Oleh: M Adli Abdullah
Pengantar Redaksi: Tulisan ini merupakan naskah presentasi dari M. Adli Abdullah—pegiat sejarah adat, Dosen Fakultas Hukum USK, dan Tenaga Ahli Kepala Bank Tanah Kementerian ATR/BPN RI—yang disampaikan dalam Bedah Buku “Dua Dekade Damai Aceh”, sebuah forum reflektif yang digelar oleh UIN Ar-Raniry bersama Badan Reintegrasi Aceh (BRA) pada Kamis, 26 Juni 2025, di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Berikut isi lengkap artikelnya:
Pada tanggal 26 Juni 2025, saya dihubungi oleh panitia untuk membedah buku yang berjudul Dua Dekade Damai Aceh, yang ditulis oleh Iskandar Norman dengan editornya Teuku Murdani. Bukunya lebih dari 200 halaman, isinya campuran antara dokumen sejarah, evaluasi kebijakan, atau bahan advokasi perdamaian. Saya melihatnya buku ini lebih dominan menguraikan narasi tentang konflik dan jalan menuju damai. Padahal ketika saya membaca judul Dua Dekade Damai Aceh, awalnya sebagai pembaca saya terobsesi ingin mendapatkan informasi tentang “hasil dan proses transformasi damai”. Akibatnya, buku terkesan lebih sebagai bagian sejarah proses perdamaian daripada evaluasi hasil perdamaian.
Dalam bab satu tentang “Proses Menuju Damai Aceh” dimulai dengan fase sebelum damai Jeda kemanusiaan, zona aman CoHA (2002), tsunami 2004, MoU Helsinki 2005 lahirnya UUPA sehingga lahirnya partai lokal. Maaf, saya melihat bahwa buku ini kurang melakukan evaluasi terhadap “Dua Dekade Damai”. Tidak ditemukan refleksi awal terhadap implementasi hasil MoU Helsinki. Tantangan selama 20 tahun damai, perubahan sosial-politik masyarakat Aceh. Sebaiknya ada pembahasan sedikit tentang overview atas capaian dan tantangan damai Aceh selama dua dekade.
Pembahasan bab dua buku ini menggambarkan BRA dan variasi bentuknya BRDA, BPPA secara deskriptif mulai dari pembentukan, bidang kerja, struktur, hingga dinamika internal. Narasi yang dibangun terlalu birokratis dan teknokratis, seolah BRA hanya dipahami sebagai “organisasi administratif”, bukan sebagai aktor utama dalam rekonsiliasi sosial. Dimana didalamnya kurang disentuh dampak sosialnya terhadap masyarakat eks kombatan, korban konflik, dan masyarakat sipil dengan kehadiran BRA ini.
Dalam bab dua ini minim suara dari korban dan masyarakat, nyaris berfokus pada sisi kelembagaan, tanpa menampilkan suara dari eks kombatan yang dibantu atau justru ditinggalkan, Korban sipil (janda, anak yatim konflik) yang tidak masuk dalam skema reintegrasi, masyarakat umum yang merasakan dampak atau ketimpangan pasca reintegrasi, terkesan buku ini “top-down”, bukan “bottom-up” tidak memberi ruang pada persepsi masyarakat terhadap BRA. Buku ini tidak membahas apakah BRA bebas dari politisasi, oligarki elit lokal, atau intervensi elite eks GAM.
Khusus untuk bab “Merawat Perdamaian” dimana dibahas konsistensi semua pihak, damai berkelanjutan, alokasi lahan eks kombatan, isu keadilan, ancaman konflik baru. Namun, agar lebih komprehensif, reflektif, dan berorientasi masa depan, bab ini masih bisa disempurnakan dengan Dimensi Keadilan Transisional yang Inklusif, rehabilitasi korban sipil dan perempuan korban konflik, termasuk janda, anak yatim, dan penyintas kekerasan seksual.
Memang selama ini yang muncul ke publik di Aceh, rehabilitasi korban agar perdamaian “sustain” terfokus pada eks kombatan, padahal damai sejati membutuhkan pemulihan korban sipil dan pengakuan atas luka masa lalu. Peran generasi muda dalam memelihara damai. Bagaimana pendidikan damai diajarkan di sekolah-sekolah Aceh? Apa peran pemuda dalam mencegah radikalisasi atau kekerasan baru? Perlu program peace leadership untuk generasi baru. Mengapa ini penting kita bahas, karena banyak anak muda lahir pasca-MoU Helsinki, tidak memahami sejarah konflik dan nilai damai, kalau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa apatis atau malah akan terseret ke konflik baru. Damai ini bukan hanya soal tiadanya senjata, tapi penghapusan ketidakadilan struktural. Perdamaian bukan hanya soal berakhirnya konflik bersenjata, tetapi tentang bagaimana menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi inklusif agar konflik tidak terulang kembali. Karena:
- Damai itu mahal dan harus dirawat terus-menerus.
- Reintegrasi dan keadilan bagi korban adalah syarat utama dari positive peace.
- Peran serta semua pihak negara, masyarakat sipil, eks kombatan, perempuan, dan generasi muda sangat penting untuk keberlanjutan perdamaian.
Secara dokumentasi buku ini sangat berguna sebagai arsip sejarah dan lembaga-lembaga perdamaian. Perlu dilanjutkan buku lain yang analisisnya lebih mendalam terhadap keberlanjutan damai (sustainability of peace), Bagaimana efektivitas program reintegrasi? Bagaimana persepsi masyarakat? Apakah keadilan transisional terwujud pascadamai Aceh? Juga perlu dilanjutkan pembahasannya tentang nasib perempuan korban konflik, peran generasi muda pasca konflik dan ketimpangan dalam distribusi ekonomi damai.
Perlu juga dilanjutkan bahasannya Apakah damai Aceh benar-benar berkelanjutan? ketidakadilan ekonomi, dan kekecewaan eks kombatan. Efektivitas BRA sebagai instrumen reintegrasi, Apakah BRA hanya menyalurkan dana, atau benar-benar melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi? Dimana peran masyarakat sipil?
Isi buku ini lebih elitis (tokoh, lembaga), sedikit suara dari rakyat biasa, Apakah sudah ada keadilan untuk korban pelanggaran HAM di masa konflik? Bagaimana transformasi Gerakan Politik GAM, Bagaimana GAM berubah menjadi partai politik? Apakah nilai-nilai perjuangan masih relevan atau sudah bergeser?
Penutup
Apakah damai yang kita alami hari ini adalah damai yang adil dan bermartabat? Damai tidak cukup diingat dalam seremonial tahunan. Damai harus dipelihara dalam kebijakan, dalam ruang sekolah, dalam cara kita menyusun anggaran, dan dalam cara pemimpin mendengar suara rakyat. Dua puluh tahun damai adalah babak, bukan akhir cerita. Mari menulis bab berikutnya tentang damai Aceh lebih berpihak pada mereka yang selama ini tak terdengar. Damai, Harus Terus Diperjuangkan.
Terima kasih, selamat membaca, menulis adalah menciptakan sejarah. Buku ini bagian dari sejarah! []
Penulis adalah Pegiat Sejarah Adat, Dosen Fakultas Hukum USK dan Tenaga Ahli Kepala Bank Tanah Kementerian ATR/BPN RI.