itu, rakyat Aceh juga diberikan kesempatan untuk mendirikan partai politik lokal sebagai sarana memperjuang-kan aspirasi. Kesepakatan tersebut diatur di dalam Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka poin 1.2 tentang Partisipasi Politik. Penjabaran lebih rinci tentang kesepakatan tersebut juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Fenomena migrasi para aktivis OMS Aceh ke dalam masyarakat politik selain karena adanya akses yang diatur di dalam kesepakatan damai, juga dapat dijelaskan dalam beberapa perspektif yang lain. Pertama, fenomena tersebut merupakan wujud dari sikap reaktif dan eforia terhadap terbukanya kanal kebebasan berpolitik di ruang publik setelah sekian lama terpasung di bawah sistem politik otoriter militeristik rezim Orde Baru. Kedua, migrasi tersebut terjadi karena OMS Aceh tidak memiliki tradisi berada di luar lembaga politik dalam jangka waktu lama. Ketiga, adanya dorongan dan keinginan yang kuat untuk memperbaiki dari dalam, di mana mereka percaya bahwa ”orang baik” harus masuk ke dalam sistem dan melakukan perubahan dari dalam. Keempat, adanya kenyakinan bahwa sumber daya ekonomi akan mudah diakses jika politik dan kekuasaan berada di genggaman tangan sehingga dengan demikian kesempatan membantu masyarakat menjadi lebih besar. Kelima, nature dari masyarakat sipil itu sendiri sebenarnya sulit dipisahkan dari politik. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada masyara-kat sipil yang genuine, yang berpegang teguh pada nilai-nilai sosial, kritis, independen, sukarela, tidak berorientasi pada kekuasaan dan ekonomi. Yang ada hanyalah masyarakat politik yang berbaju masyarakat sipil.
Terlepas dari perspektif mana yang benar, sikap sebagian besar aktivis OMS Aceh masuk ke dalam institusi politik memberikan dampak positif sekaligus negatif. Diantara dampak positif adalah: aspirasi masyarakat sipil tersuarakan di dalam lembaga politik dan lembaga pemerintahan yang diwakilinya; masyarakat sipil yang berada di luar sistem dapat membangun aliansi dengan mereka yang telah berada di dalam sistem, baik dalam merumuskan atau membuat keputusan dan kebijakan strategis. Sementara dampak negatif adalah: organisasi masyarakat sipil yang telah dibangun bertahun-tahun menjadi terbengkalai, tidak terurus, bahkan ”mati”; posisi dan nilai tawar masyarakat sipil Aceh turun dan melemah; dan akibat yang lebih buruk adalah, Aceh tidak memiliki kelompok pengimbang yang mampu mengontrol pemerintahan dari luar.
Sebenarnya tidak semua masyakat sipil Aceh melakukan migrasi ke dalam politik. Namun masyarakat sipil yang bertahan di luar umumnya tidak mengambil peran kritis, seperti memonitor dan mengevaluasi kinerja pemerintah dan melakukan advokasi kebijakan. Masyarakat sipil yang bertahan di luar cenderung memilih zona aman, yaitu zona yang tidak berbenturan dengan pemerintah dan kelompok bisnis. Mereka memilih melakukan kegiatan layanan sosial, mengelola rumah singgah untuk keluarga yang sakit, membangun rumah dhuafa, memberikan bantuan bencana dan bantuan sosial lainnya. Selain karena tidak berbenturan dengan kepentingan pemerintah, kegiatan sosial seperti ini dinilai lebih populis, membantu menaikkan popularitas jika suatu saat nanti mengambil sikap untuk bergabung ke dalam lembaga politik.
Proses migrasi OMS Aceh ke dalam lembaga politik hingga kini tidak terbendung dan sepertinya akan terus berlangsung, sebab politik dianggap sebagai ”the only game in town” untuk melakukan perubahan. Jika OMS Aceh menyakini bahwa politik merupakan satu-satunya cara melakukan perubahan maka hal tersebut sebenarnya merupakan pertanda buruk bagi masa depan Aceh. Sebab, saat ini Aceh justru sedang membutuhkan OMS yang kuat, kritis dan independen, yang berada di luar sistem politik, sebagai kelompok alternatif yang mengontrol kinerja pemerintah, lembaga parlemen dan lembaga bisnis. Tiga sektor tersebut hingga kini belum sepenuhnya dapat dipercaya dan diandalkan.
Penutup
Pada bagian penutup ini, paling tidak terdapat tiga pelajaran yang dapat ditarik. Pertama, lembaga pendidikan tinggi atau kampus sebagaimana telah ditunjukkan di atas, pada hakikatnya memainkan peran penting dalam melahirkan dan membentuk masyarakat sipil. Peran tersebut dapat terjadi karena lembaga tersebut dirancang sebagai arena terbuka yang menerima perbedaan. Di sisi lain kampus juga membuka ruang interaksi dialektis dalam koridor akademik, di mana teori diuji dengan realitas dan begitu pula sebaliknya. Proses ini membuat realitas tidak berjarak dengan komunitas kampus. Dengan kata lain, masyarakat kampus tetap memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam masyarakat meski mereka berada di arena yang berbeda. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kampus tidak tercabut dari akarnya, yaitu masyarakat. Peran itu berfungsi relatif baik pada fase awal berdirinya USK dan IAIN Ar Raniry.
Forum diskusi perubahan sosial yang diinisiasi oleh Bahrein T. Sugihen pada tahun 1980an merupakan salah satu contoh di mana kampus menjalankan perannya dalam melahirkan masyarakat sipil yang kritis. Bahrein dan kolega-nya berdisikusi di dalam ruang yang sederhana, informal dan sukarela. Proses diskusi bersifat dialektis, melibatkan teori dan praksis, dilakukan secara terbuka dan kritis sehingga mereka mampu melihat problem kesenjangan sosial di sekitarnya secara jernih. Pengetahuaan tentang adanya kesenjangan sosial yang ditopang oleh basis teori melahirkan kesadaran kritis untuk melakukan gerakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Meski masing-masing mereka berasal dari daerah yang berbeda, tidak diikat oleh afiliasi primordial (daerah) dan patrimordial (politik) tertentu, tetapi kehadiran mereka dalam forum diskusi tersebut disatukan oleh kepentingan yang sama, yaitu mengasah nalar kritis, mempertajam kesadaran moral sosial dan melakukan perubahan sosial.
Namun semangat itu belakangan ini sepertinya meredup, mengalami reduksi, bahkan dekadensi, di mana forum diskusi menjadi arena formal, dilakukan di tempat yang mewah, dan tidak lagi berbasis pada semangat kesukarelaan. Akibatnya, masyarakat akademik menjadi berjarak dengan realitas dan tidak lagi mampu menangkap problem sosial secara utuh. Karena itu, untuk melahirkan masyarakat sipil yang kritis dan independen, kampus harus kembali ke fungsi semula, sebaimana telah diletakkan oleh generasi awal, yaitu sebagai arena terbuka yang menerima perbedaan, tempat mengasah kesadaran, kepedulian dan nalar kritis.
Kedua, sistem politik masih berkelindan dengan kultur patronase. Di sisi lain pendidikan masyarakat masih rendah sehingga mereka mudah tergiur rayuan politik jangka pendek (Hanafiah, 2023). Kondisi ini menyulitkan bagi siapapun, termasuk yang mengaku memiliki idealisme untuk melakukan perubahan dari dalam. Karena itu, pilihan untuk tetap berada di luar, mengawal proses politik sambil merancang dan menawarkan sistem politik baru yang lebih adil melalui proses dialektika yang berkelanjutan akan lebih bermakna dari pada berada di dalam sistem. Pada saat yang sama, masyarakat dididik untuk lebih cerdas menyikapi pengaruh politik curang dan politik uang. Memaksakan diri untuk masuk ke dalam sistem politik, seperti yang telah pernah dilakukan oleh para aktivis ’98 dan aktvis generasi setelah itu, tidak ubah seperti melakukan aksi bunuh diri, karena membiarkan diri terseret ke dalam arus politik melawan idealisme dan pada akhirnya hanya berkarir sebagai kuli politik musiman.
Ketiga, Aceh sedang berada dalam fase transisi dari konflik ke damai, dan dari bencana ke masa pulih. Artinya, fase tersebut mengindikasikan bahwa institusi pemerintahan dan lembaga politik lainnya belum berada pada level yang dapat diandalkan dan dipercaya. Karena itu, membentuk institusi politik dan pemerintahan yang dapat diandalkan dan dipercaya harus menjadi agenda utama OMS Aceh sekarang dan di masa yang akan datang. Namun untuk dapat mewujudkan itu, diperlukan OMS yang kuat, kritis, dan independen, terutama yang bergerak di bidang advokasi kebijakan publik.
Redaksi; Artikel ini telah publis pertama sekali pada buku “Aceh 20205; Tantangan Masyarakat Sipil” Terbitan Bandar Publishing di Aceh. Anda bisa mendapatkannya melalui tautan https://bandarpublishing.com/produk/aceh-2025-tantangan-masyarakat-sipil/
Daftar Pustaka
Ahmad, Muhammad Yunus, (2021). Menjadi Janda di Kampung Janda: Narasi Historis Perempuan Korban Konflik di Pidie Jaya, Jurnal Adabiya, Vol. 23, No 2 (2021)
Alagappa, Muthiah (2004). Civil Society and Political Change in Asia, Expanding and Contracting Democratic Space, Stanfort: Stanford University Press
Beittinger-Lee V (2010) (Un)civil Society and Political Change in Indonesia: a Contested Arena. London and New York: Routledge.
Hanafiah, Sahlan, (2023). Menjadi Politisi Dermawan: Tantangan Berpolitik di dalam Arena Politik Patronase, dalam Aceh 2024: Membangun Martabat Politik dengan Politik Bermartabat, Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing, 2023
Lorch, J. (2017). Analysing Civil Society in Weak States. Dalam, Civil Society and Mirror Images of Weak States. Governance and Limited Statehood. Palgrave Macmillan, London.
Rawls, John (1999), A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press.
Asian Development Bank (2009). Civil Society Organization: Sourcebook, A Staff Guide to Cooperative With Civil Society Organizations, Philippines: Asian Development Bank
www.un.org/en/civil-society/page/about-us
Tentang Penulis
Sahlan Hanafiah adalah staf pengajar pada Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoral. Ia juga pernah dipercayakan sebagai Kepala Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik UIN Ar-Raniry. Penulis kolom di Sagoetv.com
Muhammad Yunus Ahmad adalah staf pengajar pada Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar Raniry.