Oleh: Muhajirul Fadhli*
Setelah tiga puluh hari menunaikan rangkaian ibadah haji di Makkah al-Mukarramah, tibalah saatnya jamaah haji asal Aceh menapakkan kaki di kota suci Madinah al-Munawwarah, penutup agung dari perjalanan spiritual yang sarat akan makna. Mereka sebelumnya terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh menuju Jeddah, dan kini akan kembali ke tanah air melalui Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz di kota Madinah. Namun sebelum itu, Allah memberi mereka satu anugerah terakhir yaitu menikmati ketentraman hati di kota Madinah, kota tenang yang meluruhkan ego, melunakkan hati, dan menanamkan rindu tak berkesudahan.
Begitu tiba, suasana kota Madinah menyambut dengan kelembutan yang sulit dilukiskan. Burung merpati yang berterbangan seakan menyambut para jemaah. Udara pagi dan malam yang sejuk, derap langkah menuju masjid yang tertib, serta wajah-wajah penuh keramahan dari penduduknya membuat hati seolah tengah berada dalam pelukan Rasulullah Saw. Lirik lagu yang belakangan ini viral “Qalbī Fīl Madīnah” dari Maher Zein yang kerap didengarkan selama ini, kini tak sekadar alunan nada karena ia menjadi kenyataan yang hidup, meresap di dada. Hati mereka pun seakan mengucap, tempat ini berbeda dari yang lain, benar saja hatiku ada di Madinah.
Pusat kerinduan itu tak lain adalah Masjid Nabawi. Masjid dengan arsitektur sangat indah yang dikelilingi payung-payung otomatis. Setelah mengalami beberapa kali perluasan, kini mampu menampung setengah juta jemaah bahkan lebih.
Di sanalah cinta dan rindu bertemu, di antara shaf-shaf jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia, laki-laki dan wanita, tua dan muda larut dalam berdzikir, bershalawat, serta menumpahkan harapannya kepada Allah. Jemaah Aceh pun tampak berjalan khusyuk dari hotel menuju masjid, menyatu dalam lautan manusia yang dipenuhi kedamaian. Tidak seperti di Makkah yang memerlukan bus shalawat antar-jemput, di sini mereka dapat menapaki jalanan dengan kaki sendiri dan semoga setiap langkah itu ditulis sebagai amal yang tak terputus. Rasulullah SAW bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram.”
Merdunya bacaan imam-imam Masjid Nabawi menjadi magnet tersendiri yang mengalir indah dalam setiap shalat, membuat hati bergetar. Setelah Subuh dan Ashar, tampak halaqah-halaqah Al-Qur’an di berbagai tiang masjid, diikuti anak-anak hingga dewasa. Di beberapa tempat tertentu, para jamaah haji dan umrah berkesempatan memperdengarkan tilawah Al-Qurannya di hadapan seorang syekh guna disempurnakan bila masih keliru. Seakan masjid ini tidak hanya mendamaikan hati, tapi juga menempa ilmu.
Saat yang paling menyentuh dari semuanya adalah ketika para jamaah berdiri di hadapan makam Rasulullah Saw. Hati berdebar, langkah tertahan menyampaikan salam dan juga titipan salam dari saudara dan handai taulan, tidak sedikit yang menangis dalam diam, tidak terasa air mata meleleh bukti kerinduan, menyadari bahwa mereka kini berdiri di sisi kekasih Allah yang terpuji, sosok agung yang selama ini dibacakan shalawat untuknya di dalam shalat, kini berada di hadapan mata. Dialah kunci keselamatan, sang Rahmat bagi seluruh alam. Bait qasidah yang populer berbunyi, “Kullu al-qulūbi ilā al-Ḥabībi tamīlu…” benar adanya, setiap hati yang tulus akan condong mencintainya.
Lafaz salam pun terucap dengan penuh cinta dan haru, “Assalāmu ‘alayka yā Rasūlallāh, assalāmu ‘alayka yā khīratallāh min khalqih, assalāmu ‘alayka yā Ḥabīballāh…“. Mereka pun melanjutkan ziarah ke makam sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq dan sayyidina Umar bin Khattab, yang berdampingan dengan Rasulullah SAW.
Masuk ke Raudhah menjadi dambaan setiap jiwa, tempat terijabahnya doa. Kini aksesnya bisa dijadwalkan sendiri melalui aplikasi Nusuk yang dapat diinstal di ponsel masing-masing. Waktu ziarah teratur sedemikian rupa, untuk laki-laki lebih fleksibel, sementara perempuan bisa masuk selepas Subuh hingga Dhuha, dan selepas Isya hingga malam menjelang. Petugas haji Aceh tak ingin ketinggalan mengambil kemulian melayani para jemaah, membantu lansia dengan kursi roda, membimbing masuk ke Raudhah, dan mengarahkan ziarah penuh adab.
Dalam satu hari khusus, jamaah juga diajak ziarah menapak tilas beberapa situs-situs bersejarah di Kota Madinah. Di Masjid Quba’, mereka menunaikan shalat dua rakaat sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang tertulis di mihrab masjid, “Barang siapa berwudhu di rumahnya lalu datang ke Masjid Quba’, kemudian shalat dua rakaat di dalamnya, maka ia mendapatkan pahala seperti umrah”. Lalu mereka singgah di Masjid Qiblatain, tempat bersejarah saat kiblat berpindah dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.
Ziarah diakhiri di kaki Gunung Uhud, di tempat para 70 syuhada bersemayam yang kelihatan membisu namun hakikatnya mereka “hidup”, dijamin rizkinya oleh Allah sebagaimana tertera dalam surah Al-Baqarah ayat 154 dan surah Ali ‘Imran 169. Di hadapan makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, para jamaah menangis tersedu, mengenang perjuangan yang membentangkan jalan iman bagi milyaran kaum muslimin hari ini. Rasulullah Saw bersabda, “Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya.”

Namun, semua perjalanan ini tidak mungkin akan begitu bermakna tanpa ilmu manasik yang dibekali sejak sebelum keberangkatan di tanah air. Sebab ibadah di tanah suci bukan hanya tentang raga, tapi juga jiwa, akhlak, dan ilmu yang menuntun langkah di tanah suci.
Kini, hari-hari suci di Madinah telah tiba di ujungnya. Jamaah bersiap kembali ke Aceh. Tapi satu hal pasti, mereka pulang tidak seperti saat mereka datang. Hati mereka telah disentuh cahaya, wajah mereka telah basah oleh doa-doa. Di balik koper jemaah haji yang dibawa pulang, mungkin ada oleh-oleh boneka unta, sajadah dan minyak wangi, namun tidak seberapa bila dibandingkan dengan doa yang diaminkan saat bertemu sanak keluarganya.
Saat pesawat mulai mengangkasa menuju ke tanah air tercinta, satu bisikan lirih bergema dari hati para jemaah “Qalbī fīl Madīnah wajadas sakinah..” Hatiku terpaut damai di kota ini, semoga suatu saat kembali lagi.
Akhirnya, semoga tulisan sederhana ini menjadi inspirasi kepada semua kita untuk terus bersyukur kepada Allah Swt karena ditakdirkan menjadi umatnya Nabi Muhammad Saw, sang pemberi syafaat di akhirat kelak, seraya senantiasa bershalawat dan menyampaikan salam untuknya dimanapun berada sebagai ekspresi rasa cinta dan rindu kepadanya. Kiranya bila ada kelebihan harta, utamakan untuk berziarah ke tanah suci baru ke tempat lainnya. (Ig: muhajirulfadhli)
*Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh 2025 – Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Banda Aceh




















