Ketika diminta untuk menyajikan tentang Covid-19 secara tulisan, saya agak ragu untuk memulainya, karena tidak paham sama sekali tentang virus Corona.
Karena itu, apa yang hendak saya kupas dalam kajian ini murni perspektif sebagai individu yang tidak paham masalah yang akan saya tulis. Mengapa saya tidak paham? Jawabannya sangat sederhana, karena bukan bidang keilmuan, terlebih lagi di dalam membidani dunia virus. Ihwal pengetahuan saya tentang virus hanya saya dengar, pada awalnya, pada persoalan virus di komputer. Konon, ketika membeli komputer, selalu ditawarkan program untuk anti-virus. Jadi, program tersebut digunakan, jika PC saya sudah dikategorikan sebagai bervirus. Demikianlah kisah awal saya mengenal virus.
Ketika saya masih kanak-kanak, salah satu kebiasaan adalah meminum air sumur, langsung dari timba. Ketika mengupas mangga muda yang jatuh, langsung diselesaikan dengan makan, tanpa mencuci sedikitpun. Ketika mengupas kelapa muda curian, biasanya dikupas dengan menggunakan gigi saja. Main di kubangan yang berlumpur adalah hal yang sudah biasa. Saat itu, protokol kesehatan sesuai apa yang kami pahami dari kebiasaan sehari-hari.
Kalau pun sakit, maka kalau ke mantri, mesti disuntik. Sakit pun mengikuti musim yang ada. Jika sedang sakit cacar, maka hampir satu kampung sakit cacar. Begitu juga kalau sakit mata, maka rata-rata anak akan sakit mata. Obatnya pun biasanya hanya ramuan tradisional, seperti dedaunan dan air sirih yang diteteskan ke dalam mata. Sakit atau wabah apapun selalu dilihat sebagai sesuatu yang wajar dan pasti akan dilewati masa tersebut.
Lain halnya dengan wabah Covid-19. Di situ ada lautan informasi. Orang-orang berlomba membagi informasi, kendati belum begitu pasti. Wabah ini juga bisa digiring ke isu politik, terlebih lagi konspirasi. Seolah-olah wabah ini memiliki dampak ganda, yaitu tidak hanya pada tubuh manusia, tetapi juga pada jiwa manusia itu sendiri.
Ketika pemerintah memberlakukan kerja, ibadah, dan belajar di rumah, maka kediaman kita telah berfungsi kembali sebagaimana sediakala. Seseorang yang jarang bertemu atau bersama dengan keluarga, akan memiliki waktu yang cukup. Karena selama ini, mereka hanya berjumpa di malam hari, khususnya mereka yang bertempat tinggal di perkotaan. Rumah ibadah yang selama ini ramai dikunjungi, terlihat sepi. Begitu juga dengan sekolah dan perkantoran. Singkat kata, kediaman menjadi pusat kegiatan selama wabah Covid-19 ini.
Para orang tua, tidak hanya harus bekerja dari rumah, tetapi juga menjadi guru. Kita mengantungkan diri kita pada kuota internet. Berjumpa melaui video menjadi tren. Muncul berbagai kreatifitas manusia selama berada di rumah saja. Melalui internet, jarak fisik menjadi bukan hal yang bermasalah, karena masih bisa bersua secara visual. Kondisi ini memberikan makna baru terhadap relasi sosial masyarakat selama wabah Covid-19.
Intinya, masyarakat selama beberapa bulan akan merasakan kedekatan dengan sesama anggota inti keluarga. Kondisi ini memang jarang didapatkan oleh masyarakat sebelumnya. Ibu akan memasak di dapur. Anak-anak akan bermain bersama ayah. Ayah akan bekerja dari laptop atau android mereka. Pembayaran akan lebih banyak dilakukan secara daring pula. Karena itu, prediksi kemuncul masyarakat atau masyarakat virtual telah terwujud, tanpa harus disosialisasikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, ada dampak serius dari Covid-19 terhadap realitas sosial masyarakat. Namun, dampak ini adalah kalau kita sama sekali tidak keluar rumah selama wabah ini. Sebab berita yang sampai ke rumah hanya berkenaan dengan wabah tersebut. Akan tetapi, ketika saya keluar rumah untuk mengamati perilaku masyarakat tentang Covid-19, maka hal tersebut sama sekali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah. Ada semacam keyakinan secara teologis tentang wabah ini. Ada pula yang memandang secara konspiratif. Tidak sedikit pula yang memandang ini sebagai takdir atas perilaku manusia selama ini.
Beberapa komunitas masyarakat yang pernah saya amati, sama sekali tidak menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap penyebaran virus ini. Beberapa pasar, masyarakat malah melakukan interaksi dan transaksi sebagaimana biasanya. Bahkan ketika kita memakai masker di kampung-kampung, merasa sedikit aneh. Sebab, hanya kita yang memakai masker, selebihnya masyarakat seperti biasa. Paling tidak, ini dijumpai ketika saya mengamati beberapa perilaku masyarakat di arena publik di pedalaman Aceh.
Di sini masyarakat memiliki sistem pengetahuan tersendiri dalam merespon wabah Covid-19. Melalui konsep turi (kenal), mereka tahu dengan siapa berinteraksi. Mereka juga tahu, bagaimana menempatkan makna musibah dan wabah dalam kerangka berpikir. Sebagian masyarakat memiliki memori kolektif tentang penyakit menular.
Ketika Covid-19 ini mencuat, masyarakat langsung mengingat akan wabah-wabah yang pernah muncul dalam sejarah Aceh. Ada warga yang menyebutkan bagaimana korban berjatuhan pada saat wabah pernah muncul di Aceh.
Wabah kerap hadir dari luar masyarakat Aceh. Ketika penjajah Belanda bertapak di Aceh, wabah menular pernah hadir. Ketakutan dan kekhawatiran selalu ada, namun di ujung wabah tersebut, masyarakat Aceh, selalu menyebutkan nama Allah. Mereka menganggap ini ada campur tangah Allah, baik dalam bahasa musibah atau kutukan.
Oleh karena itu, manakala sistem pengetahuan dan informasi yang bertubi-tubi datang ke hadapan masyarakat, mereka tetap memiliki memori kolektif akan wabah yang menular di Aceh. Memori ini lantas menjadi sistem pengetahuan yang membuat masyarakat agak tidak tertarik mengikuti anjuran pemerintah untuk menerapkan social distancing. Pada saat yang sama, rasa ingin tahun terhadap Covid-19 pun tidak pudar. Gejala membagi informasi tentang Covid-19 dari berbagai sumber dalam berbagai group media sosial adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari sama sekali. Banjir informasi ini sama sekali tidak dapat menghantam memori kolektif. Bahkan ketika pemberlakuan jam malam di Aceh, memori kolektif tidak berdekatan dengan bahaya Covid-19, melainkan pada masa-masa konflik di Aceh selama beberapa tahun.
Sistem pengetahuan masyarakat yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah dalam melakukan social distancing rupanya membuat masyarakat kerap disebut sebagai tungang. Gap ini menyiratkan bahwa masyarakat, khususnya di Aceh, memiliki cara pandang tersendiri di dalam menghadapi wabah Covid-19. Cara pandang ini memengaruhi perilaku mereka juga. Ketika diminta tinggal di rumah, maka minum kopi di warung adalah bentuk responnya.
Ketika diminta untuk jaga jarak, maka responnya adalah relasi sosial tetap tidak berjarak. Ketika diminta untuk menghidupkan pageu gampong, maka blokade jalan masuk ke perkampungan adalah jawabannya. Respon yang tidak sesuai ini, memang bukan akan menambah jumlah penderita Covid-19 di Aceh, tetapi menunjukkan bahwa masyarakat memiliki cara pandang dan perilaku tersendiri di dalam menghadapi masalah ini.
Akan tetapi fenomena positif yang amat menggembirakan adalah wujudnya simpati dan empati sosial masyarakat. Dewasa ini, media sosial telah berubah fungsinya untuk menggalang bantuan sosial kepada siapapun yang tertimpa musibah. Fenomena jepret dan unggah telah meransang masyarakat untuk tampil terdepan di dalam membantu sesama selama wabah ini. Di sini tingkat kepercayaan dan akuntabilitas telah mengalahkan program-program bantuan dari pemerintah, yang kurang tepat sasaran. Bahkan ketika data dan bantuan tidak sejalan, masyarakat pun mulai sadar untuk mengembalikan bantuan yang mereka terima.
Mereka bangga berbuat kebajikan terhadap sesama. Bahkan media elektronik kerap memublikasikan aktor-aktor yang ikhlas di dalam membantu sesama. Publikasi kebajikan ini memberikan energi positif kepada siapapun untuk membangkitkan simpati dan empati sosial.
Karena itu, medial sosial telah menjadi platform baru bagi masyarakat untuk membangun kebersamaan ketika wabah Covid-19 melanda masyarakat dunia. Sebagian masyarakat memang tidak patuh pada program social distancing, tetapi masyarakat sangat cepat tersentuh jika ada sesuatu atau seseorang yang harus dibantu.
Fenomena berduyung-duyung untuk mengirimkan bantuan sebagai bagian dari aksi solidaritas ini memang masih berkutat pada persoalan sosial dalam setiap musibah. Bahkan setiap bantuan terkadang wajib dipublikasikan di media sosial. Kegiatan ini tentu mendulang emosi dari netizen untuk ikut memberikan bantuan. Rasa ingin dilihat oleh orang lain – jika bukan riya – rupanya menjadi penanda baru dalam membangun kebersamaan. Selama Covid-19, apapun yang diusahakan oleh seorang individu untuk membantu mereka yang memiliki dampak dari wabah ini, selalu disambut positif, seperti anak kecil yang membongkar celengannya hingga para selebriti yang menyumbang milyaran rupiah.
Dampak lainnya adalah mereka yang memiliki akun Youtube juga ikut kecipratan penghasilan karena wabah ini. Tanpa perlu menyebut nama channel, mereka yang piawai merebut kesempatan ini mendapatkan jumlah tontonan yang mencapai jutaan pemirsa, karena mengangkat isu Covid-19 dalam beberapa konten channelnya. Kesempatan kemanusiaan untuk kepentingan bisnis ini memang sedang menjadi tren di kalangan tertentu. Bisnis emosi berupa mengais simpati dan empati pemirsa di beberapa platform media sosial, memang kerap terjadi di kalangan yang mampu mengemas setiap musibah menjadi berkah, di mana berujung pada penghasilan yang fantastis. Sehingga ada kritikan untuk pada konten kreator supaya memiliki kepekaan untuk menyumbang dari channel mereka untuk penanganan wabah Covid-19 ini.
Karena itu, setiap bencana pasti yang merana dan bahagia. Ketika Tsunami di Aceh, masih tersimpan dalam memori, bagaimana gaji fantastis yang diterima oleh mereka yang terlibat dalam rehab rekon. Terkadang gaji mereka bisa membangun satu rumah untuk para dhuafa. Tidak sedikit pula mereka yang menikmati gaji tersebut dengan plesiran ke luar Aceh. Kondisi ini berakhir pada tahun 2009, manakala dana kemanusiaan di Aceh sudah dihentikan programnya. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan dampak ekonomi ketika wabah Covid-19 melanda dunia. Dampak ekonomi cukup dirasakan oleh masyarakat secara umum, kendati di dalamnya ada sekelompok masyarakat yang menikmati dampak positifnya.
Berbagai narasi di atas memperlihatkan bahwa kemunculan Covid-19 di era digital telah menyebabkan hampir semua lapisan masyarakat terlibat di dalamnya. Tentu saja realitas ini memperlihatkan bahwa antara musibah dan solidaritas sosial dapat dikaitkan oleh internet. Bagaimana, misalnya, jika pada saat wabah Covid-19 ini tidak ada sama sekali internet. Tentu distribusi informasi tidak akan setajam yang dirasakan saat ini. Guru dan murid tidak bertemu di ruang pembelajaran melalui sistem daring.
Tidak ada berita up-date yang dapat dinikmati oleh masyarakat tentang peta penyebaran wabah ini. Tentu saja, tren positif ini harus dinikmati oleh masyarakat dewasa ini. Kendati ada juga efek negatif dari kehadiran sistem digital yang berdampak ada sikap dan karakter masyarakat. Dengan kata lain, kemunculan wabah Covid-19 secara global telah memaksa masyarakat menyesuaikan kehidupan mereka sehari-hari dari ancaman virus ini, kendati mereka tidak berada di garda terdepan.
Akhirnya, dari uraian di atas pula dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, kemunculan wabah Covid-19 sejak akhirnya tahun 2019 telah mengubah sebagian pola masyarakat. Respon mereka mulai dari bersifat teologis-konspiratif hingga rasional-analitis. Semua respon ini juga telah mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat di dalam menghadapi wabah ini. Kedua, dalam situasi musibah ini, ada kelompok masyarakat yang bermata air dan berair mata.
Bagi mereka yang bermata air, tentu adanya simpati dan empati sosial telah membantu mereka dari keperluan sehari-hari. Akan tetapi, bagi mereka yang bermata air, kemunculan wabah ini tentu membawa berkah dalam menambah pundi-pundi harta mereka. Namun demikian, mereka yang berair mata tampaknya lebih banyak ditemukan dalam masyarakat, khususnya yang kehilangan pekerjaan karena wabah Covid-19.
Kedua, terdapat pola baru di dalam relasi sosial selama Covid-19 ini. Karena wabah ini telah mengglobal, maka seolah-olah masyarakat membangun benteng sosial dalam pemikiran mereka. Keadaan ini dipicu oleh banjir informasi yang membuat sebagian masyarakat, ada yang panik dan santai di dalam menghadapi berbagai data dan fakta, sebagai akibat dari wabah Covid-19.
Hal ini berakibat pada konstruksi imajinasi yang harus dibangun dalam relasi sosial. Konstruksi dan imajinasi sosial ini merupakan hasil dialektika masyarakat dari cara mereka menelan dan mengunyah informasi yang beredar tentang penyakit ini. Dalam bahasa sederhana, informasi telah membentuk cara masyarakat di dalam berkehidupan, tidak terkecuali saat wabah Covid-19 ini hadir di dalam alam pikiran mereka.
Ketiga, masyarakat digital (digital society) atau netizen tampaknya agak berbeda merespon terhadap kemunculan wabah ini. Ketika berjumpa dengan beberapa kelompok masyarakat di beberapa kampung di Aceh, mereka sama sekali tidak mau teracuni pikiran mereka dengan informasi dari internet. Bagi mereka, wabahh Covid-19 tidak harus direspon secara panik. Mereka lebih santai tampaknya, dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang bersandarkan pada kuota internet. Kesantaian ini bukan berarti tidak paham tentang bahaya virus Corona, melainkan jangan direspon secara berlebihan. Karena itu, ketika kita beberapa kota besar, agak aneh jika kita tidak memakai masker. Sebaliknya, ketika saya mengunjungi beberapa kampung di Aceh, terasa aneh dan canggung, manakala mereka melihat saya memakai masker.