Raihal Fajri.
Direktur The Katahati Institute.
“Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. – Mahatma Ghandi
Mahatma Ghandi dalam ungkapan tersebut mencoba menggambarkan kebutuhan dan keserakahan manusia dalam menguasai sumber daya alam (SDA). Menurutnya, bumi menyediakan cukup kebutuhan bagi seluruh manusia namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. Ungkapan ini merupakan kutipan dari kata-kata bijak Mahatma Gandhi –tokoh revolusi India—yang menggunakan kekuatannya sebagai pemuka agama untuk reformasi sosial di India.
Negara dalam andilnya sebagai pengelola SDA dimaksud mengeluarkan sejumlah kebijakan guna memastikan mekanisme penguasaan SDA dimaksud. Indonesia pun demikian, sejumlah rumusan kebijakan mulai dari tingkat nasional hingga provinsi menjadi bagian tatanan perencanaan pembangunan berbasis tata kelola lingkungan dan kuasa atas SDA. Pondasi dasar penguasaan dan tata kelola SDA ini ditetapkan dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945. Landasan awal ayat (1) menegaskan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Dan mekanismenya kemudian ditegaskan dalam ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Keserakahan yang dimaksud dalam kata-kata bijak Mahatma Gandhi di atas dimulai dari bagaimana cabang-cabang produksi terkait hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara sesuai amanat undang-undang guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat menjadi penguasaan para elite yang memiliki akses terhadap cabang-cabang produksi penting tersebut. Penguasaan atas SDA dari hulu ke hilir oleh para elite ini tidak berdiri sendiri dan bukan juga berjalan tanpa “setting-an” para pihak.
Mengukur kebijakan politik Aceh terhadap penguasaan dan tata kelola SDA Aceh bisa dimulai dari melihat kerangka pikir yang telah dituangkan dalam Pasal 155 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang menyebutkan bahwa: “Perekonomian di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya”. Ayat (2) di atas dengan jelas menuliskan bahwa prinsip ekonomi menjadi pandangan falsafah pengelolaan SDA di Aceh. Sebagaimana kita tahu bahwa konteks ekonomi yang dimaksud disini adalah melihat SDA hanya dari sisi kepentingan komoditi. Dan kepentingan komoditi adalah kepentingan korporasi skala besar yang tentu saja akan menafikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat yang membutuhkan hidup tanpa rasa takut dalam menikmati kehidupan dengan lingkungan yang bersih dan sumber air yang terjaga untuk kebutuhan penyediaan air bersih berkelanjutan.
Konteks pengelolaan SDA untuk kesejahteraan rakyat menjadi mimpi kosong jika melihat konteks tata kelola SDA berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut. Pasalnya jika korporasi yang menjadi aktor pengelolaan SDA dengan pendekatan ekonomi berbasis komoditi, maka standar yang ditetapkan kemudian adalah sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas demi menciptakan nilai tambah yang sebesar-besarnya dan dikuatkan dalam ayat (3) bahwa: “Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melakukan penyederhanaan peraturan untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya sesuai dengan kewenangannya”.
Aturan di atas tentu saja memberikan ruang yang sangat luas bagi investor untuk mengelola SDA Aceh tanpa aturan ketat yang didalamnya. Seharusnya memperhatikan keberlangsungan lingkungan hidup. Karena pengertian SDA sebagaimana tercantum dalam kebijakan ini hanya sebatas pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan saja tanpa menyebutkan sumber daya ekologi secara khusus sehingga sektor ini menjadi aset berharga yang tidak diperhitungkan baik secara keuntungan maupun dampaknya jika rusak akibat investasi ataupun hilang sama sekali. Misalnya kawasan karst yang merupakan daerah pengikat sumber air yang terletak dikawasan batu gamping yang menjadi salah satu bahan baku pengolahan semen.
Karst merupakan potensi SDA yang didalamnya menyangkut hidup orang banyak yang harus dijaga demi tersedianya air bersih berkelanjutan dan menjaga ketersediaan air pada musim kemarau tiba sebagai cadangan alami. Sayangnya potensi ini tidak menjadi catatan penting dalam perumusan kebijakan yang berperspektif komoditi ekonomi tersebut. Padahal dalam poin menimbang Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst disebutkan bahwa kawasan bentang alam karst memiliki komponen geologi yang unik serta berfungsi sebagai pengatur alami tata air dan menyimpan nilai ilmiah, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaanya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Tanpa mempertimbangkan kebijakan ini, Pemerintah Aceh menetapkan Qanun Aceh No. 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal yang semangatnya sama dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh di atas, melupakan potensi kawasan karst yang seharusnya menjadi catatan penting dalam perumusan setiap pasalnya. Mirisnya lagi qanun ini hanya menyebutkan sekali saja tentang SDA, dalam Pasal 12 yang berbunyi: “Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Keadilan ekologi tidak akan didapatkan jika sejak dalam regulasi ini tidak menjadi catatan penting sehingga bukan hal baru jika konflik akibat investasi terjadi di Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Pemerintah terlalu banyak merumuskan kebijakan tentang fasilitas untuk penanaman modal, seperti disebutkan dalam Pasal 16 dari insentif keringanan pajak hingga insentif keringanan sewa lahan. Pertanyaannya apakah ini sebanding dengan apa yang akan didapat oleh Aceh dan masyarakatnya yang tidak akan serta merta bisa menikmati pengelolaan potensi SDA tersebut?
Lima tahun sebelum qanun ini ditetapkan, Pemerintah Aceh telah menetapkan Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033. Menyisir pasal per pasal qanun ini terlihat semangatnya ada pada konteks memanfaatkan potensi jasa lingkungan untuk meningkatkan percepatan perkembangan ekonomi Aceh. Lagi-lagi ukuran yang digunakan adalah pertimbangan ekonomi yang tidak menyinggung tentang penetapan kawasan bentang alam karst yang memiliki komponen geologi yang unik serta berfungsi sebagai pengatur alami tata air.
Namun yang dikedepankan adalah semangat komoditi bagaimana tata ruang dan tata kelola sumber daya air dan jaringan air minum dapat dikembangkan dengan metode tata kelola korporasi. Ini terlihat jelas dalam paparan Pasal 26 tentang jaringan air minum, ayat (1) hingga ayat (6). Ayat (1) menyebutkan dengan jelas bahwa: “Sistem jaringan air minum dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, industri dan pusat-pusat kegiatan bisnis lainnya terhadap air minum”. Pengembangan instalasi air sesuai standar pelayanan minimum tentu saja tidak memperhatikan bagaimana keberlanjutan mata air sebagaimana penjelasan kawasan bentang alam karst yang meletakkan tata kelola air bersih dengan mekanisme ketersediaan dengan konsekwensi menjaga bentang alam. Lagi-lagi kebijakan yang lahir harus dipertanyakan kembali, kesejahteraan untuk siapa sebenarnya formula kebijakan tata kelola SDA Aceh ini? Segelintir orang dalam tata kelola usaha yang mengatasnamakan jasa lingkungan atau masyarakat yang kesehariannya mengelola air dari sistem sederhana pengairan sawah hingga menjerang air untuk konsumsi kesehariannya.
Berbagai upaya protes telah dilakukan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil terhadap perusakan karst dan sumber air ini, misalnya pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari berbagai lembaga lokal dan nasional yang menyuarakan tentang RUU Air yang harus melindungi ekosistem karst, hentikan tambang, dan pabrik semen yang menghancurkan sumber daya air pada peringatan hari air, setiap tanggal 22 Maret lalu. Pernyataan sikap tersebut juga menyebutkan secara khusus Kawasan Karst Lhoknga. “Persoalan air menimbulkan dampak yang berbeda bagi perempuan. Beban perempuan dalam memastikan kebutuhan keluarga akan air akan meningkat dan berlapis di kala krisis air terjadi. Hal serupa juga terjadi di Kawasan Karst Lhoknga, Aceh. Pertambangan semen PT. Semen Andalas Indonesia (yang kemudian diambil alih oleh Lafarge Cement Indonesia dan sekarang PT. Holcim Indonesia) yang selama 35 tahun ini terus mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhoknga serta menguasai sumber air masyarakat, tetap mengundang perlawanan dari masyarakat. Terutama ketika masyarakat, khususnya perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses air bersih guna memenuhi kebutuhan keluarga”.
Protes serupa juga dilakukan oleh Komite Masyarakat Bersatu Lhoknga-Leupung (KMB-LL) sejak tahun 2007 silam hingga saat ini terkait pencemaran lingkungan dan perusakan Kawasan Karst Lhoknga dan Leupung akibat dampak dari penambangan semen. Berbagai protes yang dilakukan masyarakat ini belum menghasilkan banyak perubahan kebijakan yang promasyarakat. Bahkan keluarnya Qanun Aceh No. 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal semakin menguatkan oligarki dan pemodal untuk mengeruk SDA Aceh yang tidak berbasis bukti dan tidak prorakyat. Protes pertama yang dilakukan pada 11 Juli 2008 oleh ribuan masyarakat dua kecamatan ini, tidak menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk landasan pikir qanun investasi yang dirumuskan sepuluh tahun kemudian. Bahkan protes terus berlanjut hingga aksi protes yang dilakukan pada 7 November 2019 tentang pencemaran laut Lhoknga dan Lampuuk akibat tumpahnya batubara yang diangkut melalui kapal pengangkut melalui perairan laut Lhoknga sebagai bahan bakar pengolahan semen. Dampak limbah tersebut seharusnya sudah digambarkan dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) secara detail dan rencana mitigasi namun lagi-lagi kebijakan dibuat berdasarkan kebutuhan investasi.
Sejak awal ini telah direncanakan dalam proses perumusan kebijakan, sebut saja proses pembuatan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Peraturan pemerintah (PP) ini mengatur tentang kajian yang berdampak besar dari sisi fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sosial dan budaya dan kesehatan masyarakat.
Perselingkuhan para elite bangsa ini dalam upaya mewujudkan keserakahannya dimulai dari penyusunan AMDAL ini. Kampus sebagai rumahnya para akademisi yang acapkali menjadi “teman selingkuh” para elite ini merupakan pihak yang terlibat langsung dalam penyusunannya. Tentu saja proses ini kemudian dibuat mengikuti proses sesuai amanat PP dimaksud dengan menyertakan pelibatan masyarakat setempat di dalamnya dengan proses dengar pendapat yang dilakukan berulangkali juga disertakan dengan observasi lokasi dan lingkungan. Namun seringkali siasat penguasa, elite dan akademisi penulis dokumen ini menjadikan dokumen AMDAL memastikan satu hal saja, bahwa wilayah tersebut sebagai wilayah yang layak dilakukan kegiatan investasi pengelolaan SDA.
Dokumen AMDAL PT. Solusi Bangun Andalas menjadi salah satu contoh selingkuh para elite dengan akademisi dalam pemaksaan kelayakan pengelolaan SDA. Dokumen AMDAL perusahaan yang sebelumnya bernama PT. Semen Andalas Indonesia ini menyajikan data tentang kelayakan perusahaan dapat memperoleh izin melakukan pertambangan bahan baku semen dengan lokasi jarak pemukiman masyarakat dengan lokasi pertambangan sejauh lima kilometer. Data yang disajikan dalam dokumen ini berbeda jauh dengan kondisi di lapangan yang menunjukkan dengan jelas bahwa lokasi pemukiman masyarakat Desa Naga Umbang sebagai desa terdekat dari lokasi pertambangan berjarak tidak lebih dari satu kilometer saja.
Fakta perselingkuhan ini membuat masyarakat mengalami dampak buruk lingkungan yang tidak sedikit dan sangat merugikan selama kurun waktu 40 tahun terakhir sejak perusahaan berdiri pada tahun 1980. Rumah retak, sumur amblas, sumber mata air rusak dan kerapkali masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani yang mengandalkan hasil garapan sawah yang berlokasi sekitar 500 meter dari lokasi pertambangan harus tiba-tiba menghentikan aktivitas bercocok tanam saat proses blasting untuk pengambilan batu gamping sebagai bahan baku pengolahan semen di lokasi wilayah pertambangan dilakukan. Selain berdampak pada aktivitas ekonomi masyarakat secara langsung dan tempat tinggal, kerusakan lingkungan akibat pertambangan ini juga mengancam keberlangsungan aneka keragaman hayati di Kawasan Karst Lhoknga (Karst Aceh, 2008).
Bacaan tentang kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung di Aceh Besar misalnya, dalam kebijakan hutan lindung dalam Qanun Aceh No. 19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tersebut hanya disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2) bahwa: “Kawasan hutan lindung (HL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN) dengan luas 695 Ha di Kabupaten Aceh Besar dan hutan lindung mangrove yang terletak di Kota Sabang, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue”.
Padahal potensi yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst dengan ciri-ciri eksokarst dan endokarst terlihat di Kecamatan Lhoknga Aceh Besar tempat penambangan semen dilakukan oleh PT. Solusi Bangun Andalas (SBA) yang sebelumnya bernama PT. Semen Andalas Indonesia (SAI). Ciri yang sangat mencolok adalah batu gamping yang tersedia di Kawasan tersebut yang dijadikan bahan baku semen. Sesuai Permen ESDM di atas, karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan ini bukan proses sekejap saja tapi butuh puluhan bahkan ratusan tahun proses pembentukannya. Pertanyaannya maukah kita menggantikan potensi SDA kita yang tidak terbarukan untuk keberlangsungan hidup dengan investasi yang merusak saja?
Penelitian tentang Kawasan karst Lhoknga ini telah dilakukan oleh Organisasi Karst Aceh pada tahun 2008 silam tentang kondisi kawasan tersebut dan dampak pertambangan semen yang pendiriannya dimulai sejak tahun 1980. Berdasarkan kajian strategis kawasan karst tersebut Kawasan Karst Lhoknga, Aceh Besar penggunaan lahan penambangan tanpa kajian karst dan gua. Hal ini senada dengan kebijakan Pemerintah Aceh dari undang-undang hingga qanun tata ruang Aceh yang sama sekali tidak menyebutkan potensi ini.
Catatan khusus lainnya yang penting diperhatikan adalah perencanaan berbasis bukti yang merupakan amanah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017-2022 yang dituangkan dalam Qanun Aceh No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017-2022 misi kesembilan tentang revitalisasi fungsi perencanaan daerah dengan prinsip evidence based planning yang efektif dan berkelanjutan. Poin penting pada misi kesembilan ini memprasyaratkan adanya penelitian yang komprehensif sehingga rencana pembangunan berkelanjutan di Aceh berdasarkan data dan bukti-bukti yang hanya dapat ditemukan dengan adanya penelitian komprehensif dan tentu saja partisipasi masyarakat merupakan faktor penting sebagaimana amanah sejumlah kebijakan tentang partisipasi masyarakat. Data ini seharusnya tidak berdiri sendiri, data juga harus mengikuti kaedah data terpilah yang dapat memberikan gambaran komprehensif apa kebutuhan dan dampak secara spesifik baik kepada laki-laki, perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Lagi-lagi kita harus kecewa, selain ruang partisipasi bagi masyarakat hanya ada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangkaian proses perumusan kebijakan di DPRA/DPRK dan ruang-ruang parlemen jalanan sehingga perumusan kebijakan yang lahir kemudian semakin memperkuat oligarki kekuasaan dan keuntungan segelintir orang saja. Bacaan sederhananya kemudian adalah kebijakan yang lahir adalah karena kepentingan para aktor bukan untuk mewujudkan kesejahteraan sebagaimana yang diamahkan Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Mewujudkan kesejahteraan rakyat secara khusus juga disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) UUPA yang berbunyi: “Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh”.
Urusan pemerintah ini kemudian diterjemahkan dalam prioritas pembangunan RPJM Aceh 2017-2022 dalam sembilan prioritas sebagai berikut: mutu pendidikan dan dinul Islam, akses dan kualitas kesehatan, infrastruktur terintegrasi, ketahanan dan kemandirian pangan, nilai tambah sektor strategis, kualitas dan daya saing tenaga kerja, investasi dan kemandirian energi, SDA yang berkelanjutan dan kebencanaan serta perdamaian dan reformasi birokrasi. Dalam prioritas pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan kebencanaan yang berisikan 23 poin tersebut yang fokus pada program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam lima belas program unggulan “Aceh Hebat”, “Aceh Green” hanya menggambarkan sektor kehutanan dan pesisir tanpa spesifik menjelaskan kawasan yang harus dilindungi untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Konflik atas nama pengelolaan SDA di Aceh bukan saja terjadi di Aceh Besar, namun juga di beberapa wilayah lainnya seperti di Kabupaten Pidie, masyarakat menolak pendirian pabrik semen Laweung yang diprakarsai oleh PT. Semen Indonesia yang berdampak pada lingkungan hidup. Begitu pun penolakan pendirian pabrik semen di Tamiang oleh masyarakat setempat. Kasus penolakan terhadap investasi juga terjadi di Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya yang kemudian dihentikan proses pendiriannya dengan dikabulkannya gugatan warga oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Nomor Keputusan 91K/TUN/LH/2020 terkait izin PT. Emas Mineral Murni (EMM). Pertimbangan gugatan warga adalah areal izin usaha pertambangan PT. EMM masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), situs warisan dunia yang ditetapkan Komite Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2004 (Mongabay, 2020).
Potensi konflik antara masyarakat dan perusahaan pertambangan merupakan indikasi lemahnya perumusan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya dan ini menguatkan pernyataan Mahtma Gandhi di atas yang menyebutkan bahwa sebenarnya alam mampu mencukupi kebutuhan manusia tapi tidak akan mampu mencukupi keserakahan segelintir elite saja. Buruknya lagi konspirasi keserakahan oligarki ini bersetubuh dalam perumusan kebijakan politik yang dikenal dengan sebutan kapitalisme oligarki. [Sumber: Buku “Aceh 2021: Sumber Daya Alam dan Politik”]
Daftar Rujukan
Karst Aceh. (2008). Kajian Strategis Kawasan Karst Lhoknya dan Mata Ie, Aceh Besar, Karst Aceh.
Mongabay. (2020). “Putusan Mahkamah Agung Cabut Izin PT. MM di Hutan Leuser”, dikutip dari https://www.mongabay.co.id/2020/08/31/putusan-mahkamah-agung-cabut-izin-tambang-emas-pt-emm-di-hutan-leuser/
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 7 Tahun 2018 tentang Koordinasi, perencanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan. Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033
Qanun Aceh No. 5 Tahun 2018 tentang Penanaman Modal.
Qanun Aceh No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017-2022