Oleh: Tuti Marjan Fuadi.
Peneliti Keluarga dan Relasi Kuasa ICAIOS dan Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Abulyatama Aceh.
Generasi Z Secara teoritis adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1995 hingga 2010. Oleh sebab itu usia tertua dari generasi ini adalah sekitar 25 tahun. Usia 25 tahun dalam konteks budaya Aceh dan Indonesia pada umumnya adalah usia yang sangat produktif menikah, terutama kalangan perempuan. Sementara laki-laki biasanya baru menikah setelah usia 25 tahun, pada saat mereka merasa mapan atau telah memiliki pekerjaan yang tetap. Pun demikian dalam masyarakat pedesaan banyak anak dengan rentang usia 25 tahun tersebut justru telah memiliki anak karena mereka menikah lebih cepat.
Kalau kita lihat dari perkembangan teknologi generasi ini lahir pada saat teknologi telah mulai berkembang. Di Banda Aceh handphone mulai dikenal pada tahun-tahun tersebut. Pada tahun 2000 sudah banyak anak muda yang menggunakan handphone dan tidak lagi sungkan menanyakan nomor handphone kepada seseorang. Tahun-tahun berikutnya perkembangan teknologi semakin cepat. Setiap tahun muncul model handphone baru hingga kemudian terjadi sebuah revolusi besar di dunia gadget yaitu lahirnya smartphone.
Perkembangan ini juga diikuti dengan lahirnya berbagai gadget lain yang semuanya berbasis pada teknologi internet. Bukan hanya smartphone tapi berbagai macam peralatan yang digunakan manusia sehari-hari bertransformasi jadi sebuah perangkat yang dapat dikendalikan jarak jauh dengan bantuan sinyal internet.
Tentu saja seseorang yang tumbuh dan berkembang pada tahun-tahun tersebut tidak mungkin memisahkan diri dari perkembangan teknologi internet. Apalagi orangtuanya mulai kecanduan dengan berbagai fitur yang disajikan melalui perangkat kecil yang ada di kantongnya. Dia dengan tidak sungkan menggunakan alat tersebut sebagai mainan yang dapat melalaikan anak-anaknya. Anak inilah yang kemudian tumbuh berkembang dan berinteraksi dengan sesamanya yang juga memiliki pengalaman yang sama dalam berinteraksi dengan internet. Pada tahun 2015 an ketika anak-anak ini berangkat kuliah di universitas gadget tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi mereka. Apalagi pembelajaran di kampusjuga telah sepenuhnya menggunakan bantuan internet. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang dulu dilakukan berhari-hari dapat dilakukan dalam beberapa jam hingga satu hari saja oleh anak-anak generasi ini.
Kondisi ini telah menyebabkan munculnya sebuah budaya baru di kalangan generasi Z. Pertama budaya dalam hubungan anak dengan orang tua. Pada generasi ini seorang anak tidak lagi menempatkan orang tua sebagai sebuah otoritas yang mutlak yang tidak dapat dibantah. Kenyataannya anak-anak generasi Z lebih mampu menyuarakan keinginan dan aspirasinya kepada orang tua mereka. Mereka juga tidak sungkan untuk menyampaikan ide yang berbeda dengan apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Anak yang berkembang dalam generasi ini juga memiliki keinginan mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dari apa yang disampaikan oleh orang tua mereka. Mereka cenderung tidak percaya pada mitos atau cerita legenda yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Dalam pergaulan dengan teman sebaya anak-anak generasi Z juga lebih terbuka. Mereka cenderung lebih toleran terhadap perbedaan terutama perbedaan yang bersifat asasi seperti ra, warna kulit, bahasa, suku, dan lain sebagainya. Komunikasi yang sangat lancar melalui dunia maya menyebabkan anak-anak memiliki teman yang sangat luas, bukan hanya yang ada disekitar mereka sendiri. Bahkan ada kecenderungan anak-anak generasi Z Justru lebih peduli dan merasa iba atas penderitaan yang di dapatkan oleh seseorang atau sekelompok orang nun jauh disana dibandingkan dengan apa yang terjadi di sekitarnya yang dianggap biasa-biasa saja. Akibatnya kita bisa melihat bagaimana generasi Z sangat semangat membantu korban perang, korban banjir, korban kebakaran, korban tabrak lari, yang sesungguhnya berada sangat jauh dari dirinya, karena pengaruh
media sosial.
Hal yang sama juga berlaku pada hubungan antar jenis kelamin. Anak-anak generasi Z lebih terbuka kepada temannya yang berbeda jenis kelamin. Mereka juga cenderung lebih menghargai orang dengan jenis kelamin yang berbeda pada kemampuan personalnya tanpa membedakan jenis kelaminnya. Kondisi ini menyebabkan pergaulan antar anak dalam generasi Z Lebih cair dan terbuka. Tentu saja ada banyak kasus dimana anak-anak dalam generasi ini juga memiliki karakter dan model yang sama dengan generasi sebelumnya yang cenderung menempatkan relasi laki-laki dan perempuan kaku dan cenderung diskriminatif karena jenis kelamin.
Diskriminasi dalam pernikahan.
Salah satu Persoalan yang sangat berat dihadapi saat ini terutama dalam membincangkan masalah keluarga adalah diskriminasi yang terjadi dalam pernikahan. Budaya patriarki yang berkembang di dalam masyarakat cenderung menempatkan laki-laki memiliki kuasa yang lebih besar dibandingkan perempuan. Ketika hal ini masuk ke dalam sebuah keluarga maka istri cenderung berada pada posisi sub ordinat dari suaminya. Oleh sebab itu pilihan berada di wilayah domestik oleh istri tidak serta merta karena keinginan dan kesadarannya, melainkan sebuah konstruksi budaya patriarki yang ada di dalam keluarga tersebut dan dalam masyarakat sekitarnya. Lebih jauh posisi ini juga menyebabkan perempuan memiliki daya tawar yang lemah dalam menghadapi masalah di dalam keluarga.
Sikap menerima harus dikedepankan di dalam penyelesaian masalah apa pun yang di terjadi dengan suaminya. Apalagi sikap ini pula yang sering disarankan oleh mediator atau fasilitator sosial yang ada di dalam masyarakat seperti Tengku, Ustaz, ketua adat, dan lain sebagainya. Perempuan benar-benar tidak memiliki celah untuk mengungkapkan idenya apalagi memberikan solusi yang berbeda atas masalah yang dihadapinya dihadapan mediator atau konselor yang pada umumnya terdiri dari laki-laki atau memiliki semangat patriarki walaupun dia seorang perempuan.
Kondisi seperti ini sebenarnya sudah berlangsung sangat lama dalam sejarah masyarakat di Aceh. Dalam masyarakat Aceh kontemporer masalah seperti ini telah menjadi akar dari masalah keluarga yang lebih besar. Kondisi dimana seorang perempuan setelah mendapatkan pendidikan yang lebih baik, pergaulan yang lebih luas interaksi intensif dengan berbagai kelompok sosial telah menyebabkan mereka berusaha mengungkapkan ide-idenya dengan lebih baik dan lebih berani. Sayangnya kenyataan ini sering dianggap sebagai sebuah pemberontakan dibandingkan sebagai sebuah kemajuan. Pada masyarakat dengan budaya patriarki yang sangat kuat kemunculan perempuan dengan pendapatnya dapat dianggap sebuah ketidaksopanan yang akan merusak tata nilai sosial dan agama yang telah dijaga di dalam masyarakat tersebut. Akibatnya perempuan dengan karakter seperti ini justru mendapatkan pandangan negatif dalam keluarga besar dan masyarakatnya.
Harapan Baru.
Budaya baru dan model relasi sosial yang terjadi dalam generasi Z adalah sebuah harapan baru bagi masa depan yang lebih baik dalam membina hubungan keluarga harmonis. Saya sangat yakin bahwa generasi Z Jika ia terus hidup dengan budaya toleran dan terbuka akan jauh lebih dapat memposisikan diri dan pasangannya pada posisi yang setara. Kecanggungan dalam berkomunikasi antar pasangan bisa jadi telah terhapus karena pola relasi ini. Dan ini merupakan sebuah titik awal dari relasi yang lebih terbuka dan cair antar pasangan dalam rumah tangga.
Berbeda dengan generasi sebelumnya di mana komunikasi cenderung satu arah dan dikuasai oleh suami, dalam generasi Z komunikasi ini menjadi lebih berimbang dan dikuasai oleh logika. Laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangannya dalam menyelesaikan masalah yang ada di dalam keluarga.
Masalah-masalah lain yang mungkin muncul terutama persoalan public- domestik yang kerap menjadi masalah dalam keluarga juga kemungkinan akan lebih mencair. Keinginan untuk tampil eksis, sayangi istri, peduli keluarga, berpartisipasi dalam mengurus rumah tangga, akan membuat seorang suami dari generasi Z tidak canggung untuk melaksanakan atau mengerjakan tugas-tugas domestik di dalam rumah tangga. Rumah tangga akan diurus dan diatur bersama karena adanya kesadaran bahwa rumah adalah milik bersama.
Komunikasi yang lebih terbuka juga menyebabkan hilangnya kesan Canggung antara seorang menantu dengan mertuanya. Relasi yang nanti terbangun adalah relasi anak orang tua modern yang lebih senang berkomunikasi dan dan menceritakan masalah untuk mencari penyelesaiannya daripada mengabaikan masalah itu. Tentu saja Ini adalah beruang yang sangat bagus dalam terbinanya komunikasi yang baik di dalam keluarga.
Generasi Z memang masih sangat baru, dan pasangan yang membina rumah tangga dari generasi ini juga tentu saja masih sangat Sedikit. Bahkan banyak perempuan yang lahir dari generasi ini masih lebih banyak berpasangan dengan laki-laki yang yang lahir dari generasi sebelumnya yang menjadi titik awal pada memudarnya budaya patriarki. Namun demikian fakta nunjukkan bahwa ada banyak sekali pasangan muda yang berpisah setelah menikah dan hidup bersama dalam waktu yang sangat singkat. Ini juga menunjukkan bahwa generasi yang lahir pada era teknologi dan keterbukaan komunikasi tidak sepenuhnya dapat menjadi di harapan bagi terbinanya keluarga yang harmonis budaya patriarki sedemikian kuat dan mengakar di dalam masyarakat sehingga dominasi jenis kelamin di dalam sebuah keluarga masih sangat kuat. Kondisi ini diperparah dengan berkembangnya ide-ide keagamaan yang yang cenderung tidak progresif dan ingin mengembalikan model pemahaman keagamaan dengan contoh praktik masa lalu dimana budaya patriarki itu sedemikian kuat.
Di sinilah terjadi sebuah pertarungan wacana antara generasi Z yang cenderung terbuka dan egaliter dengan ide-ide dari generasi sebelumnya yang cenderung patriarki dan dicoba tanamkan pada generasi Z. Kondisi ini telah menyebabkan adanya kekaburan identitas yang dialami generasi Z karena di satu sisi mereka hidup pada era keterbukaan teknologi dan komunikasi namun di sisi lain ada pemaksaan pemaksaan terutama atas nama agama dan norma-norma sosial masyarakat agar mereka hidup pada budaya patriarki dan budaya dominasi laki-laki atas perempuan. Kondisi ini sebenarnya akan menjadi bibit dan benih yang nanti dapat tumbuh di dalam keluarga baru sehingga mereka tidak dapat hidup dengan egaliter dan setara di dalam rumah tangga.
Penutup
Saya sangat yakin bahwa generasi Z telah tumbuh dengan budaya egaliter dan terbuka dan itu sesuatu yang baik. Oleh sebab itu kita bisa berharap banyak pada generasi ini untuk menjadi sebuah momen awal bagi terciptanya model keluarga ideal yang terbuka dan harmonis di masa yang akan dadatang. Keterbukaan dalam komunikasi, pandangan yang setara kepada jenis kelamin yang berbeda, mengedepankan rasionalitas dalam menyampaikan pendapat, keinginan untuk berpartisipasi di dalam ruang- ruang domestik bagi laki-laki, semuanya adalah modal bagi bangunan keluarga yang lebih baik. Namun tentu saja halangan-halangan keagamaan dan budaya tidak dapat dihindari. Media sosial yang menjadi di media lahirnya keterbukaan di kalangan generasi Z disisi lain juga menjadi media kampanye budaya patriarki kepada generasi Z.
Di sinilah penting untuk terus mendampingi dan mengkampanyekan budaya-budaya yang lebih egaliter melalui media sosial agar wacana-wacana patriarki dan dominasi jenis kelamin yang juga dikampanyekan didalam media sosial dapat dibatasi atau diimbangi. Perguruan tinggi, lembaga sosial, lembaga keagamaan, yang progresif harus mengambil peran di dalam kampanye di media sosial lebih intensif sehingga wacana-wacana egaliter di dalam generasi Z dan bahkan kalau mungkin di dalam generasi generasi yang lebih tua dapat menjadi pandangan sosial yang umum di dalam masyarakat.[]