SAGOE TV | ACEH JAYA – Inovasi bubu ramah lingkungan yang dikembangkan tim dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (USK) hadir sebagai solusi bagi nelayan Kabupaten Aceh Jaya untuk mengurangi tangkapan sampingan (bycatch) hiu dan pari yang terancam punah, yang selama ini sering tertangkap tidak sengaja di jaring insang nelayan.
Melalui penerapan alat tangkap alternatif ini, nelayan tidak hanya menjaga kelestarian ekosistem laut, tetapi juga meningkatkan hasil tangkapan ikan target bernilai ekonomi tinggi secara berkelanjutan.
Ilham Fajri, Ketua Program Pengabdian Kemitraan Masyarakat melalui penerapan alat tangkap bubu ramah lingkungan bersama nelayan Panglima Laot Lhok Keluang, Kabupaten Aceh Jaya, mengatakan program ini juga bertujuan meningkatkan hasil tangkapan ikan target nelayan secara berkelanjutan.
“Kegiatan ini merupakan kolaborasi Prodi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, dengan dukungan dana pengabdian dari DPPM BIMA Kemendiktisaintek dan LPPM PTNBH Universitas Syiah Kuala,” ujarnya, Sabtu (4/10/2025).
Inisiatif ini juga melibatkan kolaborasi lintas disiplin ilmu dari USK, dengan anggota tim yang terdiri dari Inda Mardhatillah, Teuku Haris Iqbal, Ahmad Fauzan Lubis dari Prodi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Tarmizi dari Prodi Teknik Geofisika.
Menurutnya, inovasi ini sangatlah bermanfaat, Karena selama ini, nelayan Lhok Keluang Aceh Jaya masih mengandalkan jaring insang dasar (bottom gillnet) yang kerap secara tidak sengaja tertangkap ikan sampingan (bycatch) berupa anakan hiu martil/yee rimbah (Sphyrna lewini) dan pari kekeh/yee baji (Rhynchobatus australiae).
Kedua spesies ini termasuk kategori Critically Endangered dalam daftar merah IUCN dan masuk Apendiks II CITES. Dalam satu musim penangkapan, satu kapal nelayan bisa tak sengaja menangkap puluhan hingga ratusan anakan hiu martil. Kondisi ini mengancam kelestarian populasi kedua spesies tersebut yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.
“Melalui penerapan ke alat tangkap alternatif yaitu bubu, nelayan didorong untuk beralih ke alat tangkap yang lebih selektif, efisien, dan ramah lingkungan,” kata Ilham.
Melalui program pengabdian ini, nelayan diperkenalkan cara membuat dan menggunakan bubu ramah lingkungan yang lebih selektif, sehingga hanya menangkap ikan target bernilai ekonomi tinggi seperti kakap dan kerapu, sekaligus mengurangi risiko masuknya hiu dan pari.
“Bubu ini dirancang agar nelayan tetap produktif, sementara spesies yang dilindungi bisa terjaga,” jelas Ilham.
Selain ramah lingkungan, penggunaan bubu juga memiliki keunggulan ekonomis. Nelayan tidak hanya memperoleh ikan target dengan kualitas yang lebih baik, tetapi juga menghemat biaya operasional karena bubu dapat digunakan berulang kali dan relatif lebih tahan lama dibandingkan jaring insang.
Program ini mendapat dukungan penuh dari lembaga adat Panglima Laot Lhok Keluang, yang berperan penting dalam menjaga aturan adat laut.
Selain itu, inisiatif ini sejalan dengan dukungan upaya konservasi dengan ditetapkannya Aceh Jaya sebagai Kawasan Konservasi Perairan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui KEPMEN-KP No. 76 Tahun 2020, serta pengakuan internasional dari IUCN yang menetapkan wilayah ini sebagai bagian dari Important Shark and Ray Areas (ISRA) – West Aceh. Hal ini sejalan dengan pencapaian SDGs 14 (Ekosistem Lautan) dan SDGs 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).
Ilham menambahkan, dampak yang diharapkan dari program ini antara lain; penurunan tangkapan hiu dan pari di perairan Lhok Keluang, peningkatan hasil tangkapan ikan target bernilai ekonomis tinggi, kesadaran konservasi lebih tinggi di kalangan nelayan, serta peluang usaha baru di sektor pengolahan hasil laut dan ekowisata.
“Dengan adanya inovasi ini, USK berharap nelayan di Aceh Jaya dapat menjadi pelopor penggunaan alat tangkap ramah lingkungan di Aceh, sehingga praktik perikanan berkelanjutan dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir,” ujarnya. []




















