SAGOETV | ACEH BESAR – Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, umat Islam di seluruh dunia memasuki musim ibadah yang istimewa yakni, ibadah haji dan qurban. Keduanya bukanlah ritual tahunan, melainkan napak tilas spiritual menuju cinta dan kepatuhan, meneladani jejak Nabi Ibrahim AS dan Rasulullah SAW. Dalam lantunan takbir yang menggema dari masjid hingga rumah-rumah, tersembunyi panggilan suci untuk menguji: sejauh mana kita telah meneladani pengorbanan dan ketaatan mereka?
Dalam Khutbah Idul Adha 1446 H di Masjid Abu Indrapuri, Aceh Besar, Jumat (06/06/2025), Wakil Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Tgk. H. Munawir Darwis, Lc., MA., mengangkat kisah agung Nabi Ibrahim AS sebagai cermin bagi umat.
Mengutip hadis dari Jabir bin Abdillah RA, beliau menyampaikan sabda Nabi Muhammad SAW:
“Bismillah, Allahu Akbar. Ini kurbanku dan kurban dari umatku yang belum berkurban.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah kurban adalah wujud kasih sayang Rasul kepada umatnya. Bahkan dalam keadaan safar sekalipun, beliau tak pernah melewatkan qurban. Tercatat dalam riwayat Shahih Muslim, selama sepuluh tahun di Madinah, Nabi senantiasa berkurban, dan pada Haji Wada’, beliau menyembelih 100 ekor unta.
Namun demikian, Allah SWT menegaskan dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.”
Pesan ayat ini sangat jelas: esensi qurban bukan pada banyaknya hewan yang disembelih, melainkan pada ketulusan dan ketakwaan yang mengiringinya. Sebab ibadah tanpa kesadaran bisa berubah menjadi tradisi kosong yang kehilangan makna.
Imam Abu Hanifah bahkan memandang kurban sebagai kewajiban bagi yang mampu, meski mayoritas ulama menempatkannya sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Maka, betapa ruginya mereka yang memiliki kelapangan rezeki namun enggan mempersembahkan satu pun hewan kurban sebagai tanda cinta kepada Allah SWT.
Jejak Ibrahim As
Saat takbir dan sembelihan berlangsung di tanah air, jutaan jamaah haji di Tanah Haram menjalani puncak ibadah: wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melontar jumrah, dan thawaf mengelilingi Ka’bah. Seluruh prosesi itu berakar dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS — kisah cinta kepada Tuhan yang tak tergoyahkan oleh apapun.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hajj ayat 27:
“Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta yang kurus, dari segenap penjuru yang jauh.”
Seruan ini telah menggema sepanjang sejarah, menyentuh hati jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia. Banyak yang datang bukan karena mampu, tetapi karena mau—karena panggilan Allah lebih kuat daripada segala keterbatasan.
Rasulullah SAW pun bersabda:
“Barangsiapa mampu meninggal di Madinah, hendaklah ia wafat di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafaat bagi siapa yang wafat di Madinah.” (HR. Tirmidzi)
Dalam dua ibadah ini—kurban dan haji—tercermin pelajaran besar tentang keikhlasan dan penyerahan diri. Nabi Ibrahim diuji dengan perintah yang mengguncang nurani: menyembelih anak yang amat dicintainya. Bukan karena Allah tidak tahu cintanya, melainkan karena cinta itu perlu diuji: apakah lebih besar kepada anak, atau kepada Tuhannya?
Hari Raya Idul Adha bukanlah sekadar “festival darah dan daging”, tetapi sebuah perayaan ketundukan dan keikhlasan. Hewan kurban hanya simbol; yang sejatinya harus “disembelih” adalah ego, hawa nafsu, dan keterikatan duniawi yang menghalangi kedekatan dengan Ilahi.
Saat kita bersujud dalam shalat Idul Adha, sejatinya kita sedang memperbarui janji sebagai hamba: bahwa hidup ini bukan milik kita, tetapi milik-Nya. Kurban yang kita persembahkan bukan hanya daging untuk dibagikan, melainkan cinta yang tulus kepada Allah, dibungkus dalam ketakwaan.
Semoga gema takbir yang melingkupi hari-hari ini bukan hanya terdengar di langit, tapi juga menggetarkan hati. Dan semoga langkah-langkah para tamu Allah di Tanah Suci menjadi pengingat bagi kita semua—bahwa hidup ini hanyalah perjalanan pulang, menuju Sang Pemilik Segalanya.[]