SAGOETV | BANDA ACEH – Nama Abuya Muda Waly al-Khalidi merupakan salah satu sosok sentral dalam jaringan keilmuan Islam di Aceh. Ulama kharismatik kelahiran Labuhan Haji, Aceh Selatan, ini dikenal sebagai pendakwah, pendidik, dan mursyid tarekat yang pengaruhnya melintasi generasi. Ia diyakini lahir sekitar tahun 1916, meski sejumlah sumber menyebutkan tahun 1917 atau 1919. Jejak keilmuan Abuya dibahas oleh Akademisi Aceh, Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc., MA, dalam tayangan podcast pada Jumat (11/4/2025).
Menurut Dr. Nurkhalis, Abuya merupakan putra dari Haji Salim bin Malim Balito, seorang ulama keturunan Padang yang menetap di Aceh mengikuti pamannya, Tuanku Abdul Karim, ulama besar di kawasan Labuhan Haji. Sejak kecil, Abuya Muda Waly tumbuh dalam lingkungan religius dan menempuh pendidikan agama di pesantren yang saat itu dipimpin oleh Abu Muhammad Ali atau dikenal sebagai Tengku Lampisang di Pasar Labuhan Haji.
Di pesantren tersebut, Abuya belajar bersama sejumlah tokoh yang kelak menjadi ulama besar, seperti Abu Bakongan, Abu Adil Mahmud, dan Abu Bilal Yatim. Setelah menimba ilmu selama empat tahun, ia melanjutkan pendidikan ke Syekh Mahmud bin Teuku Ahmad di Lhoksukon, Aceh Utara. Di sana, Abuya mendalami sejumlah kitab besar seperti Tafsir Mahalli, Jam’ al-Jawami’, Tahrir, dan Ushul Fiqih selama kurang lebih tiga tahun.
Pada tahun 1931, Abuya sempat melanjutkan studi ke Normal Islam School di Padang. Namun, ia memutuskan kembali ke Aceh karena kurikulum di sana tidak lagi mengajarkan kitab-kitab klasik. Meskipun singkat, keberadaannya di Padang sangat berarti, karena ia sempat berguru kepada ulama besar Syekh Jamil Jaho dan kemudian menikahi putrinya. Dari pernikahan ini lahirlah sejumlah keturunan yang juga aktif dalam dakwah, seperti Abuya Amran di Pauh dan Abuya Jamal.
Pada akhir 1940-an, jelas penulis buku jejak 55 Ulama Kharismatik Aceh ini, Abuya berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama. Di sana, ia berguru kepada ulama terkemuka dunia Islam, di antaranya Syekh Ali bin Husein al-Maliki dan Syekh Yasin Padang. Ia memperoleh ijazah dan pengakuan keilmuan dari para guru tersebut, yang semakin memperkuat otoritasnya sebagai seorang ulama.
Sekembalinya ke tanah air, kata Alumni Universitas Kairo Mesir ini, Abuya mendirikan Dayah Darussalam Labuhan Haji pada tahun 1941. Pesantren ini kemudian tumbuh menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh, bukan hanya di Aceh, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Pesantren ini telah melahirkan banyak ulama besar yang tergolong dalam tiga generasi utama:
Angkatan Pertama, yakni 1945–1950 adalah Abu Marhaban, Abu Imam Syamsuddin, Abu Adenan Bakongan, Abu Qamaruddin, Abu Yusuf Alami, dan lainnya.Sedangkan, Angkatan Kedua, antara tahun 1951–1955, ada Abon Aziz, Abu Usman Fauzan, Abuya Muhammad Wali, Abuya Wahyudi, dan sejumlah lainnya.
Dan Angkatan Ketiga, 1955–1961 terdapat Abu Syam, Abu Fajar Dewantara, dan tokoh-tokoh lain yang kelak mendirikan pesantren serta melanjutkan perjuangan dakwah dan tarekat di berbagai wilayah.
Abuya Muda Waly dikenal memiliki keahlian mendalam dalam bidang fiqih, tasawuf, serta menjadi sosok sentral dalam dakwah tradisional yang berpijak pada nilai ilmu, adab, dan keteladanan. Sekitar 90 persen pesantren yang ada di Aceh saat ini diyakini memiliki koneksi keilmuan langsung maupun tidak langsung dengan Abuya.
Salah satu murid beliau yang dikenal luas adalah Tengku Sulaiman Nur, yang belajar selama sembilan tahun di Dayah Darussalam. Meski tidak menyelesaikan hingga tingkat akhir, ia tetap menyebarkan ilmu dari Abuya, termasuk kitab-kitab penting seperti Tuhfah, Ayatul Ushul, Jam’ al-Jawami’, dan lainnya.
Warisan Abuya Muda Waly hingga kini masih hidup dan terus berkembang melalui karya, tarekat, serta para murid dan pesantren yang tersebar di seluruh Aceh dan Nusantara. Ia bukan hanya seorang guru bangsa, tetapi juga simbol pendidikan Islam tradisional yang telah mengakar kuat di Tanah Rencong. []