SAGOETV | BANDA ACEH – Ekonom UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Azharsyah, S.E.Ak., M.S.O.M., mengungkapkan bahwa Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang telah digelontorkan lebih dari seratus triliun rupiah masih menyisakan banyak tanda tanya dalam hal efektivitas dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh.
Dalam diskusi podcast Sagoetv, pada 9 Juli 2025, Prof. Azharsyah menjelaskan bahwa dana Otsus menunjukkan paradoks: di satu sisi memberikan kontribusi terhadap pembangunan, namun di sisi lain belum berdampak signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi daerah yang berkelanjutan.
“Kalau dikatakan tidak berkontribusi terhadap pembangunan, itu tidak tepat. Tapi kalau dikatakan berhasil besar, juga belum terbukti. Data pertumbuhan ekonomi, indeks ketimpangan wilayah, dan kemiskinan semuanya masih menyisakan pekerjaan rumah,” ujarnya.
Menurut data yang dipaparkan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh tumbuh dari Rp144 triliun pada 2017 menjadi Rp206 triliun lebih pada 2024, dengan rata-rata pertumbuhan 7,6 persen. Namun, pertumbuhan ini dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kemajuan ekonomi rakyat.
“Pertumbuhan yang dicapai justru banyak disumbang sektor ekstraktif seperti pertambangan, yang minim menyerap tenaga kerja lokal. Ini pertumbuhan yang tidak inklusif,” jelasnya.
Selain itu, meskipun indeks ketimpangan antarwilayah menunjukkan penurunan – misalnya koridor utara dari 0,429 pada 2010 menjadi sekitar 0,2 – tetapi angka kemiskinan Aceh per Maret 2024 masih bertahan di kisaran 14,5 persen, tertinggi di Sumatera dan jauh di atas rata-rata nasional.
Prof. Azharsyah juga menyoroti tingginya ketergantungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) terhadap dana transfer pusat yang mencapai 60–70 persen setiap tahunnya. Ia menyebut fenomena ini sebagai Dutch Disease, yang secara psikologis menurunkan semangat kemandirian daerah.
“Sebelum Otsus, Aceh tetap bisa berjalan. Sekarang justru kita terlalu bergantung, daya juang daerah untuk menggali potensi ekonomi sendiri melemah,” tegasnya.
Sebagian besar dana Otsus disebut terserap ke sektor infrastruktur, sedangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat masih minim. Hal ini tampak dari kurangnya upaya serius membangun sektor strategis seperti agribisnis, perikanan, ekonomi maritim, pariwisata halal, hingga penguatan branding produk unggulan seperti kopi Gayo.
“Seharusnya kopi tidak hanya diekspor dalam bentuk biji, tapi dikelola, dikemas, dan dijual dengan branding kuat. Sayangnya, belum ada perhatian serius ke sana,” kata Prof. Azharsyah.
Ia mengusulkan agar dana Otsus dikelola lebih transparan, salah satunya dengan membangun dashboard publik yang bisa dipantau masyarakat. Selain itu, tokoh-tokoh dayah dan ulama juga perlu dilibatkan dalam advokasi sosial seperti penguatan literasi ekonomi, pariwisata halal, dan pemanfaatan wakaf produktif.
Optimalisasi Zakat dan Wakaf
Potensi zakat di Aceh yang diperkirakan mencapai Rp2–4 triliun per tahun juga dinilai belum dimaksimalkan. Realisasi yang ada masih berkisar ratusan miliar. Padahal, zakat dan wakaf produktif dapat menjadi solusi jangka panjang dalam menciptakan jaring pengaman sosial.
“Zakat bisa mengambil alih sebagian fungsi negara dalam mengatasi kemiskinan. Begitu juga wakaf produktif jika disosialisasikan dengan benar,” ungkapnya.
Menutup diskusi, Prof. Azharsyah menegaskan bahwa sekalipun Otsus diperpanjang, Aceh tetap membutuhkan strategi keluar (exit strategy) untuk tidak terus bergantung pada dana pusat.
“Jangan sampai Otsus diperpanjang hanya untuk memperpanjang ketergantungan. Kita harus membangun kemandirian ekonomi berbasis potensi lokal,” pungkasnya.[]