Oleh: Ari J. Palawi
Kita tak butuh lagi seremoni yang disusun untuk dokumentasi SPJ. Kita butuh sistem. Kita butuh keberpihakan. Kita butuh keberanian untuk berkata bahwa budaya bukan sekadar konten, tapi martabat.
Isyarat Awal: Mari berhenti berpura-pura
Mari kita buka kedok panggung yang selama ini kita tepuk-tepuki dengan bangga. Sebab yang tampak megah itu, bila ditelanjangi, hanya menyisakan satu hal: kekosongan sistemik yang memalukan.
Apa yang selama ini disebut sebagai “industri kreatif Aceh” sejatinya hanyalah operasi simbolik. Dibangun di atas logika proyek, dibungkus dengan retorika branding, dan dijalankan oleh aparatur yang lebih mahir menciptakan seremoni daripada membangun ekosistem. Kita menyebutnya sebagai lompatan budaya. Padahal yang terjadi hanyalah rotasi tahunan kegiatan berulang yang miskin refleksi dan nihil keberlanjutan.
Retorika Kreatif, Realitas Eksploitatif
Kita diminta berbangga dengan ribuan peserta Pekan Kebudayaan Aceh, dengan kehadiran delegasi asing, dengan panggung yang gemerlap. Tapi adakah data evaluatif yang menjelaskan bagaimana acara semegah itu meningkatkan kesejahteraan pelaku budaya? Adakah laporan akuntabel yang menunjukkan berapa komunitas lokal yang mendapatkan ruang bertumbuh setelahnya?
Yang ada hanyalah citra. Dan industri kreatif yang dibangun di atas citra adalah ilusi kolektif yang dilanggengkan dengan anggaran negara. Kita memamerkan tarian tradisi di panggung utama, tapi tak pernah menanyakan apakah penarinya dibayar layak. Kita mencetak motif Pinto Aceh di kaos dan suvenir dinas, tapi tak pernah bertanya pada komunitas pemiliknya apakah mereka dilibatkan atau sekadar dipinjamkan nama. Kita menyuruh Pelaku Industri “Rumah Berkarya” kuliner (kita ganti istilah UMKM yang terasa seperti “label administratif”dan kurang mengangkat marwah dan kualitas produk rakyat) jualan di festival, tapi tak menyediakan ruang produksi yang bersih dan legal untuk mereka berproduksi setelahnya.
Apakah ini industri? Ataukah ini sandiwara dengan anggaran APBD/N?
Institusi Budaya yang Takut Membela Pencipta
Masalah paling parah dari industri kreatif Aceh adalah ketidakberanian struktur resmi untuk berpihak. Lembaga-lembaga kebudayaan, dinas terkait, bahkan beberapa universitas lebih sibuk menjadi kurator birokratis daripada pembela nilai. Tak satu pun lembaga melangkah membangun mekanisme pelindung hak budaya komunitas secara serius. Tak ada rumah kurasi etnografi. Tak ada sistem konsultasi terbuka yang melibatkan seniman akar rumput dalam perencanaan kebijakan.
Mengapa? Karena kreativitas telah dibajak menjadi “komoditas manajemen proyek”. Bukan ruang keberanian berpikir, tapi perpanjangan tangan dari kalender seremonial tahunan.
Kreator Jalan Sendiri, Negara Hanya Datang Saat Viral
Sementara itu, para kreator muda bergerak di jalur yang negara tak pernah mau sentuh: jalur eksperimentasi digital, konten visual sejarah, desain yang mengolah warisan simbolik. Mereka bekerja tanpa fasilitas, tanpa pelatihan, dan tanpa perlindungan hukum.
Ironisnya, ketika satu konten menjadi viral, negara tiba-tiba datang—bukan memberi dukungan, melainkan mengklaimnya sebagai bukti keberhasilan promosi budaya. Tanpa merasa perlu meminta izin. Tanpa pernah menginvestasikan apa pun ke dalam proses kreatifnya.
Ini bukan sekadar ketimpangan. Ini adalah penunggang simbolisme yang kejam dan oportunistik.
Glokalisasi yang Tak Pernah Dimulai
Kita bicara soal go digital, go global, glokalisasi. Tapi konsep-konsep itu hanya dipakai dalam presentasi. Di lapangan, tak ada rumah produksi yang siap ekspor. Tak ada pelatihan naratif lintas budaya. Tak ada kebijakan untuk melindungi nilai lokal dari komodifikasi vulgar oleh pasar digital.
Digitalisasi di Aceh hanyalah jargon login dan unggah produk. Bukan pembangunan narasi. Bukan diplomasi budaya. Bukan penyadaran kolektif.
Lalu kita heran mengapa tak satu pun produk kreatif kita dikenal di luar negeri secara utuh? Karena kita tidak membangun sistem. Kita hanya memanen simbol.
Daya Hidup Budaya Dikorbankan demi Kepentingan Proyek
Kita harus berani menyebut ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai: Ketika budaya dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai ruang hidup masyarakat. Ketika kreativitas dikelola sebagai proyek birokrasi, bukan sebagai proses partisipatif. Ketika identitas lokal diringkas dalam katalog visual yang dipamerkan untuk kunjungan tamu, tapi ditinggalkan setelah lampu panggung padam.
Industri kreatif semestinya adalah tentang pencipta, nilai, dan proses. Tapi di tangan aparatur yang tidak memahami esensi budaya, semua itu direduksi menjadi “indikator sukses acara”.
Pernyataan Terbuka: Ini Saatnya Kita Melawan Ilusi
Saya menulis ini bukan sebagai pengamat netral. Saya bagian dari mereka yang muak. Muak pada klaim-klaim kosong yang menepuk-nepuk kreativitas sambil memangkas akarnya. Muak pada panggung yang dibangun mahal, tapi tak pernah menyisakan ruang untuk pembelajaran, distribusi nilai, atau keberlanjutan.
Ini saatnya kita mengakhiri hipokrisi kolektif ini. Kita tak butuh lagi seremoni yang disusun untuk dokumentasi SPJ. Kita butuh sistem. Kita butuh keberpihakan. Kita butuh keberanian untuk berkata bahwa budaya bukan sekadar konten, tapi martabat.
Lonceng Akhir: Kepada Para Pengelola, Dengarlah Ini
Bukan jumlah peserta yang akan menyelamatkan kebudayaan kita. Bukan jumlah event. Bukan banyaknya tamu dari luar negeri. Yang menyelamatkan budaya adalah keberanian untuk membangun dari bawah: mendengar komunitas, membela pencipta, dan menghapus logika proyek dari tubuh seni.
Kalau Anda tak sanggup melakukannya, maka mohon turun dari panggung itu. Karena semakin lama Anda berdiri di sana, semakin keropos akar yang menopang kita semua. []
Penulis adalah Pendiri Geunta Seni Jauhari. Pengampu Perkuliahan Tata Kelola Seni; Artisitik dan Teknologi Produksi Sen; dan Industri Ekonomi Kreatif Seni di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ia menulis, meneliti, dan mencipta karya yang menghubungkan penciptaan artistik, pengabdian budaya, dan kebijakan publik. Fokusnya banyak pada wilayah-wilayah non-sentral dan suara komunitas.