SAGOETV | BANDA ACEH – Seorang gadis muda asal Padang, Aza Khiatun Nisa, menarik perhatian publik lewat misinya yang tak biasa: ia bertekad tidak akan mengikuti wisuda sebelum menuntaskan petualangan keliling seluruh Indonesia. Dalam perjalanannya kali ini, Aza menyambangi Aceh untuk pertama kalinya dan langsung jatuh cinta pada pesona Tanah Rencong.
“Ini pertama kalinya aku ke Aceh, dan sumpah… aku langsung jatuh cinta,” ujar Aza menjawab pertanyaan dalam wawancara podcast bertajuk “Aza dan Misi Jelajah Negeri Sebelum Wisuda”, tayangan Sagoetv, Senin (0704/2025) dipandu oleh Host Juliana.
Mahasiswi filsafat yang saat ini berdomisili di Yogyakarta tersebut mengaku bahwa Aceh memberikan kesan mendalam. “Aceh itu seperti halaman terakhir dari sebuah buku cerita petualangan. Tapi bukan berarti tamat justru ini seperti awal baru,” katanya.
Ia menyebut suasana Aceh sebagai kombinasi unik antara kekayaan sejarah, nuansa religius yang hangat, dan keindahan alam yang memukau. “Pas sampai di Sabang, aku cuma bisa diem. Lautnya tuh… kayak lukisan hidup,” ungkap Aza yang juga sempat menikmati kopi Ulee Kareng dan berjalan sore di pinggir pantai Lampuuk.
Lebih dari sekadar pelesiran, Aza menyebut perjalanannya sebagai bentuk syukur dan penghargaan terhadap tanah air. “Aku ingin kenal Indonesia lebih dalam, dari ujung ke ujung. Biar nanti pas wisuda, aku tahu benar tanah air yang aku cintai ini,” ujarnya.
Meski aktif sebagai traveler, Aza juga menjalani profesi sebagai konsultan sosial untuk proyek-proyek CSR di berbagai desa. Ia juga mengelola usaha travel Kentawa Travel bersama temannya, dengan fokus pada destinasi budaya otentik, khususnya ke Mentawai.
“Setiap perjalanan harus menghasilkan sesuatu: entah uang, pengalaman, atau pengetahuan,” tegasnya.
Menurut Aza, budaya Mentawai bukan hanya menarik dari sisi visual seperti tato dan pakaian adat, tetapi lebih pada cara hidup dan keterhubungan dengan alam. “Banyak tamu kami yang merasa dapat ‘aha moment’ setelah berinteraksi langsung dengan masyarakat Mentawai,” ujarnya.
Ia juga menyebut Pulau Siberut sebagai wilayah yang masih mempertahankan adat dan tradisi Mentawai secara utuh. Aza berharap ke depannya bisa membuat dokumentasi atau digital storytelling tentang kehidupan mereka.
Saat ditanya tentang fenomena kabur aja dulu yang kini ramai di media sosial, Aza menjawab, “Buatku itu bisa jadi dua hal: self-discovery atau pelarian dari kenyataan. Tapi yang jelas, sekarang ini sudah seperti kampanye—bahkan akademisi juga mulai membahasnya.”
Ia menambahkan bahwa ada perbedaan jelas antara traveling untuk eksplorasi dan pelarian. “Kalau bawa koper besar dua biji, itu mungkin bukan jalan-jalan biasa ya,” ujarnya sambil tertawa.
Usai dari Aceh, Aza berencana melanjutkan perjalanannya ke Malaysia dalam rangka sebuah proyek sosial. Ia juga bermimpi untuk melanjutkan studi ke luar negeri, terutama ke negara-negara asal filsafat seperti Inggris, Prancis, atau Jerman.
“Aku ingin kuliah ke luar negeri. Karena ambil filsafat, ya pengennya ke tempat asalnya. Jadi kalau dibilang ‘kabur’, ya aku kabur sekalian kuliah,” kata Aza sembari tertawa.
Sebagai perempuan yang melakukan solo traveling, Aza mengaku belum pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan. “Alhamdulillah, aku belum pernah dirasisin selama perjalanan. Tapi ya itu, kita juga harus tahu diri dan tahu tempat,” katanya.
Menariknya, Aza juga membuka rumahnya di Padang bagi para backpacker perempuan sebagai bentuk solidaritas dan pertukaran budaya. “Aku percaya, kebaikan itu akan berputar,” ujarnya.
Dalam kunjungannya ke Aceh, Aza hanya menghabiskan sekitar Rp700 ribu untuk perjalanan ke Sabang dan Rp500 ribu di Banda Aceh. Biaya tertinggi berasal dari tiket pesawat, yang ia siasati dengan menggunakan aplikasi Trip.com dari Hongkong.
Menurutnya, aplikasi tersebut menawarkan harga lebih murah, terutama untuk penerbangan internasional. “Ini bisa banget jadi konten edukasi buat para traveler hemat,” sarannya.
Meski tidak tergabung dalam komunitas formal, Aza aktif di grup Facebook Backpacker Indonesia. Ia mengaku banyak mendapatkan inspirasi, informasi, dan bahkan relasi dari komunitas tersebut.
“Dulu aku mulai dikenal sebagai konsultan juga karena personal branding. Banyak orang lupa, relasi itu bukan cuma soal kenal, tapi gimana kita menunjukkan diri dan karya kita secara konsisten,” pungkasnya. []