Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry dan Dewan Penasehat The Asian Muslim Action Network (AMAN).
Esai-esai Berlin dalam memahami tokoh-tokoh filsafat terbentang dalam cakupan hampir 3 abad lebih (17-20 M).
Kedalaman kajian Berlin mengenai filsafat pun tidak diragukan sama sekali. Disebutkan bahwa Berlin selalu mempersiapkan diri untuk setiap bahan kuliah yang akan disampaikan. Enrique Krauze menarasikan persiapan Berlin sebagai berikut: “[I]n 1950-1 Berlin ‘read furiosly’ the works of the eighteenth-century French philosophers (Diderot, Helvétius, Holbach, Voltaire) and the German Romantics (Schelling, Herder, Fichte).” Lebih dari itu, Noel Annan menyebutkan Berlin melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh sarjana lain di Oxford, yaitu: “He read the works of philosophers long read, indeed of some who would not in Oxford have been called philosophers.” Dua kutipan ini menyiratkan bahwa Berlin benar-benar menjadi filsuf sebagai bacaan wajib dalam karir akademiknya. Jadi, sangat wajar jika kemudian dia dikenal sebagai Sejarawan Ide yang kemudian menukilkannya dalam berbagai esainya.
Selanjutnya, dalam Against the Current, Berlin mengupas tentang Machiavelli, Montesquieu, dan Hume. Sementara dalam Freedom and Its Betrayal, Berlin menyajikan pandangan kritisnya terhadap Helvétius, Rousseau, Fichte, Hegel, Saint-Simon, dan Maistre. Adapun dalam The Crooked Timber of Humanity, Berlin menstudi tentang Joseph de Mastre. Lebih dari itu, dalam The Sense of Reality: Studies in Ideas and Their History, Berlin memokuskan perhatiannya terhadap Kant. Tentu saja, ada nama-nama lain yang ditelaah oleh Berlin, yang telah disajikan dalam beberapa bab sebelumnya. Dengan begitu, bab ini akan menyoroti beberapa sosok filsuf yang belum disajikan dalam buku ini. Harus diakui bahwa nama-nama filsuf tersebut, tentu sangat asing bagi saya. Tetapi sayup-sayup saya pernah mendengar ketika membuka beberapa buku filsafat di Barat.
Timbangan atau telaahan Isaiah Berlin terhadap filsuf, dapat dibaca misalnya dalam Freedom and Its Betrayal. Uniknya, dalam judul buku ini terdapat anak judul yaitu: Six Enemies of Human Liberty. Saya tidak pasti mengapa ada anak judul tersebut. Bagi saya ini merupakan usaha Berlin untuk mengatakan bahwa keenam filsuf, yang awalnya adalah hasil ceramahnya di radio BBC pada pada tahun 1952, sebagai musuh kebebasan manusia. Namun dipastikan sebelum tahun-tahun tersebut, Berlin telah melihat beberapa hal yang terjadi di hadapannya yang cukup dramatis. Disebutkan bahwa persoalan tentang definisi politik dan moral sangat diperlukan setelah Perang Dunia ke-2. Adapun kedua persoalan ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa penting saat itu, yakni: filsafat Marxisme yang memperkuat totalitarianisme di Russia, pengalaman pengasingannya sebagai orang Yahudi dari Russia ke Inggris, dan persoalan keyahudian di Eropa. Di sinilah kemudian Berlin menyampaikan berbagai kritikannya terhadap persoalan mendasar bagi kemanusiaan, yang dilihatnya dari kacamata filsafat politik, sebagai bagian dari filsafat moral.
Penting dicatat bahwa bagi Berlin para filsuf pada abad ke-18 telah gagal menemukan cara untuk mengkonstruk “a proper, successfull science of society.” Di sini Berlin menyebutkan beberapa nama yaitu: Saint-Simon, Fourier, Comte, Hegel, Marx, Spengler, Bossuet, Toynbee, kelompok pengagum Darwin, serta para sarjana yang terlibat dalam keilmuan sosiologi dan psikologi. Kritik ini disebabkan karena para pemikiran sarjana tersebut memiliki kesamaan bahwa: “[T]here is one great universal pattern, and one unique method of apprehending it, knowledge of which would have statesmen many an error, and humanity many a hideous tragedy.” Inilah tampaknya yang menyebabkan kemunculan ilmu masyarakat pada abad ke-18 terjerembab dalam petaka kemanusiaan.
William A. Galston ketika memberikan Kata Pengantar untuk Political Ideas in the Romantic Age (PIRA), menyebutkan bahwa gagasan Berlin tentang pemikir ulung dalam bidang sosial dan politik pada abad ke-19 merupakan semata-mata kepentingan sejarah. Mereka hanya meletakkan fondasi intelektual bagi kita untuk menjalani kehidupan saat ini. Ada beberapa nama yang disebutkan yang begitu memberikan dampak bagi kehidupan manusia saat ini, yaitu: Helvétius and Condrcet memberikan pengaruh ketika Piagam PBB dibentuk, Rousseau merupakan Bapak Nasionalisme Modern dan kontrak sosial. Ilmuwan sosial dan para perancang berkait erat dengan Saint-Simon. Kelompok komunis berbicara dalam bahasa Hegel. Sementara kelompok ir-rasional dan musuh demokrasi Fasis dipengaruhi oleh Joseph de Maistre.
Dalam esai yang berjudul “The Sense of Reality,” Berlin menguraikan bagaimana keragaman dihasilkan oleh para filsuf. Dia menulis:
The Hegelian believed that this was achieved by a species of rational intuition; Marxists, Comtist and Darwinians, by scientific investigation; Schelling and his romantic romantic followers, by inspired ‘vitalistic’ and ‘mythopoeic’ insight, by the illumination of artistic; and so on. All these schools believed that human borderline which divided science from Utopia, effectiveness from ineffectiveness in every sphere of life, was discoverable by reason and observation and could be plotted less or more precisely; that, in short, there was a clock, its movement followed discoverable rules, and it could not be put back.
Jika dibaca kutipan di atas, tampak bahwa para filsuf telah berjasa mewariskan sesuatu yang harus diseragamkan, sesuai dengan metode ilmu pengetahuan yang dianut masing-masing. Metode-metode berpikir yang ditawarkan oleh filsuf rupanya telah melahirkan sosok-sosok seperti Lenin, Stalin, dan Hitler. Dengan kata lain, kehadiran filsuf rupanya bukan membuat dunia makin aman, melainkan mencipatkan ketidaknyamanan. Gugatan secara filosofis ini lantas menciptakan pertanyaan besar yang harus dijawab oleh Berlin, dimana dia memulai dengan satu pertanyaan inti dalam filsafat politik: “Why should anyone obey anyone else?”
Berlin menandaskan bahwa keenam filosof yang dikaji dalam Freedom and Its Betrayal, merupakan kelompok pemikir yang hidup pada demokrasi liberal dan di bawah kekuasaan kelompok menengah ke atas. Era ini juga masih dirasakan sampai hari ini. Dengan begitu, lanjut Berlin, keenam filsuf ini sebenarnya “still speaks directly to us.” Dengan kata lain, sesungguhnya, para filsuf pada abad ke-18 dan 19 M ini, pada hakikatnya memberikan dasar-dasar pemikiran bagi umat manusi dalam abad ke-20. Berlin meringkas apa saja yang mereka bicarakan kepada kita saat ini: Helvétius mencela terhadap kebodohan, kekejaman, dan ketidakadilan; Rousseau menjabarkan tentang kecamannya terhadap seni, ilmu pengetahuan dan intelijensia, dan jiwa manusia; Fichte dan Hegel membahas tentang masyarakat yang terorganisir, organisasi nasional dimana masyarakat tersebut menggantungkan diri mereka; Saint-Simon mengupas tentang masyarakat yang tidak mengalami friksi yang memproduksi masa depan, di mana pekerja dan kapitalis disatukan dalam satu sistem dan semua persoalan ekonomi menjadi terselesaikan; Maistre memberikan narasi tentang perjuangan abad anatara tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia.
Ringkasan beberapa pemikiran 6 filsuf ini memang merupakan masalah-masalah yang dihadapi oleh ummat manusia pada abad ke-18 dan 19 M.
Kembali ke pertanyaan di paragrap sebelumnya. Berlin mencoba memberikan beberapa jawaban yang pernah disampaikan oleh beberapa kalangan. Ada yang mengatakan bahwa mengapa seseorang harus dipatuhi, karena ini merupakan kalam Tuhan, yang disampaikan dalam teks suci yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki otoritas diakui oleh melalui peran gereja atau bahkan mungkin diberikan langsung seperti wahyu kepada seseorang. Ada juga yang menjawab dari perspektif monarkhi absolut, dimana perintah untuk menaati pemimpin ditetapkan oleh pemimpin tersebut atau agen-agennya. Hukum adalah apa yang diinginkan oleh keinginan pemimpin, apapun motif di belakangan keinginannya sama sekali tidak perlu dibahas.[]