Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Dalam esai ini, saya tertarik mengupas tentang wanita di masa kini dan masa yang akan datang. Tema ini menarik, sebab selama ini wanita telah berperan tidak lagi di ruang privat, tetapi juga dalam ruang publik, hingga menempati berbagai pos penting jabatan dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, perdebatan wanita menjadi pemimpin tidak lagi mencuat ke permukaan. Akan tetapi yang menjadi persoalan di masa depan adalah bagaimana fungsionalisasi peran wanita seiring dengan perkembangan teknologi yang sudah mencapai 4.0.
Era ini ditandai dengan kebangkitan Peradaban Planetari yang semua hal telah saling terkoneksi hingga mewujudkan satu konsep baru yaitu Artificial Intelligence. Era ini tentu menuntut suatu pemahaman yang komprehensif, ketika beberapa peran wanita juga dewasa ini telah digantikan melalui teknologi Artificial Intelligence dan Big Data.
Paling tidak, ada fenomena yang membuat saya untuk menulis tentang hal ini. Pertama, baru-baru ini, dalam dunia Artificial Intelligence telah diciptakan robot perempuan yang dinamai sebagai Sophia. Robot perempuan telah menjadi warga negara di Saudi Arabia.
Sophia diundang ke berbagai seminar di beberapa negara. Salah satu pertanyaan yang sering disampaikan ke Sophia adalah: Apakah dia memiliki perasaan sebagai perempuan? Apakah dia memiliki rasa cinta sebagaimana layaknya manusia? Intinya, dia selalu ditanyakan tentang emosi atau perasaan sebagai wanita biasa.
Pertanyaan ini selalu dijawab dengan senyuman oleh Sophia dan dia sangat ingin mengatakan bahwa dia memiliki perasaan atau emosi. Dapat dibayangkan jika suatu hari nanti, Sophia memiliki perasaan seutuhnya seperti perempuan dan dia mampu merespon setiap perasaan lelaki.
Bahkan dalam satu wawancara yang berjudul “Will Smith Tries Online Dating,” Will Smith berusaha untuk mencium Sophia. Dari penelusuran Dunia Maya, sekarang terdapat beberapa robot perempuan seperti Harmony, Emma, Samantha, Erica, dan lain sebagainya.
Uniknya, revolusi teknologi ini belum begitu tertarik untuk menciptakan robot lelaki. Kendati begitu ada juga robot-robot yang diciptakan sebagai tentara atau hanya menjadi pembantu, seperti Asimo. Akan tetapi mereka tidak begitu terkenal, dibandingkan dengan kemunculan robot wanita, sebagaimana muncul dengan nama di atas.
Dalam layar kaca, kemunculan robot lelaki wujud seperti Robocop, Terminator. Bahkan dalam film Transformer, hampir semua robot dari luar angkasa memiliki suara lelaki. Belum dapat diperkirakan kapan robot-robot seperti itu akan wujud dalam dunia nyata. Paling tidak, kita sudah melihat kehebatan mereka dalam layar kaca.
Biasanya, dampak yang paling krusial dalam kehidupan nyata adalah muncul boneka-boneka yang menyerupai mereka. Akan tetapi ini hanya untuk konsumsi anak-anak. Sementara kehadiran robot wanita dalam dunia nyata rupanya memiliki keinginan lebih, yaitu bukan untuk anak-anak, tetapi untuk kalangan dewasa.
Ketika saya masih kanak-kanak, ada robot perempuan di dalam drama televisi yang dikenal sebagai Vicky dalam The Small Wonders. Dia ada anak perempuan yang berperan sebagai robot dalam drama televisi tersebut. Dalam kesehariannya, Vicky membantu beberapa pekerjaaan rumah. Namun, dalam drama tersebut, pemeran robot adalah seorang artis cilik yang bernama Ann Smith Lawson.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak, minimal anak saya, sudah mulai berdialog dengan suara perempuan dari Google Voice. Perangkat ini mampu membantu anak saya membuat pekerjaan rumah. Mereka pun berdialog ibarat seperti kawan yang menemani mereka ketika mengalami kesulitan.
Google Voice ini mampu berbahasa Indonesia. Ketika anak-anak belajar melalui perangkat ini, ayah dan ibu, sibuk dengan bercanda di WAG. Akhirnya, anak mereka ditemani oleh Google, ketimbang oleh ibu bapak mereka sendiri.
Membayangkan jika nantinya sosok seperti Sophia akan berfungsi seperti Vicky bagi anak-anak. Lantas anak lelaki mereka yang hobi main game akan ditemani oleh berbagai sahabat dalam dunia virtual. Sang Ayah dan Ibu ditemani oleh Sophia yang lain berfungsi sebagai teman dewasa.
Maka rumah tangga akan menjadi semacam keluarga Humanoid. Kendati fenomena ini belum wujud, saya memprediksi suatu saat nanti, kondisi ini akan tercipta dalam keluarga kita.
Lantas, dimana peran wanita yang sebenarnya. Dewasa ini, peran-peran wanita dalam rumah tangga sudah digantikan secara perlahan-lahan. Dalam konteks ini, sang Lelaki pun dengan berbagai kapasitasnya sudah merasakan nyaman, ketika beberapa hal yang biasanya dilakukan oleh perempuan sudah digantikan oleh berbagai perangkat teknologi. Di sini kita tidak mendiskusikan berbagi peran. Namun peran wanita dan lelaki yang sudah dibagi-bagi. Di situ titik temunya adalah teknologi.
Kenyataan di atas merupakan sekilas dari perubahan yang terjadi dalam peradaban planetari. Era ini muncul setelah era globalisasi. Banyak para sarjana yang mengupas dampak era ini di negara-negara maju. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, dampak dari peradaban planetari ini sudah muncul di negara-negara berkembang atau bahkan negara-negara yang tidak maju.
Proses kemajuan ini tentu berimplikasi pada sistem dan tatanan sosial masyarakat. Salah satu sendi kehidupan adalah keluarga (family). Kelompok terkecil masyarakat ini tentu menjadi bagian yang sangat besar, ketika mereka menjadi warga global (global citizen).
Unit terkecil ini terkadang menjadi “warga” sesuai dengan kebiasaan mereka di dalam dunia maya. Sang Ayah memiliki komunitas tersendiri, mulai dari sisi pekerjaan, hobi, alumni, keluarga, dan berbagai komunitas lainnya yang memenuhi androidnya. Sementara itu, sang Anak pun tidak kalah, mereka memiliki komunitas tersendiri yang mungkin lebih banyak dari sang Ayah. Tidak jauh berbeda dengan sang Ibu yang juga memiliki komunitas online dengan berbagai nama grup. Akhirnya, para individu ini, walaupun tinggal dalam satu rumah, namun memiliki kesibukan pikiran yang berbeda-beda.
Kesibukan pikiran ini menciptakan zona aman masing-masing di dalam rumah, dimana tidak mau diganggu oleh antara satu sama lain. Sang Anak yang memiliki kebiasaan bermain game online, tentu memiliki konsentrasi penuh untuk menaikkan level permainannya hingga ke puncak.
Sang Ibu yang hobi mendengarkan nasihat-nasihat Ustaz A, sibuk mencari kesamaan demi kesamaan kasus yang dibedah oleh sang Ustaz dengan kehidupan dirinya sendiri.
Sang Ayah pun tidak tinggal diam, dia harus menjawab setiap diskusi di WAG sambil mengikuti perkembangan berita online. Dapat dibayangkan jika keluarga ini seperti salah satu keluarga yang sangat terkenal saat ini, dimana anak-anaknya memiliki Vlog di Youtube untuk mengais rezeki secara mandiri.
Kondisi keluarga yang menyematkan isi pikiran mereka di dunia maya telah menjadi fenomena baru. Panutan pun berubah. Cara memandang masalah pun sudah memiliki perspektif global. Perubahan tata kehidupan ini tentu saja memiliki dampak pada reproduksi nilai, etika, dan moral di dalam keluarga tersebut.
Namun apa yang akan terjadi jika kehidupan keluarga di masa depan lebih jauh dari apa yang sedang dialami saat ini. Koneksifitas telah melahirkan kreatifitas. Ruang keluarga menjadi ajang untuk melahirkan berbagai ide kreatif yang merubahan lanskap pekerjaan di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian orang tidak lagi mengingat banyak hal, melainkan cukup mengingat kata kunci, yang kemudian berubah mengantar seseorang pada pintu atau jendela informasi yang hampir tidak terbatas. Tsunami informasi ini kemudian merubah cara pandang manusia saat ini. Tentu gelombang ini tidak mengenal istilah gender.
Siapapun akan tersapu pemikiran dan jiwa mereka oleh air bah informasi. Akibatnya, tantangan dan peluang di masa yang akan datang akan dialami oleh siapa saja yang sudah tidak dapat keluar dari kecanduan informasi di dunia maya.
Karena itu, dampak langsung dari revolusi informasi tersebut telah dirasakan adalah mulai dari keluarga hingga negara. Dalam hal ini, wanita yang paling mendapatkan pengaruh dari kondisi kekinian. Hal tersebut disebabkan, sebagaian peran wanita mulai dari ruang privat hingga ruang publik, telah digantikan oleh kecanggihan teknologi informasi.
Namun, keadaan ini juga memberikan peluang yang amat luas bagi wanita untuk mengisi berbagai peran yang telah disediakan dalam era peradaban planetari. Sebagai contoh, apa yang membuat kita mengatakan sukses dan bahagia, ketika seorang wanita mampu membimbing keluarga, ketika seorang anak menjadi jutawan di media sosial atau anak yang hafal Alquran.
Apa makna terharu bagi seorang wanita, ketika anak mereka lulus audisi di pancari bakat oleh televisi swasta atau lulus sebagai santri untuk masuk pada suatu pesantren yang menawarkan berbagai program pendidikan. Apa kriteria berhasil, ketika seorang wanita mampu menjalankan pengobatan alternatif melalui ruqyah dengan seorang wanita mampu duduk sebagai pemimpin di lembaga pemerintahan.
Kriteria-kriteria kebahagiaan, kesuksesan, dan keberhasilan tentu tidak akan sama manakala menilai tiga gejala di atas. Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau lazimnya sekarang disebagai sebagai ekspatriat, di salah satu negara di Asia Timur memiliki gaji beberapa juta sebagai asisten rumah tangga.
Akan tetapi, dia mengupload kegiatan-kegiatannya selama menjadi asisten rumah tangga dalam vlognya, hingga penghasilannya pun mencapai ribuan dollar. Tentu kita tidak bisa menilai dia dari posisi pekerjaannya, karena penghasilannya melebihi gaji rata-rata PNS di tanah air.
Dia menjadi selebriti di dunia maya, walaupun masih berstatus asisten rumah tangga di ruang privat. Karena itu, dunia informasi sekarang tidak mampu lagi memberikan suatu peniaian dikotomis tentang seseorang. Tugas dan fungsi seseorang sudah tidak lagi serigid yang dibayangkan pada era sebelumnya. Unggahan video ke dunia maya membuat seorang TKW terkenal sebagai dirinya sendiri. Namun kesehariannya tetap dengan pekerjaan tetap yaitu asisten rumah tangga.
Karena itu, proses pergeseran status seseorang tidak lagi dilihat dari pekerjaan seseorang pula. Seorang belia wanita di Indonesia telah menjadi jutawan di media sosial, setelah memiliki pengikut lebih 10 juta. Akan tetapi seorang jutawan wanita di Malaysia masih berusaha untuk menampakkan kesuksesannya di media sosial.
Aksi jutawan wanita ini banyak mendapatkan pujian dan kritis, karena suka memamerkan kekayaannya di media sosial. Karena itu, di masa yang akan datang, seseorang ingin menunjukkan tidak hanya kreatifitas, tetapi aktifitas yang mampu mengikat emosi orang. Untuk itu, wanita sangat memiliki potensi untuk hadir sebagai sosok yang memiliki pemimpin bagi pengikutnya di alam maya. Kekuatan emosi yang menjadi salah satu titik penentu dalam era post-truth ini benar-benar telah banyak diambil kesempatannya oleh pihak wanita.
Orang tidak lagi membangun hubungan emosi secara tatap muka, tetapi dilakukan melalui dunia media sosial. Sebagai contoh, seorang wanita yang sederhana dari salah satu provinsi di Indonesia, memiliki suami bule dan menetap di luar negeri. Berkat sharing pengalaman kesehariannya dia tidak menutup kemungkinan mendapatkan simpati dan empati dari para pemirsa di vlognya.
Hubungan ini membentuk suatu sikap lebih menghormati seseorang dari apa yang dilakukannya sehari-hari, ketimbang dari apa yang dicapainya dalam kehidupan. Bentuk emosi inilah yang kemudian mendatangkan kebahagiaan bagi kalangan tertentu. Sebab, emosi dia terwakili dari apa yang ditontonnya sehari-hari dalam media sosial.
Dalam pada itu, sebenarnya wanita memiliki potensi yang amat luar biasa untuk berkiprah dari dalam rumah melalui berbagai aktifitas mereka dalam dunia maya. Dulu orang bekerja dari rumah untuk mendapatkan penghasilan. Sekarang rumah menjadi ‘rumah produksi’ bagi sebagian wanita untuk mengais rezeki sambil menggendong anak, memasak di dapur, dan membersihkan tempat tidur. Mereka tetap di ruang privat, tetapi bisa juga tampil di ruang publik, untuk mengais rezeki. Pengalaman ini semakin mempertegas bahwa wanita harus membangun kreatifitas, koneksifitas, dan kolaborasi dengan siapapun untuk membuat jatidirinya tampil prima dalam ruang publik. Karena itu dapat dikatakan bahwa wanita masa kini dapat menjadi ‘wanita rumahan’ dengan penghasilan jutaan.
Adapun untuk memberikan amunisi dan vitamin intelektual dan spiritual, wanita juga tidak perlu sekolah dan mengaji. Para motivator dan inspirator ada dalam genggaman mereka. Kecuali itu, keadaan ini akan memaksa mereka untuk terus memberikan fungsi aktif terhadap akal dan pikiran untuk menggali kemampuan diri mereka sendiri.
Kelompok wanita inilah nantinya akan tampil terdepan sebagai orang yang mampu memimpin dirinya sendiri dan juga orang lain. Proses redefinisi ruang publik yang akan didominasi oleh dunia maya, tentu memberikan peluang bagi siapapun untuk menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Konsep ini menyiratkan bahwa seseorang yang mampu menggali potensi dalam diri mereka sendiri, akan menjadi pemain sebagai warga netizen.
Akhirnya, wanita tentu harus memikirkan ulang bagaimana peran yang semestinya dijalankan dalam kepemimpinan. Maksudnya, melalui perubahan lanskap kehidupan, wanita juga harus merubah mindset, terutama ketika mereka tidak lagi menjadi aktor sentral dalam reproduksi nilai, moral, dan etika.
Tiga hal ini, pada prinsipnya, telah mereka tanamkan sejak mereka mendidik anak-anak di ruang keluarga. Ibu adalah guru pertama sejak anak lahir. Lalu, secara perlahanan reproduksi tiga hal tersebut digeser ke sekolah-sekolah. Saat ini, sekolah yang berubah dan ibu pun sudah berubah.
Mereka memercayakan pendidikan anak pada tempat pendidikan yang memperbaiki nilai, moral dan etika. Namun, ketika ketiga hal ini direkayasa oleh teknologi digital, maka ibu harus memikirkan ulang di dalam menyisakan energi mereka untuk berperan dalam kepemimpinan dalam rumah tangga. []