Oleh: Satia Zen.
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di Tampere University, Finlandia.
Minggu lalu secara daring saya mengikut sebuah webinar menarik yang diselengarakan oleh Sekolah Sukma Bangsa dalam rangka memperingati 15 tahun sekolah tersebut beroperasi di Aceh.
Tema yang diusung yaitu “Membangun Sinergi demi Mutu Hebat Pendidikan Aceh”, mengundang narasumber dan penanggap dari berbagai kalangan dengan memberikan gambaran awal akan kondisi pendidikan Aceh berdasarkan sudut pandangan dan data masing-masing.
Yang menarik, sepertinya tema ini didasarkan pada sejumlah paradoks pendidikan Aceh.
Pertama, alokasi pendidikan Aceh yang jumlahnya besar namun kualitas pendidikan yang rendah. Artinya alasan bahwa pembiayaan besar menjamin kualitas tidak terjadi disini. Sehingga perlu dilakukan perubahan drastis terhadap sistem dan pengelolaan pendidikan di Aceh yang beberapa titik tolaknya mulai diungkap dari data-data yang disajikan oleh para narasumber.
Paradoks kedua, Aceh sebagai daerah dengan sejarah panjang sebagai bangsa yang dulu digdaya, namun kali ini menjadi juara dari bawah untuk beberapa indikator pembangunan manusia.
Kesadaran historis akan siapa orang Aceh, sesungguhnya dapat menjadi modal sosial yang besar. Namun jika modal ini tidak direfleksikan dan dihubungkan dengan kondisi saat ini akan menimbulkan optimisme berlebihan yang tidak berpijak pada realitas terkini.
Dan diperlukan juga pemetaan berbasis data akan dampak konflik dan tsunami terhadap kondisi sosio-budaya masyarakat Aceh, khususnya pada bidang pendidikan.
Beberapa lembaga mungkin sudah memiliki data awal mengenai hal ini, karena narasumber webinar telah menyajikan sekelumit data-data tersebut. Namun diperlukan pengakuan bersama akan data-data tersebut sebagai fakta sehingga dapat menjadi titik awal yang sama bagi semua pemangku kebijakan dan pengelola pendidikan di Aceh.
Mengingkari adanya fakta tersebut dan memolesnya dengan menggunakan slogan-slogan yang merujuk kepada kejayaan masa lalu hanya akan menimbulkan pesimisme, atau bahkan lebih parah lagi, sinisme.
Selain itu, dari webinar ini saya juga menangkap adanya tawaran akan solusi dan imajinasi tentang bagaimana sebaiknya pendidikan di Aceh mulai direformasi yang berbasis pada kondisi sosio-kultural, sejarah dan realitas politik saat ini.
Prinsip inklusifitas mengemuka dari tawaran-tawaran tersebut, dalam bentuk usulan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, termasuk pemerataan distribusi guru-guru berkualitas hingga pemerataan anggaran berbasis kepada keragaman kondisi dimana sekolah berada.
Dan yang terpenting, inklusifitas juga mencakup pengakuan akan kondisi siswa yang memiliki keragaman latar belakang secara budaya, sosial dan ekonomi. Perspektif inklusifitas perlu agar semua pihak yang menjadi bagian dari sistem pendidikan di Aceh diakui dan diajak untuk duduk bersama mencari simpul-simpul dan mulai mengurainya.
Kerja berat yang tidak dapat dilakukan sendirian, namun seluruh aktor dalam sistem pendidikan Aceh perlu menyingsingkan lengan bajunya dan secara kolektif melakukan gotong royong.
Untuk memulai hal tersebut, disini saya ingin menawarkan sebuah analisa sederhana menggunakan teori aktifitas (Activity Theory) yang berasumsi bahwa setiap kegiatan atau aktifitas merupakan interaksi antara manusia dengan obyek dan instrumennya serta merupakan bagian dari usaha kolektif yang disebut Activity System (Sannino & Engeström, 2018).
Activity Theory telah berkembang dan digunakan untuk menganalisa beragam aktivitas manusia dalam berbagai konteks. Turunan dari teori ini yaitu Cultural Historical Actvity Theory (CHAT) banyak digunakan untuk mempelajari aktivitas belajar dalam beragam institusi, kondisi dan situasi. Ada beberapa pusat riset di universitas di Finlandia seperti CRADLE di University of Helsinki dan RESET di Tampere University yang melakukan studi-studi berbasis teori tersebut.
Dalam konteks pendidikan, mengajar adalah contoh dari sebuah aktifitas, manusia dalam hal ini guru dan siswa, merupakan aktor dan menjadi bagian dari sebuah sistem aktifitas yaitu sekolah. Aktor yang melakukan aktifitas ini dengan menggunakan instrumen seperti alat (tool) dan tanda bahasa (sign).
Instrumen dari kegiatan mengajar dapat berupa buku sebagai alat materiilnya dan strategi mengajar adalah alat konseptual yang merupakan bagian dari tanda bahasa (sign) dengan obyek tercapainya pemahaman akan pengetahuan baru. Instrumen dalam hal ini membantu para aktor untuk membuat rumusan konkrit terhadap obyek dari aktivitas mengajar dalam kegiatan keseharian.
Instrumen dan obyek merefleksikan makna personal yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya dan institusional dimana sekolah, guru dan siswa berada. Selain itu, secara lebih luas, sistem aktivitas akan kerap berinteraksi dengan sistem aktivitas lainnya. Dalam hal ini, ketika siswa datang ke sekolah, mereka akan mulai berinteraksi dengan dua sistem aktivitas yaitu sekolah dan luar sekolah.
Dalam sebuah konteks seperti pendidikan di Aceh, ada beberapa sistem aktifitas yang berinteraksi pada saat bersamaan untuk mengelola pendidikan. Sekolah adalah sebuah sistem aktifitas yang terdiri dari komunitas guru, siswa dan pengelola sekolah.
Komunitas di luar sekolah adalah sebuah sistem aktifitas, terdiri dari lingkungan terdekat siswa seperti orang tua dan keluarga serta lembaga sosial lainnya seperti kampung. Dinas Pendidikan adalah sebuah sistem aktifitas, terdiri dari pengambil kebijakan dan pelaksana pengelolaan pendidikan formal dan informal di sebuah wilayah.
Dari pemaparan dalam webinar itu saya melihat perlu adanya perumusan ulang akan masing-masing peran dari aktor yang ada di dalam sistem aktifitas yang ada.
Contohnya, orang tua sebagai aktor penting dari sistem aktifitas luar sekolah perlu diberikan perspektif lain dalam proses pendidikan ini sebagai instrumen konseptual baru. Mereka perlu didorong untuk memiliki perspektif parenting yang membantu mereka menjadi pendamping belajar bagi peserta didik, bukan investor yang memastikan dana pendidikan yang dikeluarkan akan kembali dalam bentuk prestasi dan indikator capaian dangkal.
Dalam perspektif ini, orang tua perlu diajak untuk ikut menikmati proses pembelajaran bersama, ikut merayakan dan mendukung anak dalam proses belajar. Identifikasi instrumen materiil dan konseptual berbasis perspektif ini dapat dilakukan bersama oleh orang tua dan siswa dibantu oleh pihak ketiga seperti guru dan konselor sekolah misalnya.
Selain itu sistem pendidikan Aceh disini mungkin juga perlu dilihat sebagai sebuah ekosistem dimana yang terdiri dari beberapa sistem aktifitas yang berinteraksi. Kata ekosistem digunakan untuk mengambarkan ketergantungan dan saling keterkaitan antar aktivitas sistem tersebut. Masing-masing sistem aktifitas ini memiliki tujuan, pola hubungan dan budaya dan saling mempengaruhi kegiatan-kegiatan didalam ekosistem tersebut.
Berkaca dari pemaparan dan diskusi webinar kemarin, interaksi antar sistem aktivitas didalam ekosistem pendidikan di Aceh memiliki masalah yaitu kurangnya sinergi antar lembaga. Bisa jadi sinergi sulit dicapai karena interaksi yang ada selama ini kurang mengakui adanya sistem aktifitas lain yang ada di dalam ekosistem tersebut.
Contohnya, dalam merumuskan kebijakan anggaran sekolah, interaksi antara sistem aktifitas sekolah, dinas dan sistem di luar sekolah biasanya akan menimbulkan gesekan dalam menentukan prioritas akan pembiayaan. Sekolah akan berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan yang mendukung proses belajar siswa, sedangkan dinas bisa jadi memiliki kepentingan akan tercapainya keterserapan anggaran.
Sedangkan sistem di luar sekolah, dengan aktornya yaitu orang tua memiliki orientasi mengurangi beban pembiayaan rumah tangga untuk pendidikan. Karena relasi kuasa yang tidak berimbang, bisa jadi proses perumusan anggaran hanya berbasis kepada satu kepentingan yaitu keterserapan dana dari Dinas Pendidikan. Dalam hal ini perspektif dan kepentingan sekolah, siswa dan orang tua terabaikan.
Dan lebih parah lagi, tujuan pendidikan itu sendiri tidak tercapai karena keterlibatan pihak yang justru seharusnya menjadi aktor aktif dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut hanya diposisikan yang secara pasif menerima keputusan tersebut.
Jika seluruh komponen pemerintah dan masyarakat Aceh ingin mengubah proses pendidikan dan meningkatkan kualitasnya, diperlukan proses perumusan ulang kebijakan dan keputusan dari hulu ke hilir dengan mengakui dan memasukkan perspektif interaksi antar sistem aktifitas yang beragam ini dalam setiap kegiatan tersebut. Regulasi sebagai aturan main yang mengatur pola interaksi didalam ekosistem ini juga perlu merefleksikan kondisi ini.
Pengabaian yang terlalu lama telah menghasilkan apatisme dari sistem aktivitas yang ada, dan hal ini berujung kepada kurangnya daya dan imajinasi dari aktor-aktor yang ada didalam sistem aktifitas tersebut untuk melakukan perubahan.
Setiap aktor dari sistem aktifitas yang berbeda-beda juga perlu menyadari hal ini setiap kali melakukan kegiatan sehingga dapat mengurangi pengabaian yang selama ini terjadi. Dan semoga kepercayaan antar aktor akan mulai tumbuh sebagai langkah awal menuju sinergisitas.[]