Oleh: Dr Muna Madrah.
Sosiolog dan Dosen UNISSULA Semarang, Jawa Tengah.
Pada tanggal 1 dan 2 dibulan Mei merupakan hari yang penuh makna bagi masyarakat Indoensia. Tanggal 1 Mei kita peringati sebagai hari buruh internasional (may day), sebuah tanggal yang dipilih sebagai penanda perjuangan buruh atas perampasan hak-haknya sebagai manusia yang tertindas oleh sistem kapitalis, perjuangan jam kerja yang panjang dan upah kerja yang rendah. Tanggal 2 Mei, di Indonesia kita memperingati hari pendidikan nasional. Sebuah momentum untuk mengingat perjuangan Ki Hajar Dewantoro. Meskipun berasal dari kelompok elit memperjuangkan hak pendidikan untuk semua kalangan yang pada waktu itu hanya dapat dinikmati oleh keturunan Belanda dan kelompok elit.
Buruh sering kali diidentifikasi dengan kelas pekerja dengan berbagai tuntutan yang dalam struktur sosial selalu dipertentangkan dengan kelas penguasa dan pemodal (kapitalis). Sementara itu pendidikan tinggi menempati tempat terhormat yang dapat dikatakan merupakan suatu kemewahan bagi para buruh. Hal ini disebabkan karenakan faktor tingginya biaya pendidikan tinggi yang hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu.
Melalui berbagai kebijakan pemerintah mencoba terus meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara di Asia Tenggara sepert Malaysia, Thailand dan Singapura. Pendidikan jarak jauh berbasis teknologi menjadi salah satu jawaban. Sebuah langkah inovatif dimana telah banyak juga diterapkan di negara lain.
Penerapan sistem ini merupakan sebuah opsi akan sangat menguntungkan bagi para buruh dengan keterbatasan ruang, waktu dan finansial. Teknologi memang berperan besar dalam pendidikan. Sistem PJJ akan memungkinkan penekanan biaya perkuliahan dan tentu saja kesetaraan bahwa setiap orang dapat mengakses pendidikan dengan murah dan mudah.
Namun demikian, perlu juga di kaji lebih jau agar kebijakan ini tidak semata menjadi ambisi kompetisi antar bangsa semata, sehingga hanya menjadi sekedar konsumsi gaya hidup tanpa solusi kongkrit para buruh. Keberhasilan dalam meraih gelar dari pendidikan tinggi tidak hanya dipandang sebagai pencapaian individu, pada tingkat yang lebih kolektif, pendidikan sekarang juga dipertimbangkan untuk membuka jalan bagi kebesaran nasional. Ini adalah ambisi politik utama di banyak negara untuk menjadi negara dengan pengetahuan intensif, memenangkan kejuaraan pendidikan dunia dan terus memimpin, dunia dalam hal ekonomi.
Perluasan pendidikan tinggi secara kuantitatif akan dihadapkan pada permasalahan kualitatif yang serius. Nilai-nilai seperti refleksi kritis, perkembangan kognitif, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik harus tetap menjadi tujuan dari pendidikan tinggi agar tidak kehilangan pamor demi upaya untuk mendapatkan kredensial semata.
Buruh dan Pendidikan Tinggi
Sistem PJJ akan membuka kesempatan bagi buruh untuk memasuki dunia akademis pendidikan tinggi yang idealis dan sangat kontradiktif dengan dunia buruh yang sehari-hari bergulat dengan permasalahan kehidupan yang nyata. Muncul pandangan dengan meningkatnya jumlah kelas pekerja yang memasuki pendidikan tinggi dapat ditafsirkan sebagai bukti menurunnya hambatan sosial-struktural dalam masyarakat risiko modern, atau sebuah reflektif di mana individu-individu terlibat secara refleks dengan lingkungan sosial mereka dan mengambil risiko strategis melalui keputusan tentang jalan hidup yang penting.
Selembar ijazah menjadi sangat penting mengingat pengakuan resmi dan tertulis akan kompetensi seseorang (kredensial). Pendidikan formal telah dipostulasikan oleh perdebatan ekonomi globalisasi dan pengetahuan dan juga terjebak dalam sistem kapitalis.
Pandangan umum seringkali melihat bahwa apabila upah buruh yang rendah, dapat dikatakan bahwa ini hanyalah cerminan fakta bahwa buruh tidak menginvestasikan usaha yang cukup dalam membangun sumber daya manusia mereka. Singkatnya, , jika mereka dibayar rendah, hal ini dianggap sebagai kesalahan individu. Hampir tidak mengejutkan, semua lembaga modal utama, dari departemen ekonomi hingga Bank Dunia dan IMF, dengan sepenuh hati memeluk fiksi teoretis ini secara ideologis dan tentu saja bukan karena alasan intelektual yang masuk akal.
Senyatanya, mahasiswa universitas dari kelas pekerja menghadapi tantangan struktural meskipun pada saat bersamaan membangun keuntungan moral yang membantu mereka mengatasi kekurangan ini. Bahwa keuntungan konstruksi moral dipandang sebagai sesuatu yang individualistik, bukan kolektif, merupakan perbedaan penting. Apakah kredensial semata akan berfungsi, Sementara buruh berpendidikan tinggi tetap menghadapi tingginya kompitisi selepas meraih gelar akademik?
Teknologi telah memfasilitasi dan membuka banyak kesempatan bagi para buruh untuk mengembangkan diri sebagai pencapaian yang mungkin secara individu berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan secara kolektif berkontribusi pada angka partisipasi pendidikan tinggi sebagai pencapaian nasional. Lebih dari itu inovasi dalam pendidikan harus tetap dikembalikan pada tujuannya yaitu mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaanya.
Selamat Hari Buruh Internasional dan Semangat Hari Pendidikan Nasional!