Oleh: Ir. Fakhrurrazi
Ketua Acheh Schools Mining and Energy (ASME).
Alarm dapat diartikan sebagai peringatan ketika terjadi sesuatu. Ia adalah alat yang didesain untuk memberi tahu kepada pengguna bahwa ada masalah baik yang sedang terjadi akibat gangguan, atau peralatan hanya dirancang untuk kondisi tertentu. Misalnya, ketika terjadi gempa bumi, maka alarm “potensi akan terjadinya tsunami” dibunyikan, sehingga masyarakat mesti segera melakukan langkah-langkah evakuasi. Jika memang benar-benar terjadi, maka resiko yang ditimbulkan oleh bencana tsunami dapat diminimalisir.
Seorang pelajar mengatur “alarm” jam berapa ingin bangun tidur. Ketika alarm berbunyi, si pelajar terjaga tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika tidak ada alarm, maka mungkin dipastikan peluang untuk bangun tidur tidak akan tepat waktu.
Dari uraian sederhana diatas, bahwa desain menjadi kata kunci untuk membuat sebuah alarm. Dalam desain tersebut, telah diatur sedemikian rupa parameter supaya alarm alarm bisa berfungsi. Variabel internal dan eksternal benar-benar dihitung secara cermat, agar bisa terbaca oleh sensor yang mengirimkan sinyal kepada mesin, sehingga alarm berdering. Jika tidak memiliki parameter dan variabel, dipastikan rumit untuk membangun sistem alarm yang bekerja secara efektif dan efisien.
Jika alarm yang dibuat oleh manusia tidak berfungsi, maka secara alamiah hukum sebab-akibat yang saling terikat satu sama lain. Bencana alam, virus, kelaparan, konflik, perperangan, dan kemiskinan merupakan contoh bagaimana sebab-akibat yang erat kaitannya ketika manusia tidak mampu membangun sistem alarm kehidupan yang kuat, lalu diambil alih oleh alam. Segenap kekacauan itu timbul karena pemikiran dan perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum alam.
Lantas apa kaitannya dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam Aceh? Apakah alarm-nya sudah berbunyi dan apa yang telah terjadi? Darimana asal muasal alarm itu dan siapa yang merancangnya ? Jika alarm sudah berbunyi, lantas skenario apa yang akan diperbuat terhadap pengelolaan tambang dan energi aceh? Sekumpulan pertanyaan dialektis yang harus dijawab, sehingga menjadi Frame of Mind yang kuat bagi stakeholder di sektor tersebut, sebelum hukum alam mengambil alih dengan caranya sendiri, dan membuat masyarakat Aceh tak mendapat apa-apa dari kekayaan “Nanggroe-nya”.
Penandatanganan damai antara GAM-RI pada 15 Agustus 2005 yang dituangkan dalam MoU Helsinki, Filandia merupakan titik sejarah baru bagi Aceh untuk membangun kehidupan lebih baik. Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan merupakan fokus utama pembangunan, karena memiliki dampak langsung bagi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Kekayaan sumberdaya alam berupa minyak dan gas bumi, kelautan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, sumberdaya air, dan pertambangan, adalah modal bagi Aceh untuk meraih kemajuan ekonomi, sebab bisa membiayai pendidikan dan layanan kesehatan. Pemerintah RI telah memberi hak untuk Aceh agar mampu mengelola sumberdaya alamnya sendiri sebagaimana yang termuat dalam MoU Helsinki, maupun pada UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Ini apa yang disebut sebagai “Alarm” yang telah didesain sedemikian rupa, dimana jika terjadi pelanggaran, maka akan muncul peringatan kepada pihak yang melanggarnya.
Apakah para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut diyakini sudah menganalisa secara mendalam parameter dan variabel agar menghasilkan produk “Alarm” yang benar-benar berfungsi dengan baik ? Sudah kah dihitung berapa total nilai kekayaan sumberdaya alam (sebagai parameter) aceh baik di daratan maupun di lautan ? Lantas skema seperti apa yang disiapkan (sebagai variabel) untuk mengelola kekayaan tersebut untuk kepentingan rakyat dan generasi Aceh ?
Pemberitaan situasi realita Aceh saat ini, selalu mendapat cap sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan di Aceh meningkat 0,20 persen atau 16 ribu orang sejak Maret 2021 hingga September 2021 menjadi 15,53 persen. Secara total, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 850 ribu orang.
Disisi lain eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam belum memberikan dampak signifikan bagi kemajuan Aceh. Bahkan ada loss begitu saja melalui aktivitas “..illegal..” oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan tidak tercatat dalam kas pendapatan asli daerah (PAD), kemudian diputar kembali sebagai modal pembangunan masyarakat.
Sekelumit persoalan ini menjadi petanda bahwa “Alarm” pengelolaan Sumberdaya Alam Aceh sedang berbunyi, bahkan mulai terasa keras. Sebab, dana otonomi khusus (OTSUS) sebagai kompensasi perang, akan berakhir pada tahun 2027. Skenario seperti apa yang sudah dirancang dan akan dieksekusi?
Dilain sisi, kebijakan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam oleh Pemerintah Pusat memberi angin segar, bahwa negara sedang berupaya untuk meningkatkan daya saing dalam dunia Industri Global yang terbuka, dan kompetitif. Tak terkecuali Aceh, sebagai daerah kaya akan sumberdaya alam, tentu akan menjadi incaran bagi kepentingan nasional bahkan dunia internasional.
Sekali lagi berbunyi “Alarm” yang mengingatkan kita bahwa saat ini masih tahun 2022, dan 5 tahun lagi dana otsus berakhir. Tahun 2024 akan ada pesta demokrasi pemilihan eksekutif dan legislatif. Kiban Pengelolaan “Kekayaan Sumberdaya Alam Aceh”? Kalimat penutup sebagai “Alarm”.