Oleh: Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M. Sc.
Dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri – Universitas Syiah Kuala (USK)
Putusan Presiden Republik Indonesia yang mengembalikan status empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—ke wilayah administrasi Provinsi Aceh adalah kabar menggembirakan bagi rakyat Aceh. Keputusan ini tidak hanya membatalkan kebijakan Kemendagri yang dianggap keliru secara administratif dan menyakitkan secara psikologis, tetapi juga meneguhkan kembali prinsip bahwa keadilan bisa ditegakkan melalui jalur konstitusional. Aceh menang, tapi lebih dari itu: Aceh kembali menemukan dirinya.
Kasus ini, menjadi viral setelah muncul Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, dan menuai kemarahan publik setelah media mengangkatnya sebagai ancaman terhadap kedaulatan wilayah Aceh. Keempat pulau tersebut, yang selama ini tercatat dalam peta Aceh Singkil, tiba-tiba dipindahkan ke wilayah Sumatera Utara, tepatnya Kabupaten Tapanuli Tengah. Rasa tersinggung dan marah yang muncul bukan semata soal garis batas, tapi tentang kehormatan, identitas, dan kepercayaan yang kembali dilukai oleh pusat.
Namun di balik gejolak emosi dan kemarahan, ada hikmah yang sangat besar yang patut kita renungkan.
Ketika Aceh Kembali Bersatu
Kasus ini telah membangunkan semangat kolektif masyarakat Aceh yang selama ini seperti tertidur. Kita menyaksikan sesuatu yang sangat langka: seluruh komponen di Aceh, dari pejabat eksekutif daerah, tokoh-tokoh politik dari berbagai partai, akademisi, mahasiswa, aktivis, hingga ulama, bersatu menyuarakan penolakan. Suatu bentuk solidaritas yang seolah menghidupkan kembali denyut nadi perjuangan rakyat Aceh.
Kita ingat bahwa selama ini, salah satu persoalan mendasar yang menghambat kemajuan Aceh bukanlah faktor eksternal, melainkan konflik internal. Pasca damai Helsinki 2005, kita menyaksikan berbagai faksi, kelompok kepentingan, dan elit lokal justru terlibat dalam persaingan perebutan sumber daya dan kekuasaan, yang sering kali membawa dampak destruktif. Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sering kali terjebak dalam tarik menarik kepentingan politik praktis. Kebijakan pembangunan tidak jarang macet karena konflik horizontal antar sesama anak negeri sendiri.
Tidak hanya itu, publik juga kerap menyaksikan bagaimana dinamika di Aceh dipenuhi aroma saling curiga, saling sikut, dan lemahnya sinergi antarkomponen. Bahkan suara ulama dan akademisi pun kadang kehilangan gaung di tengah hiruk-pikuk elit politik. Semua ini melahirkan kesan bahwa Aceh adalah rumah besar yang berisik laksana tidak punya fokus bersama.
Namun, polemik empat pulau ini seperti menjadi titik balik. Tiba-tiba, semua faksi berhenti berkonflik dan memilih untuk berdiri dalam satu barisan. Rakyat Aceh dari Singkil hingga Lhokseumawe, dari Sabang hingga Subulussalam, menyuarakan hal yang sama: “Pulau kami, harga diri kami!” Momentum ini seolah menjadi titik terang yang menyadarkan bahwa dalam situasi krisis, Aceh mampu menanggalkan ego sektoral dan bersatu menjaga kehormatan wilayahnya.
Pemekaran: Wacana yang Perlu Dicermati
Namun, di tengah euforia kebersamaan ini, ada pelajaran penting yang tidak boleh kita abaikan. Selama beberapa tahun terakhir, kita juga menyaksikan munculnya wacana pemekaran wilayah di Aceh. Beberapa kawasan seperti Aceh Leuser Antara, Aceh Barat Selatan (Barsela), dan Aceh Selatan Jaya telah menyuarakan aspirasi untuk memisahkan diri dan membentuk provinsi baru.
Meski dilandasi oleh alasan administratif dan pemerataan pembangunan, wacana pemekaran ini menyimpan potensi besar untuk membelah Aceh secara politik, sosial, bahkan identitas. Kita harus jujur mengakui bahwa banyak dari narasi pemekaran yang justru muncul akibat lemahnya komunikasi dan solidaritas antar wilayah di Aceh sendiri.
Jika pemekaran ini terjadi tanpa kedewasaan politik, maka kita sedang menciptakan bibit-bibit konflik baru di masa depan. Bukankah lebih bijak bila energi yang kita gunakan untuk memperjuangkan pemekaran justru dialihkan untuk memperkuat konektivitas antardaerah, pemerataan pembangunan, dan peningkatan tata kelola pemerintahan daerah?
Kasus empat pulau ini memberikan pelajaran jelas: ketika Aceh bersatu, Aceh kuat. Sebaliknya, ketika Aceh terpecah, Aceh lemah dan mudah dimanfaatkan oleh pihak luar. Jangan sampai musuh yang sesungguhnya berada di luar justru mendapatkan keuntungan dari retaknya persatuan kita di dalam.
Pemerintah Pusat Harus Belajar: Aceh Bukan Daerah Biasa
Pemerintah pusat juga harus mengambil pelajaran penting dari kontroversi ini. Bahwa tidak semua daerah bisa diperlakukan dengan pendekatan administratif yang sama. Aceh bukan daerah biasa. Aceh memiliki status khusus berdasarkan lex specialis yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang merupakan produk hukum turunan dari perjanjian damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki.
UUPA bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah simbol kepercayaan dan rekonsiliasi. Mengabaikannya dalam penyusunan kebijakan—terutama yang menyangkut wilayah, sumber daya alam, dan kewenangan daerah—sama artinya dengan mengingkari janji damai itu sendiri. Tidak heran bila banyak pihak di Aceh merasakan luka mendalam saat pemerintah pusat mengeluarkan keputusan sepihak tentang status wilayah mereka, tanpa koordinasi atau konsultasi yang layak.
Oleh karena itu, momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah pusat untuk lebih menghargai semangat otonomi daerah dan kekhususan Aceh. Segala kebijakan nasional yang berkaitan langsung dengan Aceh harus menjadikan UUPA sebagai pijakan utama, bukan sekadar formalitas hukum.
Perjuangan Bermartabat dalam Bingkai Demokrasi
Yang juga patut diapresiasi adalah cara rakyat Aceh memperjuangkan haknya. Tidak ada aksi anarkis, tidak ada simbol-simbol separatis, tidak ada retorika memecah belah bangsa. Yang ada adalah aksi unjuk rasa damai, surat resmi dari gubernur dan DPR Aceh ke Presiden, pernyataan tegas dari para tokoh, serta kampanye media sosial yang edukatif dan menyentuh nurani.
Aceh telah menunjukkan bahwa kekecewaan dan protes bisa disampaikan dalam bingkai demokrasi dan konstitusi. Ini menjadi contoh penting bagi daerah lain di Indonesia, bahwa perjuangan hak daerah tidak selalu harus bermuara pada konfrontasi, tetapi bisa ditempuh melalui saluran legal dan komunikasi terbuka.
Lebih dari itu, perjuangan ini juga menjadi bukti bahwa nasionalisme itu bukan soal tunduk, tapi soal kesetaraan. Bukan tentang membungkam, tapi tentang mendengar. Dan bukan tentang pemaksaan, tapi tentang penghargaan.
Saatnya Melangkah Bersama, Kembali ke Satu Aceh
Kini, dengan kembalinya empat pulau tersebut ke pangkuan Aceh, jangan sampai kita terjebak dalam euforia sesaat. Justru inilah waktu yang paling tepat untuk melakukan introspeksi kolektif: menguatkan kelembagaan lokal, memperbaiki tata kelola, mempererat silaturahmi antarwilayah, dan merawat semangat persatuan.
Jangan lagi kita terpecah oleh isu pemekaran yang belum matang. Jangan lagi kita terjebak dalam konflik kepentingan yang membuat kita lupa bahwa yang kita perjuangkan bukan hanya wilayah, tetapi masa depan generasi Aceh.
Jika peristiwa ini bisa menyadarkan semua pihak—baik di pusat maupun di daerah—tentang pentingnya keadilan, kepercayaan, dan penghormatan terhadap hukum, maka sesungguhnya empat pulau ini telah menyumbangkan lebih dari sekadar ruang geografis. Mereka telah menjadi titik balik kesadaran kolektif: bahwa hanya dengan bersatu, Aceh bisa kuat. Dan hanya dengan menghormati Aceh, Indonesia bisa benar-benar utuh.***