Dalam beberapa tahun terakhir, saya mencoba meneliti suku bangsa di Nusantara. Penelitian ini kira-kira bertujuan untuk menggali aspek imajinasi kebangsaan yang ada di Indonesia. Kajian ini, dikaitkan juga dengan persoalan pertahanan dan keamanan negara.
Riset ambisius ini merupakan upaya untuk mengatakan bahwa budaya di Nusantara, merupakan benteng yang dapat menghadang laju pengaruh imperalisme kebudayaan. Di sini dikaji tentang imajinasi kebangsaan, budaya dan kosmologi sebagai pertahanan dan keamanan bangsa.
Sebagai peneliti sosial antropologi, persoalan kebudayaan merupakan pintu masuk dalam menatap pengetahuan lokal suatu masyarakat. Karena itu, mozaik pengetahuan lokal ini dilakukan proses unboxing dan unlocking oleh seoarang peneliti antropologi.
Mereka membuat tabir dengan memahami cara pandang suatu suku bangsa yang sedang diteliti, melalui cara pandang suku tersebut sendiri. Peneliti hanya berusaha untuk menguraikan berbagai sudut pandang kebudayaan dalam komunitas tersebut. Setelah itu, mereka memindahkan hidangan etnografi ini pada berbagai narasi yang memikat para pembaca.
Salah satu aspek yang saya kaji tahun ini adalah kosmologi dalam masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali. Kendati belum tuntas, saya ingin mengatakan bahwa pengetahuan kosmik suatu etnik rupanya menjadi tameng bagi kebudayaan di kawasan tersebut.
Setiap suku bangsa di Nusantara memiliki sistem pengetahuan kosmologis yang amat luar biasa. Pengetahuan lokal yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, memang memberikan suatu muatan bahwa terdapat hubungan dengan persoalan ketuhanan, kealaman, dan kemanusiaan, bila ditarik dalam satu gerobak pengetahuan oleh para pendahulu.
Karena itu, ketika terjadi penjajahan atau penaklukkan, para penjajah biasanya akan merebut “gerobak pengetahuan” tersebut untuk dilakukan proses unboxing dan unlocking. Setelah mereka membongkar pengetahuan tersebut, biasanya akan ditukar dengan pengetahuan dari penjajah, yang kemudian merubah cara pandang (world view) masyarakat setempat. Karena itu, ketika suatu bangsa dapat ditaklukkan, rupanya bukan hanya berkaitan erat dengan persoalan membumihanguskan bangunan dan benda fisik, tetapi juga menghancurkan hal-hal yang bersifat metafisik dan kosmik di kawasan tersebut.
Kosmologi Sunda tersimpan erat dalam daun lontar. Kosmologi Jawa indah tertata rapi dalam struktur kekuaan suku di Nusantara saat ini. Cerita Kosmologi Bali memberikan daya tarik tentang negeri dewata. Setiap arah lanskap alam, memiliki makna terdalam, yang disimpan dengan simbol-simbol kebudayaan. Di samping itu, setiap cerita kosmik lokal ini pun memiliki keterhubungan antara satu sama lain.
Dalam kajian saya, menemukan bahwa “rantai pengetahuan” lokal yang terdapat di Indonesia tidak dapat dimusnahkan begitu saja. Saling terkait pada aspek-aspek cerita metafisika dan saling melengkapi pada aspek-aspek yang bersifat tatanan membina mikro kosmos (manusia).
Karena itu, ketika saya mengaitkan dengan persoalan keamanan dan pertahanan bangsa, maka hal ini sangat terkait dengan suplai “gerobak pengetahuan” yang bersifat kosmik, dijadikan sebagai tameng negara.
Jika “gerobak pengetahuan” tidak dijaga, maka sangat mungkin akan muncul upaya untuk menghilangkan pengetahuan ini, lalu diganti dengan pengetahuan baru, baik sadar maupun tidak, yang mengakibatkan kehancuran bagi bangsa.
Pertahanan negara ini kerap ditampilkan dengan istilah pertahanan bersifat semesta. Artinya, pertahanan yang melibatkan semua aspek yang ada di negara ini. Penjelasan normatifnya dapat dibaca dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Semesta dalam bahasa Inggris adalah universe yang bemakna “alam semesta” atau “dunia.” Dengan begitu, pertahanan Indonesia menganut model pertahanan kosmik (cosmic defense). Jadi, tidak berlebih jika dikatakan bahwa segala hal yang berbau kosmologi di Nusantara merupakan aset untuk membina postur pertahanan dan keamanan bangsa. Konsep ‘pertahanan semesta’, dengan demikian, merupakan konsep yang berlandaskan pada imajinasi rakyat di seluruh pelosok tanah air. Di sinilah terkait erat antara cosmic defense dan state imagination. Kedua hal ini terjadi sebelum muncul suatu negara.
Sebab, ketika negara berdiri, maka cerita-cerita kosmik (cosmic stories) akan mulai ditinggalkan oleh mereka yang terlibat dalam administrasi negara, termasuk oleh kalangan yang menangani pertahanan dan keamanan negara. Maksudnya, ketika sudah menjadi negara, cerita-cerita kosmik akan diletakkan sebagai “cerita rakyat” (folk story), yang amat sudah didapatkan makna-makna tersembunyi dibalik narasi-narasi yang terkadang tidak masuk akal. Dampak kelanjutannya adalah, cerita kosmik cenderung diarahkan pada budaya semata, bukan pada pembingkaian konsep-konsep pertahanan semesta (cosmic defense).
Mengapa Orang Sunda bangsa dengan Prabu Siliwangi, tentu hanya orang Sunda yang paham. Bagaimana ajaran Sunda Wiwitan dan konsep-konsep “aing inya eta ingnya aing” dapat dipahami dalam konsep pertahanan semesta, tentu memerlukan narasi yang cukup panjang, mulai dari aspek metafisika, meta-teori, hingga bentuk-bentuk teori pengetahuan yang dihasilkan, yang kemudian dipantulkan ke pigura dan kanvas pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia.
Demikian pula, pengetahuan tentang Tau Jo Nan Ampek dalam masyarakat Minangkabau juga merupakan “gerobak pengetahuan” yang sangat terstruktur dan sistematik. Kekayaan konsep Tau Jo Nan Ampek yang dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau tentu dapat juga dikaitkan dengan “gerobak pengetahuan” lokal lainnya di Nusantara.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa konsep pertahanan semesta (cosmic defense) sejatinya terus menggali imajinasi kebangsaan dan makna-makna cerita kosmik, walaupun sudah dialihkan menjadi cerita rakyat, untuk dipantulkan pada postur pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia dalam konteks kekinian.
Cerita kosmik bukan cerita yang hanya diulang-ulang, melainkan sebuah cerita yang membentuk karakter, sistem berpikir, makna, dan simbol dalam suatu budaya masyarakat. Karena itu, jangan heran mengapa kami para peneliti sosial antropologi lebih suka ke pelosok, ketimbang pelisiran ke kota-kota besar. Narasi di atas, adalah salah satu jawabannya.[]